Sesampainya Ala di rumah, dia langsung pergi menuju kamarnya yang berada di lantai dua, tanpa mengucap salam ataupun salim kepada kedua orang tuanya. Kania dan Rayhan--kedua orang tua Ala--mengerutkan keningnya dalam-dalam, ketika melihat sikap yang tidak biasa dari anak bungsunya itu. Dan tentunya, karena mata anaknya sembab.
Kania yang sudah dikepung oleh rasa penasaran, langsung bertanya kepada Dendra. "Si adek kenapa?"
Dendra yang baru saja menghempaskan bokongnya di sofa, langsung menoleh. Kedua orang tuanya menatapnya dengan pandangan penuh penasaran. "Gak tau, Ma. Tadi kakak disuruh jemput, terus pas di mobil, adek malah nangis. Kakak gak mau nanya apa-apa, nanti yang ada dia bisa jambak-jambak rambut kakak sampai botak."
Mau tak mau, pikiran Kania langsung terlempar ke kejadian beberapa tahun yang lalu. Tepatnya, ketika Ala menginjak masa-masa kelas 7 di SMP. Waktu itu, Ala menangis sampai sesegukan, ketika Rayhan yang sedang badmood, tak sengaja membentaknya. Kemudian, ditambah lagi Chloe--kucing peliharaannya--tergeletak mengenaskan di tengah jalan. Sebut Ala baper atau apa, tapi perasaannya sedang sangat labil saat itu. Sampai-sampai, perang dingin selama seminggu pun terjadi diantara Ala dan Ayahnya. Dendra pun menjadi sasaran kemarahan Ala. Seketika, Kania tertawa ngakak.
"Ma, apaan, sih. Ketawanya gitu amat," komentar Rayhan yang sedang membaca buku, entah tentang apa.
"Ayah inget gak sih? Waktu itu Chloe mati, eh Ayah malah ngebentak adek. Padahal, adek gak ngapa-ngapain," ujar Kania sambil tetap tertawa ngakak. Rayhan yang melihat kelakuan istrinya pun geleng-geleng.
Kadang terbesit di pikirannya, kok gue punya istri bisa jayus kayak gini.
Seakan tersadar kedua laki-laki yang sangat berharga di hidupnya, sedang menatapnya dengan pandangan ini-mama-gue-kenapa dan yang satu lagi sedang menatapnya penuh kasih, walaupun maksud tersirat dari tatapan itu adalah angkat-tangan-deh-istri-gue-jayus-banget, Kania langsung menyuruh Dendra untuk mengganti pakaiannya dan menyuruh Rayhan untuk pergi menuju kamar Ala. Rayhan pun segera berdiri dari duduknya dan menaruh buku bacaannya di meja. Lalu, segera meniti anak tangga, setelah sebelumnya Kania berujar dengan pelan.
"Fasya bapernya kayak kamu dulu ya, Yah. Pas Ayah tau kalau aku jadian sama orang lain."
Kemudian, Kania tertawa lagi. Membuat Rayhan hanya bisa menggerutu sebal di dalam hati.
Kenapa masa lalu memalukan gue dibawa-bawa, sih? Pikirnya sambil geleng-geleng
---
Ala menangis di kamarnya sampai sesegukan. Dirinya telah menghabiskan sekotak tissue hanya gara-gara air matanya yang mengalir bak sebuah keran yang bocor dan ditambah flu yang tiba-tiba menghapiri dirinya.
Ala seperti bukan Ala. Dia merasa.. aneh. Matanya sembab, dan memerah. Dia merasa bahwa dia sebenarnya tidak pantas untuk menangis. Memangnya, siapa Ezra? Cowok itu hanyalah seorang sahabatnya.
Tapi, kenapa ketika melihat cowok itu sedang bersama perempuan lain selain dirinya, Ala merasakan sejuta panah menusuknya? Seolah-olah, matahari telah kehilangan sinarnya. Dan, bulan tidak memantulkan cahayanya.
Ezra tak kunjung muncul. Karena itu, Ala memutuskan untuk mendatanginya. Ala tidak suka menunggu. Sebenarnya, bisa saja dia menunggu. Tetapi, entah kenapa, ada perasaan yang tidak enak, muncul di hatinya. Ala memutuskan untuk pergi menuju bagian sepatu laki-laki. Sayup-sayup, dia mendengar percakapan seseorang--oh salah, dua orang.
"Za, aku kangen. Kamu kemana aja?" tanya seorang perempuan yang suaranya.. agak familiar di telinga Ala.
"Aku disini. Harusnya aku yang nanya kayak gitu sama kamu."
Deg! Suara laki-laki itu seperti suara.. Ah jangan bilang..
"Eza! Aku kangen banget!" seru perempuan itu, sambil memeluk laki-laki yang sedang memegang sepatu.
Eza.. Ezra.. Deg!
Eza.. hanya satu orang yang memanggil Ezra dengan panggilan seperti itu. Hanya mantannya Ezra. Kalila.
Ada apa gerangan tiba-tiba perempuan itu kembali lagi ke kehidupan Ezra?
Setelah itu, pandangan Ala sedikit kabur. Tetapi, ia tetap dapat melihat--walaupun tidak terlalu jelas--bahwa Ezra-nya membalas pelukan perempuan itu.
Oh, salah. Ezra bukanlah miliknya. Kalaupun iya, itu hanyalah sebatas sahabat.
Kemudian, Ala langsung melangkahkan kaki untuk keluar.
Mau tak mau, kamar Ala yang tadinya sudah agak tenang, kembali dipenuhi oleh isak tangis.
"Ah, kenapa baper banget, sih? Emang dia siapa gue?" tanyanya kepada diri sendiri sambil tertawa miris, mengingat fakta bahwa selama ini mereka hanya bersahabat. Tidak lebih dari itu.
"Fasya. Ayah boleh masuk?" tanya Rayhan dari luar, tidak berani masuk sebelum diberi izin.
Ala mendengar suara ayahnya dari luar, dan segera menjawabnya. "Masuk aja, Yah. Gak dikunci, kok."
Karena, ketika Ala sedang bersedih atau ada sesuatu yang mengganggu pikirannya, hanya Rayhanlah yang bisa berbicara dengannya. Anak perempuan selalu lebih dekat dengan ayahnya, karena dia percaya, setidaknya ada satu orang laki-laki yang tidak akan menyakiti hatinya.
"Kenapa, Yah?" tanya Ala, ketika ayahnya baru saja duduk di tepi kasur.
Rayhan tersenyum, lalu membelai rambut Ala yang acak-acakan. "Harusnya, Ayah yang nanya sama kamu. Kamu kenapa?"
Karena hanya dengan ayahnyalah dia bisa menjelaskan tentang beberapa hal yang membuatnya menjadi seperti ini, Ala mulai berbicara. "Yah, jatuh cinta itu gak enak, ya? Satu hati bisa hancur berkeping-keping, ketika hati yang dicintai, malah melindungi hati yang sebenarnya telah menghancurkannya."
Rayhan menaikkan salah satu alisnya, kala mendengar pernyataan dari anaknya tentang cinta. "Siapa bilang? Ketika satu hati hancur, hati yang lain bakal nutupin luka di hati yang hancur itu, asal kamu tau."
"Yah, adek kok jadi agak gimana gitu kalau ngomongin ginian? Sejak kapan coba, adek jadi baper gini? Rasanya tuh.. ih, geli adek sama diri adek sendiri," curcol Ala saat dirinya sudah berhenti dari acara menangisnya, walaupun masih ada sesegukan sedikit, sih.
Rayhan tersenyum, mendengar penuturan panjang dari Ala. "Ayah tau, adek suka sama dia, 'kan? Cowok satu-satunya yang deket sama adek yang bukan merupakan bagian dari keluarga ini."
Ala agak sedikit kaget disini. Pasalnya, ayahnya merupakan orang yang sibuk. Dan, agaknya tidak memperhatikan dengan siapa anak-anaknya bergaul. Namun, disini malah fakta membalikkan semuanya.
"Enggak, adek gak suka," kilah Ala.
"Iya, tapi sayang," ledek Rayhan sambil tertawa pelan.
"Apaan, sih? Enggak, Yah. Ih, dibilangin gak percayaan banget," gerutu Ala sebal. Mood-nya cepat sekali berubah. Dari yang tadinya baper-baper alay, sekarang jadi agak mendingan.
"It's just about the matter of time, Shalana Fasya," ucap Rayhan sambil merapikan rambut Ala yang berantakan, lalu segera berdiri dari kasur. "Adek sayang sama dia, tapi gak mau ngaku--"
Sebelum Ala sempat memotong perkataan--uh, tepatnya wejangan dari ayahnya, Rayhan buru-buru menambahkan.
"Nanti, semuanya bakal keliatan. Dia lebih milih adek, atau mantannya itu."
Oh, Ala sampai lupa jika Ayahnya ini mempunyai kemampuan untuk membaca pikiran orang lain.
---
a.n.
ga ngerti ini gw yang lg kenapa bisa tbtb nulis se baper ini HAHA maaf ya k1 otaknya rada-rada sengklek nih
KAMU SEDANG MEMBACA
Something and Nothing
Teen FictionBagaimana jika aku menganggapmu lebih dari something, sedangkan kamu bertindak seolah-olah aku itu nothing? cover made by: pizzajunkie Copyright © 2015 by yasmin