2. Levino Patra

1.7K 134 6
                                    

Chat lo udah kayak bapak gua.

Balasan pesan dari Serra membuat seulas senyum tipis terukir di wajah Levino Patra. Ia bisa membayangkan bagaimana raut yang sedang dipasang gadis itu ketika membaca dan membalas pesannya. Mengenai persaingan mereka, sebenarnya Vino menanggapi dengan santai. Ia memang mengejar jenjang karir, tetapi ia tidak suka kalau harus bermusuhan dengan siapa pun di kantor. Kantor itu sudah seperti rumah kedua. Bahkan, ada masanya ketika ia lebih banyak menghabiskan waktu di kantor daripada di rumah. Rasanya tidak nyaman jika harus mempunyai musuh di kantor, menguras tenaga dan emosi yang sebenarnya tidak perlu. Namun, berbeda dengannya, Serra justru membangun tembok tinggi di antara mereka. Ia benar-benar menganggapnya saingan yang berbahaya. Ya, daripada bersikap sama seperti gadis itu, Vino justru tidak ambil pusing dan menikmati setiap respon Serra sebagai hiburan.

"Ibu Maudy." Panggilan seorang perawat menandakan bahwa obat-obatan yang diresepkan oleh dokter untuk mamanya, sudah bisa ditebus.

Vino segera menuju loket untuk menyelesaikan pembayaran, menerima obat, kemudian mendorong kursi roda yang diduduki Maudy menuju lift.

"Udah, kamu tinggal aja Mama di sini. Nanti Vika bisa jemput Mama," ujar Maudy di depan pintu lift, menyebut nama anak sulungnya.

"Ya nggak mungkin dong, Ibu Maudy."

Suara denting lift terdengar sesaat sebelum pintu terbuka. Vino kembali mendorong kursi roda itu dan menunggu alat itu membawa mereka ke lantai dasar.

"Nggak apa-apa, Vin. Lagian kamu 'kan harus ke kantor."

"Aku cuti kok hari ini," sahutnya.

"Lho, jangan dong!"

Dahi Vino berkerut mendengar suara Maudy yang meninggi. "Kenapa?"

"Kamu tuh jangan kebanyakan bolos, nanti gajimu dipotong sama bos."

Laki-laki itu hampir tertawa mendengar kegelisahan mamanya. Namun, ia buru-buru menggunakan kesempatan itu untuk mengomeli beliau.

"Biarin aja, gaji aku dipotong terus sama bos. Abisnya Mama bandel sih. Aku sama Kakak udah berkali-kali bilang, Mama pake jasa tukang kebun aja. Tetap aja keras kepala, mau merawat sendirian, ujung-ujungnya tuh..." Vino mencondongkan dagunya, menunjuk kaki Maudy yang baru saja dibebat.

Sekitar pukul tujuh pagi tadi, betapa paniknya Vino mendapat telepon dari Maudy sedang merintih kesakitan. Rupanya beliau terpeleset di pekarangan rumah ketika sedang asyik menyiram tanaman. Saat itu, beliau sedang sendirian sementara Vika sedang mengantar anaknya, Killa, ke sekolah. Vino memang tinggal terpisah dari keluarganya. Ia sengaja menyewa sebuah apartemen yang jaraknya dekat dari Capella, juga belajar untuk hidup mandiri.

Ada yang bilang, sebelum berumur tiga puluh tahun, kita harus punya tabungan sebesar 1 miliar, rumah, mobil, pasangan, kenapa tidak sekalian saja punya pesawat pribadi? Pulau pribadi? Siapa sebenarnya yang membuat standar seperti itu? Vino memang masih punya waktu dua tahun lagi sebelum mencapai kepala tiga, tetapi tentu saja semuanya tidak akan terpenuhi dalam waktu dua tahun. Ia bukan berasal dari keluarga konglomerat yang hartanya tidak habis selama tujuh turunan. Oh, atau bisa jadi ia memang punya silsilah keluarga konglomerat, hanya saja ia memang sudah termasuk di urutan dua puluhan sehingga warisan keluarganya sudah habis.

Vino hanya bisa mengandalkan gaji bulanannya, dan untunglah ia bekerja di hotel, sehingga ia juga mendapat service charge yang jumlahnya lumayan. Dalam industri perhotelan, setiap kali tamu menginap atau makan di restoran akan dikenakan service charge. Nah, biaya servis ini kemudian akan dibagi rata kepada semua karyawan setiap bulan. Makanya tak jarang orang senang bekerja di hotel karena seperti mendapat gaji dua kali dalam sebulan.

Namun, se-senang apapun seseorang akan pekerjaannya, tetap saja perihal mencari uang itu bukan perkara mudah. Jangankan berharap punya uang satu miliar, ia tidak pernah tipes selama bekerja saja sudah bersyukur. Soal rumah, ia memang sedang menabung agar bisa punya tempat tinggal atas namanya sendiri. Laki-laki itu sudah punya mobil, hanya saja cicilannya belum lunas. Kalau pasangan, tidak perlu ditanya karena kisah cintanya memang jauh dari kata indah, suram, lebih tepatnya.

"Tuh 'kan, beneran dipotong," jawabnya, mengabaikan ocehan Vino yang panjang lebar. Denting lift kembali terdengar, dan mereka segera keluar dari sana. "Daripada Mama tambah merasa bersalah, mendingan Vika aja yang anterin Mama pulang. Kamu ngantor aja."

"Emang Kakak mau? Dia aja masih sebel sama Mama karena nggak nurut. Makanya, kali ini dengerin aku. Aku yang antar Mama pulang. Lagian, kalo Mama aku tinggal di sini, terus diculik gimana? Mana bisa kabur kalo kakinya begitu."

"Halah, ngawur. Mana ada orang yang mau culik nenek-nenek peyot begini."

Tawa Vino pecah mendengar pengakuan dari mulut ibunya sendiri. "Untung sadar."

Laki-laki itu memapah Maudy dengan hati-hati menuju kursi penumpang dan segera bergegas memacu mobilnya untuk pulang ke rumah. Lalu lintas cukup padat karena semua orang sedang mengejar waktu agar tidak terlambat masuk kerja. Vino menyalakan radio untuk sedikit mengalihkan bisingnya deru dan klakson dari kendaraan sekitar.

Maudy memandangi anak bungsunya cukup lama. Ia belum pernah membahas tentang ini, apalagi sejak hubungan Vino bersama mantan kekasihnya kandas sekitar empat tahun lalu. Beliau menghela napas sejenak, lalu, "Vin, kamu udah punya pacar belum?"

"Belum."

"Emang kamu nggak nyari?"

Vino diam sebentar, sedang fokus menyalip satu mobil di depannya. "Nyari ke mana?" tanyanya kemudian.

"Teman-teman kamu? Masa nggak ada?"

"Teman-teman aku tuh udah pada nikah, Ma," jawabnya sambil tertawa kecil.

"Nah itu. Emang kamu nggak pengen nikah? Selama ini, kamu urusin Mama, terus yang urusin kamu siapa? Yang nemenin kamu siapa?"

"Kalo soal nemenin, 'kan ada si Macan," ujar Vino menyebutkan nama kucing peliharaannya. Bukan karena penampilannya yang mirip harimau, hanya saja kucing berbulu putih dengan sedikit corak cokelat di bagian atas kepalanya itu sering menunjukkan amarahnya, apalagi jika telat diberi makan. Makanya, Vino menamainya Macan karena ia galak seperti macan.

Maudy menepuk lengan anaknya pelan. "Ah, kamu itu," lalu kembali disambut tawa oleh Vino. "Atau, kamu masih belum bisa lupain dia ya?"

Ekspresi laki-laki itu berubah, seakan-akan itu adalah pertanyaan yang paling tepat untuk dirinya. Meskipun begitu, tetap saja lidahnya kelu untuk menjawab. Maka, jawaban yang bisa ia berikan untuk Maudy hanya, "Udah, Mama nggak perlu mikirin yang aneh-aneh. Jodoh itu udah diatur sama Tuhan."

"Iya, tapi kamunya yang susah diatur."

Akhirnya pertanyaan tentang jodoh, berhenti di sana karena Vino buru-buru mengganti topik pembicaraan. Ia paling malas jika harus mengungkit tentang orang itu. Bahkan, ia juga tidak membiarkan jika ada sekelebat saja kenangan masa lalu yang terbersit di benaknya. Kalau ditanya soal perasaan, jelas Vino tidak punya rasa cinta lagi pada orang itu. Namun, kalau ditanya soal melupakan, bagaimana bisa ia melupakan rasanya jatuh cinta dan percaya total pada seseorang, tetapi ternyata orang tersebut membohonginya habis-habisan? Laki-laki itu belum lupa bagaimana ia seperti orang bodoh karena hanya ia sendiri yang mencintai dengan sepenuh hati. Inilah alasan Vino masih betah menyendiri. Ia masih belum bisa memberikan kepercayaannya lagi pada orang lain.

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang