Nyatanya rumah tempat ku pulang selama ini bukanlah rumah sesungguhnya
Ayah nya menghidupkan shower yang tepat di atas nya.
Dingin nya air membuat luka nya yang ditimpa air itu sangat perih.
Ayah nya menjambak rambut nya membuat ia harus mendongak.
"Nilai-nilai mu, piala-piala mu, prestasi-pretasi mu itu tidak akan bisa mengembalikan putra ku, jadi kau tak perlu membanggakan nya pada ku!" Ujar Ayah nya dengan mata memerah tajam.
Pukulan demi pukulan kembali ia terima, mata nya yang sudah bengkak sedikit terbuka lagi saat melihat ayah nya membuka gesper kulit mahal nya.
Ah kesalahan sekarang benar-benar tak terampuni lagi, ia memejamkan matanya menunggu rasa sakit itu mengenai punggung nya.
SPLASH!
SPLASH!
Al terjatuh telungkup tak tahan dengan rasa sakit itu.
Tebal nya kulit ikat pinggang itu, benar-benar menciptakan panas yang seperti menyayat punggung nya.
Ia terdiam tak bergerak sedikit pun, sedangkan cambukan itu tetap menghujani punggungnya nya.
Tak ada lagi raungan kesakitan, tak ada lagi ucapan memohon ampun, Al terdiam rasa sakit itu seolah-olah membungkam mulut nya, sehingga ringisan kecil pun tak terdengar lagi.
Al tidak merasakan lagi kulit tebal itu mengenai punggung nya, mungkin ayah nya sudah puas, ia mendengar suara ketukan sepatu pentofel ayah nya yang beradu dengan lantai, mengunci pintu lalu menjauh pergi dari keberadaan nya.
Suara nada dering di sakunya membuat ia yang masih memiliki sedikit kesadaran mengambil ponsel itu dari kantong celananya.
Sebagian ponsel nya sudah basah.
Tanpa melihat si pemanggil, Al langsung menerima panggilan itu.
"Al! Tolongin gue!" Pekik seseorang di seberang sana.
Al menjauh kan ponsel nya melihat nama yang tertera disana, lalu tersadar suara perempuan itu berbeda, jelas itu bukan sang pemilik ponsel.
Al menutup matanya ia benar-benar sudah tak tahan lagi.
"Al! Please tolongin gue sama Riana," pekik gadis di seberang sana lagi.
"Sorry gue nggak bisa." Ujar Al lalu mengakhiri panggilan itu.
Perlahan penglihatan nya memudar, ayah nya kembali membawa nya ke dalam kegelapan itu.
--------
Setelah empat hari, akhirnya Al kembali kesekolah, ia sudah tak bisa lagi menahan khawatir tentang apa yang terjadi dengan Riana.
Setelah mencari cukup lama, ternyata gadis itu sedang termenung di taman.
Ia menghela nafas lega, gadis itu tidak apa-apa, ia masih disana dengan kondisi yang baik-baik saja.
Secara perlahan ia mendekati Riana.
"Hey mbak, ngelamun aja," ujar nya membuat Al bisa melihat wajah Riana yang sedikit terkejut.
Riana menatap dirinya sekilas, lalu menatap lurus ke arah depan.
Al menyerngit kan dahinya, kenapa dia diabaikan?
Al masih fokus memandang wajah sendu Riana.
Tiba-tiba gadis itu menoleh kearah nya.
"Al," panggil gadis itu.
"Kenapa Lo bisa bertindak seolah-olah nggak terjadi apa-apa. Kemana Lo hari itu, hari dimana gue benar-benar butuh pertolongan Lo?" Ujar gadis itu, membuat Al semakin khawatir tentang apa yang sebenarnya terjadi.
"Kalok emang Lo cuman mau main-main sama gue, jangan gini Al, anak pembawa sial dengan nasib buruk ini terlalu sakit untuk dijadikan mainan lagi-
-Selama ini gue percaya sama Lo, gue ceritain keluh kesah gue ke Lo, tapi disaat gue ada di keadaan terpuruk, Lo nggak ada Al, perlakuan Lo selama ini seolah-olah ngasih harapan ke gue, Lo bikin gue bisa percaya lagi sama orang, tapi kepercayaan itu di bentuk dan dihancurkan oleh orang yang sama, dan itu Lo.
Gue nggak benci Lo Al, gue sadar diri, anak pembawa sial kayak gue emang nggak pantas buat di terima siapapun,
Jadi gue harap, kita nggak usah deket lagi ya?" Gadis itu selesai berujar tapi raut wajahnya tidak berubah sedikit pun, datar tanpa semangat.
Al terdiam, kata-kata Riana benar-benar menyakitkan, ia sadar ini semua salah nya, ia baru sadar jika ia hanya berujar tanpa ada pembuktian.
Dia hanya laki-laki pengecut, bahkan jika ia memberi tau alasan nya pun, semua nya tidak akan ada gunanya lagi.
Sehingga ia lebih memilih mengatupkan mulut nya lagi.
Karena mungkin tak ada jawaban yang ia berikan Riana mengangguk dan berujar.
"Baik-baik Al." Gadis itu berdiri lalu pergi meninggalkan nya.
Tapi hal terakhir yang ia lihat adalah....gadis itu menangis.
Gadis nya yang selama ini ia dambakan menangis di hadapan nya, dan itu karena nya pula.
Al memandang punggung Riana yang semakin mengecil.
Ia ikut berdiri, ia mengepal kan tangan nya keras, hingga sepersekon kemudian batang pohon tempat mereka berteduh menjadi samsak yang bagus untuk nya.
Ia terjatuh bersandar di batang pohon itu.
Ia menutup mata nya, menghalau air mata yang juga ingin turun keluar dari pelupuk mata nya.
Bahkan di dalam hal percintaan pun ia gagal.
Haruskah hubungan mereka di tutup dengan tangis ini?
Tbc.
Nggak jelas, nggak jelas, ngga jelassss.
Sorry para readers kuuuu
♡♡♡♡♡Besok End yey-!! Di tunggu ya sayang-sayang ku
Komen yang banyak guys, mood banget baca komenan kalian(◍•ᴗ•◍)
KAMU SEDANG MEMBACA
Si Culun Glow Up [TERBIT]
Teen Fiction[MASIH LENGKAP] Bagaimana jadinya Raena Quelinn yang Fashionable, walaupun duit dia selalu pas-pasan, bertransmigrasi ke tubuh Riana Graham yang culun, walaupun dia berada di keluarga yang kaya raya. Namun tidak ada yang tau, seluk beluk kehidupan R...