Dengan pandangan kosong, Serra terus menjejali mulutnya dengan sebungkus besar keripik kentang yang baru saja ia beli sepulang kerja. Ia akan mengurung diri di kamar selama yang ia mau. Ia juga tidak berminat mengonsumsi apapun kecuali yang ada di kantong belanjanya. Begitu caranya agar ia tidak terlalu larut dalam kesedihan. Prinsipnya, jika ia sedang mengalami sesuatu yang buruk, setidaknya ia masih bisa makan makanan kesukaannya.
Sejak tadi ponselnya tidak mau diam. Ada yang menelepon, ada juga yang mengirimi pesan. Serra melirik benda itu, menarik napas panjang, dan mengalihkan pandangan. Vino masih belum menyerah menelponnya berkali-kali, juga mengirimkan pesan yang enggan dibacanya.
Bunyi ponselnya berhenti, digantikan dengan bunyi pesan masuk. Gadis itu kembali meliriknya. Kali ini dari Evan, menanyakan kabarnya, memastikan ia baik-baik saja karena Serra belum membalas pesannya setelah berjam-jam. Ya, wajar saja laki-laki itu bertanya karena Serra selalu merespon dengan cepat setiap pesan yang ia kirimkan. Kalau memang ada keadaan mendesak dan Serra tidak bisa membalas pesannya selama waktu tertentu, biasanya gadis itu akan mengabari.
Ah, melihat nama laki-laki itu saja sudah cukup membuat hatinya tertusuk. Apa sebutan yang pantas untuk keadaannya sekarang? Dikhianati? Apakah pantas disebut begitu, sementara mereka memang tidak punya hubungan apa-apa? Namun, benarkah mereka tidak punya hubungan apa-apa?
Kadang, Evan memujinya cantik ketika mereka sedang bertemu. Laki-laki itu juga beberapa kali menggenggam tangannya di dalam mobil, saat mereka bepergian. Ia suka mengusap puncak kepala Serra, sehingga hatinya ikut berdesir. Ia adalah orang yang selalu mengucapkan selamat pagi dan selamat tidur setiap hari. Ia setia mendengarkan setiap keluh kesah Serra mengenai apapun, dan dengan sabar memberikan kata-kata yang menenangkan.
Lantas, apakah itu memang bisa dibilang tidak punya hubungan apa-apa? Atau selama ini hanya Serra yang merasa senang sendiri?
Gadis itu kembali memasukkan segenggam keripik kentang, meskipun yang di dalam mulut belum ditelan dengan sempurna. Demi Tuhan, ia tidak bisa berpikir jernih sekarang ini, sejak kejadian di hotel tadi. Kalau memang laki-laki itu sudah bertunangan, kenapa ia bersikap seperti ini kepadanya? Melambungkan perasaannya setinggi mungkin, untuk bisa dengan mudah dicampakkan. Vino juga tahu hal itu, tetapi ia memilih diam. Di mata kedua lelaki itu, apakah ia terlihat seperti seseorang yang mudah dipermainkan?
Serra akhirnya meraih benda kecil itu, mengaktifkan mode diam, lalu mencari kontak untuk ditelepon. Ia butuh teman bicara agar pikirannya lebih tenang.
Terdengar nada sambung berbunyi tiga kali, lalu disusul sebuah suara berat, "Halo?"
"Kak, lagi apa?" tanyanya pada Aksa, si kakak pertama, sambil menyuapkan lagi makanan ringan itu ke dalam mulutnya.
"Nonton TV. Ada apa gerangan adinda menelepon kakanda malam-malam begini?"
Serra tersenyum tipis mendengar candaan Aksa. "Nggak apa-apa. Pengen ngobrol aja."
"Ah, pasti ada sesuatu. Ada suara krauk-krauk-nya gitu."
Serra berhenti mengunyah sesaat, lalu tertawa kecil salah tingkah. Kakak kesayangannya itu terlalu hafal akan kebiasaannya.
"Ada masalah apa? Kerjaan?" tanya Aksa lembut.
"Kalo masalah di kerjaan mah emang nggak pernah habis, Kak. Tapi, gua masih bisa survive."
"Hmm.. Masalah di keluarga kita?"
"Nggak juga. Lagian, masalah di keluarga ini 'kan cuma satu. Gua masih single, itu permasalahan utama yang selalu dibahas."
Aksa terkekeh mendengar Serra menyerocos. "Ya, terus apa?"
Gadis itu menghela napas berat. Sejujurnya, ia belum pernah menceritakan tentang Evan kepada siapa pun, kecuali Indi. Ia lebih memilih untuk memendamnya seorang diri. Namun, kalau kekacauan ini ia pendam sendiri juga, rasanya ia belum sanggup. "Gua sayang sama orang bertahun-tahun. Tapi, ternyata dia calon suami orang lain."
"Ha? Gimana maksudnya?"
Serra menceritakan semua tentang Evan secara rinci pada Aksa. Tentang ia yang menyukai Evan secara diam-diam saat SMP. Tentang pertemuan pertama mereka di Capella. Tentang perasaan Serra yang ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Tentang hubungan mereka yang semakin dekat. Tentang Celine yang tiba-tiba hadir, mengaku sebagai calon istri Evan.
"Brengsek tuh anak!" umpat Aksa setelah Serra selesai bercerita.
"Mm," Serra mengangguk setuju, meskipun Aksa tak bisa melihatnya.
"Kenapa lo nggak sekalian aduin aja kelakuan dia ke tunangannya itu?"
"Maunya gitu. Tapi, otak gua mendadak blank pas dengar berita itu. Gua nggak bisa mikir lagi, cuma bisa planga-plongo doang. Gua benar-benar nggak nyangka, Kak."
"Mana sih orangnya? Biar gua kasih pelajaran udah bikin lo nangis-nangis. Kurang ajar!" ucap Aksa penuh emosi.
"Lebay lo. Gua nggak nangis-nangis, ya."
"Emang lo nggak sedih?"
"Y-ya sedih. Tapi, lebih besar rasa marah dan benci gua ke dia daripada sedih." Gadis itu menjeda sejenak, lalu, "Lagian ngapain juga gua nangisin orang begitu? Udah bikin sakit hati, masa mau habisin air mata gua juga. Cih, nggak sudi."
"Pokoknya, lo kalo butuh bantuan buat ngehajar tuh orang, bilang aja ke gua."
"Nggak, makasih. Gua sendiri yang akan selesaiin sama dia. Gua cerita sama lo biar lega aja, nggak nyimpan masalah sendiri, bukan minta lo balas dendam."
Jam dinding telah menunjukkan pukul dua belas malam. "Udah dulu, ya, Kak. Lo tidur sana, udah malam. Makasih, ya, udah mau dengerin gua." Setelah Aksa mengiyakan dan mengucapkan salam perpisahan, telepon ditutup.
Serra melanjutkan aktivitas makannya sambil berpikir sesaat, lalu membuka ponselnya kembali, mengetik sederet pesan yang kemudian ia kirimkan pada Evan, lalu me-non-aktifkan benda itu.
Ia menyilangkan kaki, menyandarkan tubuh di dinding, dan merenung. Ternyata, perasaannya bisa berubah secepat ini. Bertahun-tahun ia menyimpan rasa pada laki-laki itu, merindukannya, mencoba segala cara untuk melupakannya, kini semua seperti menguap begitu saja.
Kalau tahu semudah ini, kenapa tidak dari dulu saja Evan berbuat sesuatu yang jahat padanya? Mungkin ia bisa berkencan dengan berbagai pria, mempunyai berbagai kisah cinta, menikmati masa muda seperti gadis lain pada umumnya, bukan hanya mencintai laki-laki itu seperti orang bodoh.
Masih ada hal lain yang mengganggunya. Kalau memang sudah bertunangan, kenapa Celine baru muncul sekarang? Gadis itu bahkan tidak hadir di acara orangtua Evan. Mungkin itu juga yang menjadi alasan intensitas pertemuan antara dirinya dan Evan berkurang akhir-akhir ini. Setiap kali Serra mengajak bertemu, laki-laki itu selalu berkata bahwa ia sedang lembur, ada meeting dengan atasan, atau kurang enak badan di akhir pekan.
Serra merebahkan tubuhnya di atas kasur. Entah apa yang terjadi sebenarnya, yang pasti ia harus segera mengakhiri ini semua.
![](https://img.wattpad.com/cover/342350778-288-k18250.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Romansa [END]
General Fiction[WattpadRomanceID's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF DESEMBER 2023] Menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Tidak hanya memusingkan urusan jenjang karir dan kestabilan finansial, tetapi juga harus menuntaskan persoalan cinta sepert...