21 : Do You Remember This?

65 4 17
                                    

Sudah satu minggu berlalu sejak pertemuan tidak disengaja di depan gerbang pemakaman umum yang berakhir menjadi sebuah pertemuan bertopik cerita kelam dari masa lalu.

"K-Kak J-Jean.. m-maafin aku.. Eric.. Eric pergi karena aku.."

Jeano masih ingat betul kejadian malam itu, sekitar pukul 10 malam dia tiba-tiba saja ditelepon oleh nomor adiknya, tapi bukan suara adiknya, melainkan suara orang lain. Dan Jeano masih ingat betul seberapa sakitnya keluarganya ketika harus menerima fakta jika sang anak bungsu telah tiada. Meninggal dengan mengenaskan, bahkan ketika mereka melihat jasad sang anak bungsu, Jeano hampir saja kehilangan akal sehatnya melihat luka-luka yang ada di tubuh adiknya, paling parah ada dibagian kepala. Kepala belakang yang sangat sensitif bahkan sudah bocor, terus-terusan mengeluarkan darah.

Meskipun kejadian itu menimpa Eric, tapi batin dan nuraninya sebagai saudara kembar sangatlah kuat, dia juga bisa merasakan sakit yang sama seperti Eric.

Setelah peristiwa mengerikan itu, baik Jeano maupun keluarganya tidak pernah menyalahkan Giselle dan keluarganya, karena bagi mereka semua adalah kehendak Sang Maha Kuasa. Bahkan keluarga Jeano sering menanyakan kabar Giselle dan mencari-cari gadis itu sampai sering mendatangi rumah Giselle. Tapi sayang, tidak lama setelah Eric meninggal, keluarganya membawa Giselle keluar negeri untuk pengobatan mental. Yahh.. tentu saja, di sini mental yang paling terguncang tentu saja mentalnya Giselle, terlebih dia menyaksikan secara langsung dengan mata kepalanya sendiri.

"Tante, keadaan Giselle gimana? Dia baik-baik aja kan?"

"Giselle udah kayak mayat hidup, Jean.. dia gak mau makan, dia terus-terusan nangis, dia sering ngelamun, dan dia terus-terusan manggil Eric.."

"Giselle gak sakit, kan, Tante..?"

"Dia udah sakit, Jean.. sakit mentalnya.."

"Tapi, Giselle bisa sembuh kan..?"

"Tante gak yakin, Tante udah putus asa.."

"Gak boleh! Tante gak boleh putus asa! Giselle pasti bisa sembuh, dia harus sembuh!"

Jeano masuk ke dalam kamar yang dulu dipakainya bersama Eric. Dari kecil, sejak mereka masuk sekolah dasar, Jeano dan Eric tidur dalam satu kamar dengan sebuah ranjang susun. Jeano di bawah dan Eric di atas. Kamar yang terletak di ujung lantai dua itu kini tidak terisi semenjak Eric meninggal dan Jeano memilih untuk pindah ke kamar tamu yang ada di lantai dua rumah mereka.

Laki-laki itu menyalakan lampu lalu beranjak untuk naik ke ranjang atas menggunakan tangga yang terhubung dengan ranjang susun tersebut. Dia terduduk di ranjang itu dengan mata yang mengelilingi ke sekitar kamar.

"Woi lo ngapain di ranjang gue??"

"Numpang bentar doang,"

"Gak! Gak boleh!"

"Pelit."

"Lo punya ranjang sendiri ya anjir, jangan serakah lo!"

Perkataannya tidak di dengar sang kembaran, justru sang kembaran malah asik bersandar di tembok sembari bermain game di ponsel.

Eric jadi kesal. "Turuuun Jeeee,"

"Bentar.."

"Cepetan Jeee, gue pengen tidur."

"Iya, iya, nih."

Jeano terkekeh sendiri ketika mengenang kenangannya bersama sang kembaran. Mereka yang selalu ribut hanya karena Jeano tidak diperbolehkan menumpang di ranjang milik Eric.

UnconditionallyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang