14 : The Lost Home

57 3 20
                                    

Suasana pagi hari di sekolah terlihat ramai di depan mading. Banyak siswa-siswi yang mengerumuni mading karena akhirnya informasi yang mereka tunggu-tunggu terpajang juga.

Ada informasi mengenai ujian kelas dua belas yang akan dilaksanakan Senin nanti, pengumuman libur selama tujuh hari untuk kelas sepuluh dan sebelas karena kelas-kelas akan dipakai ujian, juga ada pengumuman mengenai kemah tahunan.

Sejak tadi terdengar sorak sorai kelas sepuluh dan sebelas bahkan ada suara kelas dua belas yang terdengar menyemangati satu sama lain untuk ujian nanti. Tak terkecuali yang satu ini.

"Gila, mimpi apa gue semalem kalau kita bakalan kemah di tempat pelatihan tentara."

"Tapi seru kayaknya. Gue cuma pernah ngelewatin tempat pelatihan tentara, belum pernah masuk ke sana."

"Ya lo pikir gue udah pernah?"

Leo mendelik begitu mendengar sahutan Sean. Tangannya pun melayangkan tamparan ke kepala Sean. "Makanya itu kita ke sana karena banyak yang belum pernah ke sana. Poin plusnya, we have a new experience."

Sean mengusapi kepalanya bekas tamparan Leo dengan bibir mengerucut.

Sementara itu di sisi lain tiga orang anak perempuan juga ternyata sedang melihat mading, jangan lupakan tatapan berbinar mereka ketika membaca informasi yang tertera. Selain mereka senang akan berkemah di tempat pelatihan tentara, mereka juga senang karena akan menghadapi libur selama seminggu ke depan.

"Libur seminggu mah sebentar anjir, apa gak bisa sebulan aja gitu liburnya?" Protes Lea.

"Bersyukur." Hesa menyahut. "Lo pada libur seminggu, lah gue ujian seminggu itu." Katanya memelas.

Rupanya diantara segerombolan anak-anak yang senang, ada Hesa yang ingin sekali menangis dalam diam. Dia belum siap menghadapi ujian.

Hana menepuk-nepuk pundak Hesa berusaha memberi semangat kepada si mantan ketua basket yang baru saja lengser itu. "Semangat, dong. Masa mantan ketua basket lemes gitu berhadapan sama ujian."

"Tau lo, Kak. Sama basket aja semangat masa sama ujian mendadak lemes." Lea ikut-ikutan.

"Bukan basic gue, makanya lemes."

"Calon dokter loh, gak boleh lemes. Masa nanti dokter diobati sama dokter."

Karena merasa mulut Hana perlu dia beri pemahaman tentang kalau dokter juga seorang manusia, Hesa pun memberikan cubitan pada lengan gadis itu.

Dia meringis. "Aw... sakit, Kak!"

"Dokter juga manusia yang bisa sakit." Untung saja Hesa ingat siapa Hana, kalau tidak pasti adik Jefan itu sudah Hesa lempar ke kolam ikan di taman sekolah. "Tapi ngeri anjir kalau gue sakit, soalnya gue kan mau masuk spesialis kesehatan jiwa, masa iya kejiwaan gue yang nanti sakit beneran."

"Emang udah sakit," asal Hana.

Hesa menatap tajam gadis itu. "Bilang apa tadi?"

Cepat-cepat pula Hana menggelengkan kepalanya. "Hehe.. nggak apa-apa, Kak." Dia memamerkan giginya beserta garis mata yang melengkung membentuk bulan sabit. "Gue kira lo beneran mau sekolah kepolisian."

"Tadinya iya, tapi gak jadi. Kayaknya mendingan gue jadi dokter biar bisa ngobatin kejiwaan Abang gue yang udah terganggu."

Hana hanya berekspresi begini : ʘ‿ʘ
Padahal sebenarnya dia ingin sekali berekspresi begini : ー_ー'

Memang adik Bagas Pradipta ini kurang berkaca. Padahal kaca di rumah mereka banyak.

"Udah, udah, ayo ke kelas." Ajak Keysha kepada dua sohibnya.

UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang