8. Ujian Pertama

741 86 1
                                    

Kabarnya, menjelang pernikahan, ujian yang akan dihadapi sepasang kekasih, akan lebih besar daripada sebelumnya. Jalan untuk menuju pelaminan mulai terasa tidak mudah. Kadang, jalan tersebut dipenuhi kerikil-kerikil kecil, bahkan sampai kepada lubang besar yang menghambat perjalanan. Siapa sangka, fase ini akhirnya datang juga kepada Evan dan Celine.

"Aku bakal berangkat ke Paris tiga hari lagi."

Evan berhenti mengunyah makanan di dalam mulutnya, alisnya yang terangkat diarahkan pada sang kekasih, mencari penjelasan atas pernyataannya barusan.

"Ada kelas desain yang harus aku ikutin, untuk perkembangan bisnis aku juga."

Musik lembut yang menggema di ruang makan sebuah restoran mewah, sama sekali tidak membantu untuk membuat suasana hati Evan menjadi lebih baik.

"Sampai kapan di sana?" tanyanya dengan tenang.

"Satu bulan."

Evan tertawa masam. "Sebenarnya, kamu anggap aku apa sih? Kamu selalu aja pergi ke sana ke mari, tanpa bilang dulu sama aku. Ini bukan cuma sekali dua kali, Cel."

"Ya, ini aku lagi bilang ke kamu," sahut Celine santai, sambil menyuapkan sepotong daging ke dalam mulutnya.

Terdengar suara denting yang cukup keras dari pisau dan garpu milik Evan yang ia letakkan di atas piring. Minatnya melanjutkan makan mendadak lenyap. Daging sapi yang dimasak setengah matang itu tidak lagi menggugah seleranya.

Lantas, laki-laki itu menautkan jari-jarinya di atas meja, tanda ia ingin bicara serius. "Kamu nggak lupa 'kan minggu depan kita mau ketemu sama WO?" tanya Evan, sembari mengingatkan jadwal rapat dengan Wedding Organizer, untuk mengurus pernikahan mereka.

"Iya, aku tahu. Aku udah hubungin pihak WO untuk mengundur rapat kita sampe aku pulang nanti."

Evan mendengus dan menggelengkan kepala. "Yang mau nikah tuh kita atau cuma kamu sendiri sih, Cel? Semua keputusan kamu yang ambil, tanpa melalui persetujuan aku. Soal keberangkatan ke Paris juga bahkan kamu nggak minta izin dulu sama aku. Aku tuh calon suami kamu, tapi aku nggak tahu kamu anggap aku begitu juga atau nggak."

"Justru karena kamu belum resmi jadi suami aku, aku merasa nggak perlu dapat izin dari kamu. Aku mau mengeksplor banyak hal, terutama yang berkaitan dengan dunia fashion, hobi dan cita-citaku dari dulu." Celine menghela napas sejenak, lalu melanjutkan dengan nada yang lebih lembut, "Aku minta maaf karena hal itu malah berdampak ke rencana pernikahan kita. Aku tahu, aku salah karena memutuskan secara sepihak."

"Aku cuma mau kamu ngomong ke aku dari awal, nggak mendadak begini. Lagian, aku juga nggak bakal melarang selama kamu nggak melakukan hal yang aneh-aneh. Selama ini pun, aku nggak pernah melarang kamu melakukan hal yang kamu suka."

Gadis itu juga berhenti dari aktivitas makannya. Kepalanya tertunduk. Begitu banyak hal yang sedang berlalu-lalang di dalam benaknya, tanpa sepengetahuan Evan, termasuk alasan utamanya ingin pergi ke negeri orang sementara waktu. Saking banyaknya, ia akhirnya memutuskan untuk jujur pada laki-laki di hadapannya. "Sebenarnya, aku banyak berpikir selama beberapa hari ini, Van. Nggak tahu apa sebabnya, tapi mungkin rasa cemas ini cuma sementara aja."

