Halaman belakang sekolah sepertinya sudah menjadi tempat favorit sebagai tempat pertemuan bagi Adel dan Lydia. Kedua gadis itu kembali berjumpa sebelum pulang ke rumah masing-masing. Kali ini, Adel yang mengajak Lydia berbicara.
"M-Maaf, ya, jawaban ketus saya ke Lili dan Sarah tadi pagi bikin pertemanan di antara kalian jadi gak enak." Adel mengatakan hal itu dengan perasaan bersalah. Ia tidak tahu jika pembicaraan Adel tadi pagi dengan kedua orang itu akan menjadi obrolan yang terakhir karena pada kesempatan berikutnya, dua orang itu kembali datang hanya untuk memutuskan pertemanan.
"Lili dan Sarah, ya? Gue baru sadar kalau kedua orang itu toxic dan kayaknya gue gak bakal jadi pribadi yang lebih baik kalau temenan sama mereka." Lydia menanggapi itu dengan santai.
Adel masih terkejut, ia sedikit tidak terbiasa dengan keramahan Lydia yang seperti sekarang. "B-Baguslah. Saya senang kalau Lydia gak apa-apa dengan itu."
"Tapi, gue butuh pengganti karena lo udah bikin teman gue ngilang." Lydia mengatakan itu membuat Adel kembali terkejut untuk yang kedua kalinya.
Dengan panik Adel pun bertanya, "Pengganti bagaimana maksudnya?"
"Lo harus jadi teman gue," jawab Lydia.
"A-APA?" Adel terkejut hingga meninggikan suara. Gadis itu masih sedikit tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Lydia mau berteman dengan dirinya? Orang yang selama ini dirundung dan lagipula Adel merasa tidak pantas untuk bersanding sebagai teman bagi orang seperti Lydia.
"Gak usah ada pikiran gak pantas dan segala macamnya. Kalau dipikir-pikir itu lebih baik dari pada gue gaul sama orang yang toxic kayak mereka, kan." Lydia berkata seakan bisa mengerti dengan apa yang dipikirkan Adel saat ini.
"T-Tapi, Lydia serius kan?" Adel masih ragu.
"Lo pikir gue menipu? Kalau gak mau ya udah gue juga gak masalah gak punya tem–"
"Mau kok. Malah saya senang kalau punya teman yang seperti Lydia." Adel serius saat berkata seperti itu. Ia benar-benar ingin berbaikan dengan Lydia. Senyum di wajahnya pun mengembang lebar, begitu juga Lydia yang melempar senyuman tipis tapi dalam hatinya sama-sama senang. Kedua orang itu pada akhirnya sekarang saling menerima dirinya masing-masing. Dan setelah sekian lama dalam perundungan, akhirnya keduanya bisa berteman.
"Kalau dipikir-pikir usaha Bu Widya bagus juga. Tapi progresnya rendah kalau cuma jualan di jalan. Kalian butuh tempat biar bisa mengembangkan usaha lebih maju daripada yang sekarang." Lydia memberikan komentarnya.
"Dahulu kami memang sempat kepikiran untuk buka toko roti di lokasi yang strategis. Tapi kalau tempat, ekonomi kami gak begitu stabil sampai bisa nyewa untuk buka toko."
"Urusan itu gampang. Gue bisa bantu dapatin tempat. Kebetulan gue jadi teringat sama lokasi rumah kosong yang dulu sempat papa jadikan sewa ke seseorang tapi sekarang udah terbengkalai gak kepakai."
"T-Tapi, nanti bagaimana kalau Pak Erlangga marah dan–"
"Papa itu gak bakalan marah sama gue kalau gue gak ngapa-ngapain dan masih bisa menuhin ekspektasi dia. Selama gue gak bertingkah, kalau cuma rumah ya gue bakalan dikasih secara cuma-cuma."
"Menjadi kamu tuh ada enaknya dan ada gak enaknya juga, ya." Adel menanggapi.
"Baru tau?" Pertanyaan Lydia spontan dijawab dengan anggukan kepala. "Pokoknya, pulang dari sini, lo bilang aja kalau mau ngambil rumah itu ke papa. Soalnya kan lo kan di tubuh gue sekarang."
Adel hanya mengangguk lagi sebagai jawaban. Tidak perlu melakukan hal itu sebenarnya karena dirinya pun sudah membuat keputusan untuk mengembalikan posisi mereka ke sedia kala. Tepat pulang sekolah ini, Adel akan menghentikan segalanya.
.
.🌹❤️🌹
Jum'at, 30 Juni 2023, 18:52 WIB.
🌹❤️🌹
~ Resti Queen ~
KAMU SEDANG MEMBACA
I'm Not Ugly, Just Broken! [END]
Teen FictionAdelia Putri selalu menjadi bahan perundungan di sekolahnya lantaran kondisi hidupnya yang tak sempurna. Miskin, jelek, dan bodoh. Itulah yang selalu disematkan oleh Lydia Kirana, seorang gadis dengan predikat sempurna berkat kecantikan, kecerdasan...