"Buset lu waktu itu, parah banget bikin anak orang nangis. Masih kaget gue, Ala bisa kayak gitu," celetuk Bian yang sedang duduk di sebelah Ezra, sambil memainkan game cookie run di ponsel miliknya.
Ezra yang sedang sibuk menyalin tugas dari papan tulis, menghentikan aktifitasnya sejenak. "Apa, sih? Udah baikkan juga, kan?"
"Ya baikkan, sih. Tapi nih, seandainya gue yang jadi Ala mah bakal mikir dua kali dulu," komentar Bian. "Masa iya lo ngelarang dia deket-deket sama cowok lain selain kakaknya sama lo?"
"Ya emang kenapa?" tanya Ezra datar, karena sebenarnya ia sudah menebak-nebak jawaban apa yang akan diberikan oleh Bian. Ujung-ujungnya pasti kultum, batin Ezra.
Bian yang mendengar pertanyaan dengan nada datar dari Ezra, mencibir. "Yaelah, seandainya gue jadi Ala nih, gue bakal bilang gini sama lo, 'Emang lo siapa gue? Kakak gue aja gak se posesif lo, tuh,'"
Ezra memutar kedua bola matanya. Sebenarnya dirinya malas menghadapi orang semacam Bian, tetapi mau bagaimana lagi? Bian merupakan salah satu sahabatnya--selain Ala, tentunya--. "Apaan, dah? Sok tau banget lo tentang kakaknya."
"Et dah, bang. Maaf-maaf aja nih. Tapi, kalau gue jadi dia mah gue gak mau dikekang. Masa iya dia mesti jadi perawan tua gitu gara-gara lo gak ngebolehin dia buat deket sama cowok diluar lo dan kakaknya?"
Ezra yang sudah sering mendengar komentar seperti ini, hanya membalasnya dengan nada datar. "Bacot lo gede bener."
"Wah gila, lu. Masa iya beneran mau jadiin Ala perawan tua gara-gara peraturan konyol lo?" tanya Bian.
Sebut Ezra egois, tetapi, jika telah menyangkut Ala, dirinya memang menjadi posesif. Sangat posesif. Ia hanya ingin Ala menjadi miliknya seorang.
"Ntar gue mau deketin Ala, ah. Lumayan. Udah cantik, pinter lagi. Siapa yang gak mau, sih, sama dia?" Ocehan dari Bian langsung membuat Ezra menatapnya sinis.
"Langkahin dulu mayat gue, sebelum ngedeketin dia."
Sebenarnya, Bian hanya mencoba untuk meledek Ezra.
"Santai, lah. Makanya ungkapin, sebelum dia diambil orang lain. Sampe kakak kelas aja banyak yang ngedeketin dia. Cupu, sih, kalau udah tentang perasaan," ledek Bian.
"Ambil-ambil. Emangnya dia barang? Lagian, gue nunggu waktu yang pas buat nyatain perasaan. Dan itu butuh waktu."
"Ya mau sampai kapan, nyet? Bokis lo, najis. Gak gentle banget jadi cowok. Pantesan gak ada yang pernah mau sama lo."
Ezra sudah benar-benar bosan dengan percakapan mengenai perasaan. Dia langsung berdiri, setelah sebelumnya menjawab pertanyaan Bian.
"Sampai dia peka sama perasaan gue. Dan nganggep gue sebagai cowok, bukannya sebagai sebatas sahabat."
---
Sementara, di waktu yang sama, tetapi berbeda tempat.
"Mau pesen apaan? Gue pesenin," tanya Arsha, membuat konsentrasi Ala pecah ketika sedang membaca cerita melalui aplikasi wattpad di iPhone-nya. "Hah? Lo ngomong apaan?"
"Wattpad mulu najis. Makan, kali. Mau dipesenin apaan?" ulang Arsha dengan sabar.
"Samain aja kayak lo," jawab Ala cepat, lalu kembali melanjutkan aktifitasnya yang sempat terhenti.
Lima menit kemudian, Arsha kembali. Mata Ala langsung berbinar-binar, kala melihat makanan jenis apa yang dipesan oleh Arsha.
"Wah anjir, cilur sayang. Siniin dong buru," ujar Ala sambil menarik plastik yang berisikan cilur dari tangan Arsha.
"Gue kawinin lu sama CEO cilur lama-lama," gumam Arsha pelan, tetapi masih dapat didengar secara jelas oleh Ala.
"Idih, cita-cita gue kan nikah sama dokter. Kenapa jadi ke abang-abang cilur?"
"Ya abisnya lo demen banget sama cilur, kayak udah menggerogoti hidup lo. Gue sleding mental lo ke rumah abang-abang cilur."
"Sini dah, gue bisikkin."
Arsha langsung mendekatkan telinga kanannya kepada Ala.
"Gak lucu, sumpah." ucap Ala dengan nada datar, dan ditambah dengan wajah tanpa dosa, membuat Arsha langsung ngedumel kesal.
"Gue sentil mental lu ke rumah Ezra," komentar Arsha sambil tetap ngedumel.
Ala yang mendengar komentar Arsha yang menurutnya tidak masuk akal, langsung tergelak. "Sini dah, gue bisikkin lagi. Serius, nih."
Arsha dengan tampang bloon-nya, malah mendekatkan telinganya kepada Ala, untuk yang kedua kalinya.
Ala kembali memulai aksinya seperti tadi, tetapi dengan kata yang berbeda. "Jayus, sumpah."
Arsha yang sudah menyiapkan sejuta sumpah serapahnya untuk Ala, mengurungkan niatnya. Dia hanya diam, sambil memakan cilur miliknya. Sikapnya yang hanya diam tanpa berkomentar apa-apa, membuat Ala gregetan. Pengen ngisengin lagi, tapi ntar marah, batin Ala.
"Alah, baperan banget najis jadi cewek. Kayak si Alla," keluh Ala dramatis. Membuat sahabat perempuannya ini, langsung menengok ke arahnya.
"Lah, lo kan Ala, Shalana Fasya. Goblok juga nih lama-lama, makan cilur mulu lagian."
"Itu maksudnya si Ezra," Ala menggaruk tengkuknya yang tidak gatal sama sekali. "Dia 'kan bapernya se langit se akhirat."
"Dia baper karena dia sayang sama lo," Arsha menjelaskan dengan sabar. "Kalau gak sayang, gak bakal baper."
"Sayang-sayang, gigi lu mundur. Gak usah ngaco. Gue sahabatan sama dia udah dari lama, gak mungkin ada perasaan bodoh semacam itu," tukas Ala sewot.
Arsha mendesah, jengah akan sikap Ala yang selalu mengelak dari kenyataan bahwa sebenarnya dirinya telah menyayangi--bahkan mungkin mencintai--Ezra sejak lama. Dan teori yang mengatakan 'cinta ada karena terbiasa' pun selalu dibuang jauh-jauh oleh Ala.
"Au amat. Pusing pala Raisa. Mau ke kelas, bye."
"Ye, sampean yo Raiso ta, nduk. Gitu aja ngambek," ledek Ala sambil tersenyum manis. Senyum yang membuat tiap orang menaruh hati padanya. Senyum yang membuat Ezra jatuh cinta dengannya selama bertahun-tahun, dan Ala sama sekali tidak sadar akan hal itu.
"Berisik lu, CEO cilur."
KAMU SEDANG MEMBACA
Something and Nothing
Teen FictionBagaimana jika aku menganggapmu lebih dari something, sedangkan kamu bertindak seolah-olah aku itu nothing? cover made by: pizzajunkie Copyright © 2015 by yasmin