Untuk pertama kalinya Adel merasa dirinya begitu rendah serendah-rendahnya. Apakah menjadi miskin adalah kesalahan? Jika bisa, Adel juga tidak menginginkan hal itu. Apakah menjadi jelek adalah kesalahan? Adel juga tidak mau terlahir begitu. Apakah kebodohan adalah kesalahan? Meski belajar segiat apapun, Adel tidak mengerti mengapa soal-soal di sekolah terlalu sulit untuk bisa ia pahami.
Jikalau saja Adel bisa mengubah takdir, ia juga tidak mau menjadi orang yang seperti ini. Ia juga mau menjadi orang yang bisa dipandang bagus dan sempurna seperti Lydia. Jikalau saja bisa. Tetapi, Adel siapa? Ia hanyalah manusia biasa yang lahir dari keluarga sederhana dan ditinggal seorang ayah ketika masih balita. Tidak ada yang berubah bahkan meski ia sampai menangis tersedu-sedu sekalipun.
"Nak." Adel tersentak mendengar panggilan tersebut. Kemudian ia mendongak dan mendapati seorang nenek tua yang memandangnya sedang tersimpuh dan bersandar pada tembok lorong masuk gang.
Adel dengan segera mengusap air matanya dan berdiri serta membersihkan pakaiannya yang kotor. Dengan senyuman yang dibuatnya pun kemudian berkata, "Ada apa, Nek?"
"M-Mau ... brownis kukusnya dua bungkus." Nenek itu berbicara dengan terbata-bata. Maklum, dengan kondisi tubuhnya yang sudah renta dan kulit keriput kurus hingga menampilkan keras tilangnya tentu sudah amat sepuh pula usianya.
"Tunggu, ya, Nek." Adel kemudian menyiapkan apa yang nenek itu minta. Ia mengambil dua kotak brownis dagangannya dan membungkusnya ke dalam plastik lalu menyerahkan pada si nenek.
"Anakku yang manis ini kenapa menangis?" Nenek itu berbicara, kali ini bicaranya lebih lancar dari sebelumnya. Meskipun, suara serak khas nenek-nenek masih dapat Adel dengar.
Nenek itu tidak segera mengambil plastik bungkusan kue yang Adel julurkan. Agak aneh rasanya Adel untuk bercerita hal yang menyangkut pribadinya. Sehingga, Adel hanya tersenyum dan menjawab, "Tidak apa-apa, Nek. Adel hanya lelah."
"Lelah sama kehidupan?" Nenek itu bertanya.
Adel sedikit terkejut hingga menelan ludah kasar. Uluran plastik kue itu kembali ditarik setelah dilihat dari gelagat nenek itu sepertinya tidak akan menerima. Adel pun tersenyum meski terpaksa. Ia tidak tahu harus menanggapi bagaimana atas pertanyaan nenek tersebut.
"Namanya tadi Adel, ya, Nak? Nak Adel tidak suka dengan kehidupan Nak Adel sekarang?" Pertanyaan nenek tua itu semakin banyak. Rasanya tidak akan selesai jika Adel tidak menjawab.
"Adel hanya lelah, Nek. Kadang takdir gak adil dalam menempatkan manusia. Perbedaannya kejauhan antara si paling atas dan paling bawah. Antara si sempurna dan tak sempurna." Adel akhirnya menjelaskan seadanya dengan wajah sedih.
"Nak Adel mau berada di posisi si sempurna?" Pertanyaan nenek tua itu membuat Adel tertawa.
"Mana bisa, Nek. Nasib saya sudah seperti ini gak mungkin bisa dirubah." Adel menanggapinya dengan jenaka. Tetapi wajah serius sang nenek membuat Adel merasa kurang nyaman.
"Kalau Nenek bisa kabulin permintaan Nak Adel untuk menjadi sempurna bagaimana?" Lagi. Adel kembali tertawa oleh ucapan nenek itu.
"Mana mungkin, Nek. Adel udah bilang nasib–"
"Nenek bisa pindahin jiwa Nak Adel ke wadah yang sempurna dan hidup sebagai si sempurna." Ada penekanan di balik penuturan dari suara sedang nenek itu.
Adel terdiam, ia tak tahu lagi harus berkata apa. Lantas kemudian ketika nenek itu mengulurkan sebuah kalung berwarna perak dan ada liontin berbentuk jantung berwarna merah, Adel mengerti bahwa nenek itu berniat memberikannya padanya.
"I-Ini apa, Nek?" tanya Adel penasaran.
"Kalung yang akan merubah hidupmu, Nak."
"Maksud Nenek?"
"Letakkan beberapa helai rambut dari orang yang menurutmu sempurna ke dalam bandul jantung kalung itu maka Nak Adel akan berubah sesempurna orang itu. Namun, jiwamu akan kembali jika Nak Adel membersihkan helaian rambut di dalam bandul jantung itu."
"Haha! Nenek mah pinter bercanda."
"Coba saja kalau begitu untuk membuktikannya, Nak."
Adel terdiam. Ia tertunduk dalam beberapa saat hanya untuk memandangi kalung yang sudah berpindah ke tangannya. Diperhatikan lebih dalam, ada cahaya kemerahan yang muncul dari bandul kalung tersebut setiap terkena cahaya lampu. Di mata Adel, itu adalah benda yang amat cantik. Meski nenek itu berbohong sekalipun, ia bersyukur mendapatkan sebuah kalung cantik secara cuma-cuma.
"Terima kas–" Ucapan Adel terpotong.
Nenek yang baru saja berada di hadapannya sudah menghilang entah ke mana. Di tangan Adel juga masih ada sebungkus kue yang harusnya ia serahkan pada nenek itu. Ah, tidak perlu banyak dipikirkan. Sebaiknya Adel segera kembali mengingat ia harus ke tempat di mana tadi ia berpisah dengan sang ibu.
.
.
.Jum'at, 26 Mei 2023, 00:23 WIB.
🌹❤️🌹
~ Resti Queen ~
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Ugly, Just Broken! [END]
Teen FictionAdelia Putri selalu menjadi bahan perundungan di sekolahnya lantaran kondisi hidupnya yang tak sempurna. Miskin, jelek, dan bodoh. Itulah yang selalu disematkan oleh Lydia Kirana, seorang gadis dengan predikat sempurna berkat kecantikan, kecerdasan...