24. Bukan Pertama Kali

1K 82 1
                                    

Dahi Serra mengerut dalam. Bibirnya manyun. Sambil memotong wortel di dapur, ia sibuk bertanya-tanya dalam hati, mengapa laki-laki yang bernama Levino Patra tidak bisa dihubungi sejak kemarin pagi?

Begini, Vino memang pergi ke luar kota selama seminggu untuk perjalanan dinas. Walaupun tidak bertemu, keduanya intens saling bertukar pesan. Kebanyakan memang membahas pekerjaan, tetapi di luar jam kerja, mereka saling menanyakan kegiatan masing-masing, atau membahas topik ringan sebagai bahan obrolan. Entah sejak kapan mulainya, tetapi Serra mulai sering terlihat senyum-senyum sendiri setiap mendapat pesan dari laki-laki itu.

Maka, ketika sudah lebih dari 24 jam Vino tidak memberi kabar apapun, ia mulai gelisah. Kemarin pagi, Vino kembali ke Jakarta, lalu ia mengabari sudah sampai di apartemennya dan ingin tidur sebentar, masih mengantuk karena jam penerbangan subuh. Itu pesan terakhir dari Vino. Malamnya, Serra bertanya, apakah laki-laki itu sudah puas beristirahat. Namun, sampai pagi ini pun pesan itu tidak dibaca.

Sebelum Serra membantu Lia di dapur pun, ia sempat menelepon Vino beberapa kali, tetapi tidak dijawab. Ke mana sebenarnya laki-laki itu?

"Astaga, anak gadis!" Seruan Lia menyadarkan gadis itu dari lamunannya. "Kenapa wortelnya diiris kecil-kecil begitu? Mama 'kan mau masak sup ayam."

Serra melihat hasil kerjanya sendiri, meringis. "Maaf," kemudian ia berdalih, "Nggak apa-apa deh, Ma, sekali-sekali wortelnya model baru. Rasanya juga sama aja."

Lia mengesah, lalu mengibaskan tangan. "Udah, sana. Biar Mama aja yang kerjain sendiri."

"Benar? Ini Mama lho yang ngusir, ya. Bukan aku yang nggak mau bantuin."

"Iya, sana."

Serra melihat jam di dinding. Kalau begitu, apa ia ke apartemen Vino saja? Hanya untuk memastikan bahwa laki-laki itu benar masih hidup.

"Ma, aku pergi, ya."

"Sama pacar kamu?"

Gadis itu memutar bola matanya. Ini semua karena ulah Vino di kondangan waktu itu. "Dia bukan pacar aku, Mama. Aku udah ngomong ini seribu kali deh," katanya sambil berlalu, mengabaikan sang mama yang melempar tatapan penuh arti.

***

Saat ini Serra sedang menunggu seorang resepsionis di apartemen Vino menelepon ke unit laki-laki itu untuk mengabari bahwa ia kedatangan tamu.

"Selamat siang, Pak Vino. Ada tamu yang mencari Bapak."

Di satu sisi, Serra lega bahwa Vino ada di apartemennya dalam keadaan masih bernyawa. Di sisi lain, ia sebal karena laki-laki itu tidak menggubris pesan dan panggilannya sama sekali.

"Atas nama Ibu Serrafin Savira," ujar sang resepsionis lagi sambil membaca kartu identitas milik Serra. "Baik, Pak. Terima kasih." Setelah telepon ditutup, si resepsionis pun meminta seorang satpam untuk mengantarnya masuk ke dalam lift, menggunakan kartu akses, menuju lantai unit Vino.

Kini, gadis itu sudah berada di depan pintu, bersiap menyemburkan segala kejengkelannya. Ia menekan bel satu kali dan pintu langsung terbuka. Amarah Serra tertahan di ujung lidah ketika melihat penampilan Vino yang bisa dibilang kacau. Rambutnya berantakan seperti orang habis bangun tidur, matanya bengkak dan tampak sulit terbuka, serta bulu halus di sekitar mulut dan dagu yang entah tidak dicukur berapa hari. Meski begitu, Vino tetap tersenyum sumringah tanpa dosa.

Sebelah alis Serra terangkat. "Are you okay?"

Yang ditanya mengangguk, masih dengan senyum menghiasi wajahnya.

"Bagus deh kalo nggak kenapa-kenapa. Gua balik dulu."

Serra merasa dibodohi oleh kecemasannya sendiri akan laki-laki yang sebenarnya sedang dalam keadaan baik. Ia bahkan sampai repot-repot datang ke sini. Ada apa dengan dirinya? Tiba-tiba, gadis itu merasakan sepasang tangan melingkari tubuhnya, memeluknya dari belakang. Serra sukses mematung, dan jantungnya mulai berdetak di atas kecepatan rata-rata.

"Jangan pulang dulu." Terdengar suara Vino yang parau dan gadis itu baru merasakan suhu tubuh laki-laki itu tidak normal.

Dengan cepat, Serra berbalik, meletakkan telapak tangan di dahi dan leher laki-laki itu. "Lo demam?" tanyanya khawatir.

"Kecapekan aja. Udah minum obat juga, paling sebentar lagi sembuh."

Serra mendorong tubuh Vino yang lemas masuk ke dalam apartemen, sambil mengomel, "Kenapa nggak bilang sih kalo sakit? Ya udah, lo istirahat aja. Udah makan?"

"Udah. Tadi kakak gua sempat ke sini."

Sekarang gadis itu membimbingnya ke tempat tidur, menarik selimut hingga ke dada Vino agar laki-laki itu dapat tidur dengan nyaman.

"Habis ini lo nggak langsung balik 'kan?" tanya Vino dengan tatapan setengah memohon.

"Gua tunggu di ruang tamu. Kalo butuh apa-apa, panggil gua aja."

"Oke," sahut Vino senang. "Lo bebas mau ngapain aja di sini, nggak perlu sungkan. Anggap aja…" Ia sengaja menggantung kalimatnya.

"Rumah sendiri?"

"Simulasi tinggal bareng gua di sini," lanjutnya sambil cengengesan.

Gadis itu mendengkus, tetapi tetap ikut tertawa, lalu bangkit berdiri. "Mendingan lo buruan tidur deh, sebelum makin ngelantur ke mana-mana."

Serra langsung menghampiri dan menggendong Macan begitu ia keluar kamar. Sambil mengelus Macan, ia berbaring dengan nyaman di sofa ruang tamu, sambil berpikir apa yang akan dilakukannya selama menunggu laki-laki itu istirahat. Selama satu menit, ia belum juga menemukan ide untuk melakukan kegiatan menarik.

Akhirnya, ia memiringkan tubuh, dan pandangannya jatuh pada karpet di lantai. Terbersit kembali dalam benaknya, kejadian malam itu. Hatinya berdesir kala mengingat sejak saat itu, ada perasaan lain yang hinggap dalam dadanya. Bahkan, perasaannya pada Evan bisa pudar dengan mudah karena ia tidak sempat lagi memikirkan hatinya yang sedang patah. Hubungannya dengan Vino juga mulai berubah. Kalau mengingat betapa sengitnya suasana di antara mereka ketika bersaing mengejar jabatan, mana mungkin dirinya akan ada di sini sekarang. Mana mungkin ia cemas ketika laki-laki itu tidak membalas pesannya. Mana mungkin ia peduli jika laki-laki itu sedang sakit dan harus merawat dirinya sendiri.

Namun, sejujurnya ia tidak pernah menyesali apapun yang terjadi malam itu. Pencahayaan yang gelap, tatapan yang teduh, sentuhan yang hangat, wajah yang saling berdekatan, hati yang berdebar… tunggu! Serra segera bangkit dari tidurnya, membuat Macan ikut terkejut dan turun dari pangkuan gadis itu.

Kenapa rasanya suasana itu tidak asing? Serra menggigit ujung jarinya sambil menggali ingatannya. Tak lama kemudian, gadis itu tertegun. Bukankah suasana itu mirip dengan saat mereka berdua sembunyi di ruang dokumen? Ketika mereka tidak sengaja menangkap basah Hendra dan Nova yang sedang berduaan. Waktu itu juga gelap, mereka saling bertatapan, tangan Vino yang menahan tubuhnya, wajah yang berjarak tipis, serta hati yang berdebar.

Hati yang berdebar? Serra terkesiap pelan dan otomatis memegang dadanya sendiri. Apa sejak saat itu? Bagaimana bisa ia baru menyadarinya sekarang? Rupanya saat itu, hatinya telah berbicara sesuatu mengenai Vino. Hanya saja, ia tidak terlalu menghiraukan karena pikirannya masih diisi oleh Evan seorang. Seandainya waktu itu ia sudah sadar akan perasaannya sendiri, mungkin ia tidak akan menghabiskan waktu lebih lama lagi dengan Evan.

Serra kembali merebahkan dirinya. Menyesali Evan juga tidak berguna lagi saat ini. Bagaimana pun, semua telah terjadi. Yang penting, sekarang ia tidak akan mengelak lagi. Ia akan mengikuti kata hatinya saja.

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang