Seharusnya Jay tidak di sini. Seharusnya Jay sudah pulang dan tidur di atas kasur empuknya. Seharusnya Jun tidak mohon-mohon padanya untuk menjemput Giselle. Seharusnya semua itu tidak terjadi hari ini.
Dia benar-benar ingin lepas dari perempuan yang bernama Giselle Anindita ini. Tapi... bagaimana caranya?
"Jay, ayo makan." Suara gadis itu terdengar setelah beberapa menit menghilang karena harus membeli makanan. Dia datang dengan dua porsi nasi dalam stryfoam juga dua gelas cup es teh manis.
Ngomong-ngomong, mereka sedang ada di taman sekarang. Setelah menjemput Giselle di sekolah, Jayden menuruti permintaan Giselle yang katanya ingin menghabiskan waktu dengannya di taman. Itupun Jay lakukan karena Jun mohon-mohon padanya. Bukan karena murni keinginannya.
"Lutut lo kenapa?" Pandangan pria itu tertuju pada lutut Giselle yang mengeluarkan darah.
Giselle melihat lukanya sebentar lalu duduk disebelah Jay. "Tadi jatoh, ada anak kecil lewat pake sepeda. Aku mau menghindar supaya anak kecil itu gak jatoh, tapi ternyata malah aku yang jatoh."
Tanpa Jay membalas, dan tatkala Giselle menaruh makanan dan minuman pada kursi yang mereka duduki, Jay malah pergi menuju motornya. Giselle sempat bertanya, berteriak begini.
"Jay! Mau kemana kamu?!"
Namun, tidak ada sahutan apapun dari Jayden. Itu sungguh membuat Giselle kesal. Jangan sampai Jayden benar-benar pergi meninggalkannya seorang diri di taman yang cukup ramai.
Awalnya Giselle berprasangka buruk akan kepergian Jay secara mendadak, tapi tidak jadi. Justru senyuman lebar yang kini gadis itu tampilkan tatkala melihat Jay membawa kotak obat.
"Kamu dari mana?" Tanya Giselle.
"Ambil kotak obat di bagasi motor." Jawaban Jayden semakin membuat Giselle full senyum.
Anak laki-laki berambut hitam mulai berjongkok dengan gadis berambut hitam panjang itu yang terduduk di kursi taman. Jayden mulai mengobati luka tersebut dengan sangat telaten bagaikan seorang ibu yang tengah mengobati luka anaknya. Tidak ada rasa kekesalan yang terlihat, hanya ada sekelebat rasa kasih sayang.
Giselle bisa merasakan dari cara Jay mengobati lukanya. Penuh kehati-hatian sekali.
Setelah selesai mengobati luka Giselle, Jay kembali duduk bersama gadis itu untuk menikmati makanan yang di beli. Di tengah-tengah acara makan mereka, Giselle bersandar pada bahu Jay bersamaan dengan mulut yang mengunyah.
"Perlakuan kamu manis banget sih.. rasanya aku beruntung punya kamu di dunia ini."
Jay diam. Menatap lurus sembari menikmati makanannya.
"Sampai kapanpun aku gak mau lepasin kamu, Jay. Kamu itu punyaku, dan gak ada yang boleh miliki kamu selain aku. Sekalipun itu Tante Dara, tetap gak boleh. Because, you are the one and only mine." Ucap Giselle setelah dia menaruh makanannya yang tinggal sedikit ke rerumputan taman. Semakin menikmati bersandar di pundak Jay bahkan mengalungkan lengannya ke lengan Jay.
Matanya memejam dengan napas berhembus panjang. "Gue gak bisa." Kata Jay.
Giselle menghentikan aksi bersandarnya, menatap keheranan sampai kedua alisnya hampir bertautan. "Maksud kamu apa, Jay?"
"Gue gak bisa, Giselle."
"Gak bisa kenapa? Perjodohan kita udah jelas. Bahkan Tante Dara udah buat rencana pertunangan kita setelah kita lulus sekolah nanti."
"Giselle, gue gak bisa terus-terusan sama lo."
"Tapi kenapa?!"
Dia membuang pandangan tak ingin menatap garis mata yang menatapnya kesal penuh keheranan itu. Jay tak tahu lagi harus berkata apa pada Giselle. Gadis itu sulit sekali di mengerti dan sangat sulit untuk mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unconditionally
Teen Fiction[On-Going] "Jay, lo tau lagu 'Unconditionally' karya Katy Perry, gak?" "Tau." "Menurut lo apa makna dari lagu itu?" "Lirik lagunya sendiri tentang cinta tanpa syarat, dan 'Unconditionally' itu sendiri artinya adalah 'Tanpa Syarat'. Gue gak yakin...