17. Meja Makan

3 1 0
                                    

Seperti sebelumnya, Papa Lydia yaitu Erlangga hanya hadir di jam makan malam. Pria itu tentunya baru pulang bekerja lalu membersihkan diri sebelum hadir di meja makan. Masih sama seperti acara makan malam sebelumnya, hening, tanpa obrolan, dan penuh keanggunan. Adel masih ingat bagaimana ia diejek dan hampir ditampar hanya karena sikap tidak anggunnya saat sedang makan. Maka, kali ini tidak lagi. Adel makan malam dengan pelan dan menikmati makanan di atas meja dengan sopan. Berkat hal itu, tidak terjadi lagi yang namanya keributan.

"Bagaimana dengan sekolahmu?" Suara berat Erlangga memecah keheningan.

"Baik-baik saja, Pa." Lydia menjawab seadanya.

"Kelasmu? Nilaimu? Temanmu? Pergaulanmu juga baik-baik saja?" Erlangga mengutarakan banyak pertanyaan.

Adel terkesiap hingga mendongak dan memandang pria itu serius. Ini pertama kalinya ia mendengar papanya berbincang tentang sekolahnya dan penasaran terhadap banyak hal. Atau mungkin saja Erlangga memang demikian. Hanya saja, Adel yang tidak tahu karena baru kali ini pria itu bertanya selama ia menjadi Lydia.

"O-Oh, semuanya baik-baik saja, Pa. Lydia dapat nilai bagus dan sama teman-teman Lydia juga gak ada masalah." Adel menjawab. Dengan sempurnanya ia bersikap layaknya ia adalah Lydia yang asli.

"Baguslah, anak papa memang sudah seharusnya mendapatkan nilai bagus. Dengan begitu, suatu saat papa bisa memberikan perusahaan padamu dan kamu harus mampu mengelolanya dengan baik." Erlangga menanggapi.

Adel sesak napas untuk sepersekian detik. Jangankan mengelola perusahaan, menghitung laba dan rugi di setiap ia berjualan dengan sang ibu di masa lalu sering saja salah. Ini bisa gawat jika sampai ia menjadi Lydia terus selamanya. Agaknya, Adel perlu kembali ke tubuh aslinya jika sudah dirasa cukup berpura-pura sebagai Lydia.

Namun, jika dipikir ulang, harusnya urusan perusahaan pun ia bisa melakukannya. Dengan uang dan kekuasaan papanya, tentunya ia akan mendapatkan pendidikan yang bagus. Hal itu juga bisa membuat mempelajari banyak hal termasuk bisnis yang lebih luas.

"Iya, Pa." Adel menjawab seadanya.

"Berapa nilai ujianmu minggu ini?" Erlangga sekali lagi bertanya.

"Tujuh pul–"

"Tujuh puluh?!" Erlangga menginterupsi dengan suara yang lebih tinggi dibanding sebelumnya.

"Tujuh puluh tujuh, Pa. Bukan tujuh puluh." Adel membetulkan tebakan papanya.

Tapi, sekarang bukan waktu untuk betul membetulkan. Adel harus siap menghadapi Erlangga yang sekarang memasang wajah penuh emosi terhadapnya. Satu gebrakan meja pun kembali didapatkan olehnya. Erlangga sampai berdiri dari posisinya duduk sambil menunjuk-nunjuk ke wajah putrinya.

"Kamu sadar dengan angka yang kamu sebutkan ke Papa?" Erlangga bertanya.

Adel jadi bingung menjawab. Ia tidak paham dengan letak kesalahannya. Jika diingat kembali, segalanya berubah setelah membahas tentang nilai. Sebelumnya ketika Adel mengatakan perihal nilai yang bagus, papanya masih baik-baik saja. Namun, segalanya berubah ketika yang disebut Adel adalah angka.

Adel tidak salah, kan? Tujuh puluh tujuh itu adalah angka yang bagus dan tinggi, bukan?

Adel tidak mengerti. Akan tetapi, papanya saat ini benar-benar murka hingga menatap wajah pria itu saja Adel tidak lagi mampu melakukannya. Wajah papanya mengintimidasi hingga Adel dibuat ciut lalu menunduk begitu dalam.

"S-Sadar, Pa. I-Itu nilai yang bagus, kan, Pa?" Adel menanggapi dengan terbata.

"Anak di keluarga ini tidak boleh mendapatkan nilai rendah!" Suara Erlangga menggelegar.

Adel baru tahu sekarang. Pantas saja selama ini Lydia selalu mendapatkan nilai seratus di sekolah. Karena kalau tidak, pasti gadis itu akan mendapatkan amukan yang seperti ini. Nilai-nilai sempurna di sekolahnya mungkin saja akibat tuntutan dan ketidakmauan Lydia mendapatkan amukan dari papanya sendiri.

"I-Itu tingkat kesulitannya berbe–"

"Sulit? Setelah papa menfasilitasi banyak hal untukmu agar giat belajar kamu justru banyak main dan nilainya turun?! Kurang apa alat-alat belajar yang papa siapkan? Laptop, tablet, ponsel bagus, alat penunjang lainnya. Apa itu masih kurang?!"

Ah, sekarang Adel mengerti. Jadi itu alasan mengapa banyak barang elektronik lengkap di kamar Lydia. Untuk belajar dan belajar. Bukan untuk bersenang-senang.

"M-Maaf, Pa." Adel hanya berucap demikian.

Namun, papanya pun tidak segera berhenti meski sudah mendengar kata maaf darinya. Marah-marah itu masih berlanjut, umpatan-umpatan dan makian pun terdengar dari mulut papanya sendiri. Tidak pernah dalam hidup Adel diperlakukan seperti ini oleh orang tuanya. Meskipun ia tidak memiliki sosok seorang ayah, tetapi jika itu seperti papa Lydia, ia tidak suka. Keterlaluan.

Ucapan Erlangga terlalu menyakitkan bahkan hanya untuk perkara nilai. Kalau Lydia yang asli mungkin sudah mendapatkan nilai sempurna. Namun, ini Adel. Gadis dengan otak pas-pasan yang baginya angka tujuh puluhan saja sudah amat tinggi dan banyak perjuangannya.

Menjadi gadis sempurna rupanya melelahkan.

.
.
.

Senin, 26 Juni 2023, 20:27 WIB.

🌹❤️🌹

~ Resti Queen ~

I'm Not Ugly, Just Broken! [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang