12 : Lunch Box

59 4 9
                                    

Jarum jam menunjukkan pukul 7 malam ketika suasana di satu rumah terdengar sangat ricuh karena teriakan-teriakan bising dari enam orang laki-laki yang sedang bermain PlayStation. Teriakan seperti kata makian dan umpatan yang tentu saja seringkali keluar dari mulut ke-enam laki-laki itu. Beruntung rumah tersebut sedang tidak ada orang lain selain mereka ber-enam.

Mereka adalah Jefan, Bagas, Aksa, Chan, Raka dan di tambah Hesa.

Iya Hesa. Kakak kelas yang menghampiri Hana dan memberinya minum dua hari lalu.

Aksa, Chan dan Hesa yang sudah lelah bermain PlayStation memilih mencari posisi nyaman di sofa sembari menonton Jefan, Bagas dan Raka sedang bermain di temani makanan ringan.

"Gimana sekolahnya, Sa?" Aksa bertanya pada adik sahabatnya. Hesa.

"Baik, Bang. Menuju ke ujian sekolah bentar lagi." Jawab Hesa.

"Eh, kapan?"

"Dua Minggu lagi."

Aksa mengangguk saja dan beralih pada Chan yang kini merangkul pundak Hesa dan memberinya tepukan pada bahu Hesa.

"Rencana mau lanjut ke univ mana nih?" Tanya Chan.

"Em.. belum tau. Kayaknya mau satu univ aja sama Abang."

"Tapi udah tau kan mau ambil prodi apa?"

Hesa baru mengangguk. "Udah dong, tenang aja."

Kemudian Chan kembali menepukkan bahu Hesa seolah memberikan rasa semangat untuk Hesa. "Bagus, bagus. Kalau ada perlu apa-apa yang gak bisa Bagas bantu, hubungin kita-kita aja, oke?"

"Aman, Bang. Thanks ya!" Seru Hesa bersemangat. Memang sohib kakaknya ini sungguhlah memiliki positif vibes di dalam diri mereka masing-masing. Tidak heran kalau mereka banyak di sukai para wanita di kampusnya.

Oh tentu saja sang kakak pun termasuk. Se-menyebalkan apapun Bagas, tetaplah termasuk panutan terbaik baginya setelah sang ayah. Teman-teman Bagas juga termasuk salah satu support system bagi Hesa setelah keluarga dan teman-temannya. Hesa bersyukur sekali Tuhan menempatkannya di antara orang-orang baik.

Sedang asik mengobrol bersama Aksa dan Chan, juga sesekali Jefan, Bagas dan Raka yang ikut menyahut, ponsel milik Hesa bergetar di atas meja. Ketika melihat nama sang penelpon senyum Hesa mengembang sempurna.

"Nyegir lo, Sa." Kata Chan.

Memang betul kata Chan kalau Hesa menyengir. Tanpa bertanya pada pemilik ponsel, mereka sudah tahu siapa yang menelepon.

"Udah sana ke kamar, angkat itu teleponnya, takutnya ayang marah karena lama angkat telepon." Sahut Jefan yang pandangannya masih terfokus pada layar televisi di depan.

"Yaudah, gue ke kamar dulu ya, Bang."

"Iye udah sono nge-bucin sama ayang." Timpal Raka berniat jahil.

"Ayang palamu lima! Belagu banget anjir." Bagas sewot.

"Iri aja lo," cibir Hesa yang kemudian bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Tapi sebelum itu dia sempat mendengar Bagas nyinyir padanya. Kira-kira begini..

"Iri iji li."

Tidak salah kalau Hana pernah bilang Bagas itu 'ngeselin', nyatanya memang begitu. Baik Bagas maupun Hesa sebenarnya sama saja.

Tiga orang itu sudah kelelahan bermain PlayStation dan mata mereka mendadak sakit, jadilah kini mereka ikut bergabung dengan Aksa dan Chan yang sedang mengobrol ria.

Jefan merebahkan diri pada karpet bulu yang membentang di lantai rumah Bagas. Kakinya selonjoran serta kedua tangan dijadikan bantal. Entah kenapa dia tiba-tiba terpikirkan akan orang yang beberapa hari lalu dia hajar. Kira-kira bagaimana kondisinya sekarang ya? Sang adik pun tidak pernah membahas akan orang itu, jadi Jefan mengiranya adiknya tidak bertemu orang itu lagi. Padahal hatinya berkata bahwa adiknya pasti diam-diam bertemu dengan orang itu tanpa sepengetahuannya.

UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang