21. Pelajaran Baru

794 74 1
                                    

Rasanya ia baru meneguk beberapa kali wine yang disediakan oleh Vino, tetapi seluruh tubuhnya terasa hangat dan pikirannya terasa lebih ringan. Serra sedang berbaring di atas karpet dengan posisi tengkurap, menopang dagu dengan kedua tangan, serta menggoyangkan kedua kakinya yang diangkat ke udara. Ia sedang memandangi seekor kucing dalam gendongan pemiliknya. Macan, hewan yang pernah disebut Vino mirip dengannya, galak. Ah, seandainya laki-laki itu bilang bahwa Macan yang dimaksud adalah kucing ini, ia tidak perlu semarah itu jika disamakan dengan makhluk lucu di hadapannya.

Lantas, pandangannya berlari pada si pemilik yang fokus menonton film aksi di televisi. Laki-laki keras kepala yang beberapa saat lalu mengambil gelas dan melarangnya untuk minum lebih banyak. Padahal menurut Serra, Vino minum jauh lebih banyak darinya, dan ia juga tidak semabuk itu. Buktinya, ia masih bisa membuka mata, meskipun agak berat. Oh, ya, acara minum-minum malam ini bukan hanya untuk menuruti keinginannya, tetapi juga merayakan kenaikan jabatan Vino. Benar, Serra kalah dalam bersaing, dan mulai Senin besok, laki-laki itu resmi menjadi SMM, atasannya. Menang, kalah, adalah hal biasa dan Serra bisa menerima kekalahannya, hanya saja…

"TV-nya di depan, bukan di sini," tegur laki-laki itu tanpa menoleh.

Dengan malas, Serra berganti posisi menjadi tidur telentang menghadap langit-langit. "Gua iri deh sama lo."

"Kenapa?"

"Menurut gua, hidup lo itu adalah kehidupan yang gua impikan."

Vino menekan salah satu tombol di remote untuk mematikan suara televisinya. Dalam pengaruh alkohol, biasanya seseorang akan berbicara jujur. Maka, ia lebih tertarik mendengarkan gadis itu mengeluarkan seluruh isi hatinya.

"Gua punya target, sebelum masuk usia 30 tahun, paling nggak, posisi gua adalah manajer divisi, kayak lo gini. Ya, memang masih ada 2 tahun lagi buat gua ngejar itu. Bisa aja, lo resign, terus gua yang gantiin posisi lo. Bisa juga, gua yang resign karena ada lowongan dari hotel lain."

Sementara gadis itu berceloteh, Vino pun beranjak, melepaskan Macan untuk kembali ke tempat tidur, dan ikut berbaring di samping Serra.

"Gua sih belum ada niat resign, ya. Masih pengen puas-puasin ngerjain lo jadi bawahan gua," canda laki-laki itu.

"Lo pikir, lo doang yang bisa? Gua juga bisa jadi anak buah yang ngeselin."

Vino terkekeh ringan sambil menggelengkan kepala, sementara Serra berseru, "Itu yang pertama. Kedua, lo punya tempat tinggal sendiri. Gimana, Vin, rasanya hidup nggak bergantung sama orangtua lagi?"

Laki-laki itu berdeham. "Sebenarnya, gua sewa apartemen ini karena jaraknya lebih dekat ke kantor, bukan karena pengen hidup mandiri. Gua lebih suka tinggal bareng nyokap, tapi kelihatannya dia senang gua keluar rumah. Dengan begitu, dia bisa undang teman-temannya ke rumah kapan aja dia mau. Untung ada Macan, jadi nggak terlalu merasa kesepian tinggal sendiri di sini."

"Gua juga pengen keluar dari rumah, tapi nggak diizinin. Tahu bokap-nyokap gua bilang apa? Gua baru boleh keluar rumah kalo udah punya surat nikah, katanya."

"Itu juga jadi target lo sebelum umur 30?"

"Keluar rumah?"

"Bukan. Menikah."

Gadis itu tertawa geli. "Boro-boro, Vin. Lo tahu sendiri kisah cinta gua baru aja kandas."

"Gimana perasaan lo soal cinta yang baru kandas itu?"

"I'm good."

Vino berbaring menyamping menghadap Serra, dengan menumpukan kepala pada sebelah tangannya. "Itu yang kelihatan. Gua tanya perasaan lo yang sebenarnya."

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang