22. Undangan

586 89 17
                                    

Jangan lupa like + komen

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Jangan lupa like + komen.

***

"Dimana Seno?"

Clarista menerobos masuk melewati Naora begitu saja.

"Mas Seno masih di kantor mbak," sahut Naora berusaha bersabar sembari menutup pintu rumah.

"Pulang telat mulu dia."

"Iya. Lagi banyak kerjaan."

"Ck. Lo sendiri gak kerja?"

"Aku... uda tiga bulan berhenti kerja mbak."

Clarista berbalik dan menatap adiknya penuh selidik. Kemudian, perempuan itu kembali berdecak.

"Mentang-mentang uda punya suami kaya, jadi lo berhenti kerja? Enak? Numpang hidup sama Seno? Gak bantuin finansial bapak sama ibuk lagi lo?"

"Bapak sama ibuk nggak pernah mau kalau aku kirim uang mbak."

"Hallah alasan aja lo," potong Clarista dan memilih duduk di salah satu sofa. Netranya beredar memperhatikan tiap sudut ruangan. Kening perempuan itu berkerut tak suka.

"Kok ruangan ini beda?"

"Maksudnya mbak?"

"Lemari kaca yang isinya cangkir teh disana kemana?" tanya Clarista seraya menunjuk salah satu sudut ruangan.

"Trus ini lampu ruang tamu kok diganti? Vas bunga juga! Trus sejak kapan ada rak buku disitu?"

Clarista berdiri dan berjalan menyusuri tiap sudut ruangan sebelum kembali menatap Naora.

"Lo berani ngubah interior rumah?"

"Mas Seno yang ngubah semuanya mbak. Sedikitpun aku nggak pernah urusin perabotan rumah."

"What?"

"Dia bilang butuh suasana baru. Jadi ada beberapa barang nggak di pakai yang akhirnya diganti sama barang lain."

"Nggak. Dia pasti bercanda."

"Mbak mau kemana?"

Naora terlihat bingung saat Clarista berjalan melewatinya. Ia menyusul langkah kakaknya. Naora menahan pergelangan tangan Clarista ketika perempuan itu hendak membuka pintu ruang kerja Seno.

"Mbak mau apa?"

"Lepasin."

"Jangan mbak."

Akad PernikahanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang