Hana Adhitami. Perempuan kelahiran Jakarta berusia 17 tahun yang kembali menetap di Jakarta setelah hampir 4 tahun menetap di Bali, tengah memasang wajah berseri disertai senyuman manis miliknya tatkala berjalan di koridor sekolah seorang diri.
Hampir dua tahun Hana bersekolah di sini. Saat itu dia mengunjungi sekolah ini untuk mendaftar sebagai murid baru. Kakaknya bilang kalau sekolah barunya juga merupakan tempat sang kakak bersekolah dulu. Para guru bahkan kepala sekolah sekalipun mengenal kakaknya Hana. Jefan Adhitama si ketua basket yang handal.
Rambut coklat sebahu yang tergerai membuatnya menjadi pusat perhatian di koridor tadi. Sampai saat Hana berjalan menuju kelas, masih ada pasang mata yang terus memusatkan perhatian padanya.
Gadis itu memang cantik. Kulit putih bersih, postur tubuh terbilang ideal di tambah senyuman manis dan mata sipit yang selalu tersenyum mirip bulan sabit, menambah kesan imut untuknya.
Poin tambahan, Hana selalu ramah dan baik. Gadis itu selalu membalas sapaan murid-murid lain dengan sebuah senyuman manis. Senyuman yang mampu membuat siapa saja meleleh.
Ketika melangkah memasuki kelas, manik matanya mulai mengitari setiap sudut kelas sampai berhenti di salah satu meja belakang paling pojok yang di isi oleh seorang murid laki-laki. Tanpa sadar, gadis itu tersenyum.
"Woi, jangan ngelamun!"
Namun, sebuah pukulan kecil di pundaknya berhasil membuat senyuman tersebut luntur dengan sekejap. Hana membalikkan badan, melihat siapa pelakunya.
"Apa sih! Siapa yang ngelamun coba?"
Tatapan mata itu menatap tidak suka pada dua orang teman perempuannya yang baru saja datang. Satu orang berambut hitam pekat yang panjangnya sampai punggung, di ikat mirip ekor kuda. Sementara satunya lagi berambut pirang sebahu yang tergerai bebas.
Mereka adalah Keysha Aurelia dan Lea Calista. Dua orang murid perempuan yang memiliki kepribadian hampir sama dengan Hana.
Ya, benar. Sama-sama random.
"Terus ngapain diem di depan pintu kalau bukan ngelamun?" Tanya Keysha.
"Cuman berdiri doang, gak boleh emang?"
"Nggak boleh. Karena lo menghalangi jalan." Ini Lea yang buka suara. Mereka jadi tidak bisa lewat karena Hana terus menetap di depan pintu kelas tanpa mau menyingkir. Oh iya, omong-omong Lea datang ke kelas Hana hanya ingin sekedar mengobrol bersama Hana dan Keysha. Dia anak kelas sebelah. Kelasnya ada di paling ujung. Jika kalian berjalan dari depan kelas Hana, maka kalian harus melewati dua kelas lain untuk sampai di kelas Lea.
Yahh, memang sudah nasib mereka tidak satu kelas.
"Yaudah, yaudah, nih gue pergi."
Karena merasa memang menghalangi jalan, gadis itu langsung saja pergi menuju ke barisan pojok dengan meja nomor empat. Bisa dibilang ada di barisan belakang sih.. tapi kala itu meja yang tersisa hanya itu.
For you information, di sekolah itu setiap murid duduk masing-masing, tidak berpasangan. Dan setiap kelas hanya ada sekitar 30 murid.
Sampai Hana meletakkan tas putihnya di kursi, anak laki-laki itu tetap tidak terganggu akan aktivitasnya.
Setelah duduk di kursi, gadis itu membalikan badan ke belakang. Tepat dimana objek yang sejak tadi menyita perhatiannya. Melihat anak laki-laki yang sedang sibuk bermain game tanpa memperdulikan keadaan sekitar bahkan tanpa memperdulikan panggilan dari murid laki-laki lain yang memanggil namanya.
"Pagi, Jay."
Anak yang bermain game itu tidak menatap ke arah Hana. Sampai akhirnya bahunya di tepuk oleh seseorang yang datang tiba-tiba.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditionally
Teen Fiction[On-Going] "Jay, lo tau lagu 'Unconditionally' karya Katy Perry, gak?" "Tau." "Menurut lo apa makna dari lagu itu?" "Lirik lagunya sendiri tentang cinta tanpa syarat, dan 'Unconditionally' itu sendiri artinya adalah 'Tanpa Syarat'. Gue gak yakin...