Kepalanya terangkat, menatap Evan yang sedang menunggu kelanjutan kata-katanya. Ia menarik napas dalam, kemudian, "Tiba-tiba aja aku kepikiran sama omongan orang-orang. Gimana kehidupan mereka berubah seratus delapan puluh derajat setelah memutuskan untuk masuk ke dalam kehidupan pernikahan. Ada yang bilang, nggak perlu buru-buru nikah, mendingan kejar dulu semua cita-cita dan keinginan kita sampai puas selama status masih lajang. Karena, setelah menikah, nggak bisa bebas lagi melakukan hal-hal itu. Omongan begitu, buat aku jadi takut, padahal dulu aku nggak pernah mikirin hal itu karena aku tau persis kamu gimana. Kamu selalu dukung aku melakukan apa aja karena kamu juga senang kalo aku berkembang. Tapi, tetap aja, aku butuh waktu untuk sendiri untuk meyakinkan diri aku sendiri. Makanya, aku pikir pergi ke Paris sekalian belajar adalah pilihan yang tepat untuk aku saat ini."

Evan kurang lebih paham akan apa yang dirasakan Celine saat ini. Ia sendiri pun dihujani oleh rasa bimbang yang sama. Memutuskan untuk menikah memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Hanya saja, Evan menghadapi perasaan itu dengan cara yang berbeda. Daripada menjauhkan diri, selama ini ia lebih memilih untuk berusaha mengusir ketika ragu itu tiba-tiba muncul. Tentu saja, ia tidak bisa memaksakan caranya pada Celine. Mereka dua orang yang berbeda. Berbeda pula cara menyelesaikan masalah masing-masing.

"Apa itu artinya selama di Paris, aku nggak boleh menghubungi kamu?" tanya Evan hati-hati.

"Lebih baik begitu. Aku pengen tahu, mana yang lebih besar. Kecemasan aku atau perasaan aku ke kamu."

Lalu, bagaimana jika ia kalah dengan ketakutan Celine? Apakah itu artinya hubungan mereka tidak bisa berlanjut? Sekarang, justru kegelisahan baru mulai merayapi dada Evan. "Terus, kalo seandainya…" Ia tidak sanggup menyelesaikan kalimatnya sendiri.

Celine yang paham akan maksudnya, dengan cepat menyahut, "Nggak. Bagaimana pun, perasaan ke kamu harus lebih besar. Meskipun aku sedikit takut untuk menikah, tapi aku lebih takut lagi kalo pendampingku bukan kamu. Aku akan berusaha mengatasi ketakutan dan keraguan aku, gimana pun caranya."

***

Laki-laki itu menjatuhkan tubuhnya di atas ranjang sambil memijat pangkal hidungnya. Perbincangan yang serius di tempat makan tadi ternyata menguras begitu banyak energi. Ah, ya, masih ada hal penting lain yang harus diurus. Ia segera merogoh ponselnya di dalam saku, lalu mencari kontak Serra. Evan mengirim pesan singkat berupa ajakan untuk bertemu di luar jam kerja untuk membicarakan kelanjutan acara kedua orangtuanya. Selain itu, ia juga butuh teman bicara. Pikirannya benar-benar kusut saat ini. Mungkin bertemu dengan teman lama, mengenang masa lalu yang indah bisa sedikit melegakan.

Tak lama kemudian, pesannya dibalas. Gadis itu mengiyakan. Selang dua detik, sebuah pesan suara menyusul.

"Coba tebak, gua lagi lihat apa?"

"Lagi liatin foto profil gua karena gua ganteng banget di situ," balas Evan main-main, juga dengan pesan suara.

"Betul. Gua lagi liat foto lo, tapi bukan foto profil, dan lo nggak ganteng sama sekali. Bentar."

Sudut bibir laki-laki itu mulai tertarik ke atas mendengar suara Serra yang terakhir. Senyuman berubah menjadi tawa kecil, ketika gadis itu mengirimkan dua buah foto. Satu, foto Evan yang di bawahnya tertulis, Aku memang pencinta wanita, karena ku memang buaya. Lainnya adalah foto Serra, juga dengan tulisan di bawahnya yang berbunyi, Capek banget belajar mulu, kagak ada yang mau jadi pacar gua apa?

Kedua foto itu terlampir pada buku kenangan saat mereka SMP. Yang membuat Evan tergelitik adalah cerita dibalik kata-kata yang tertulis di sana. Ketika sang wali kelas menghimbau agar para murid menuliskan pesan atau kesan untuk buku kenangan mereka, sebuah ide yang usil diajukan oleh Evan.

"Tukeran yuk."

Serra menatap teman sebangkunya dengan bingung. "Apanya?"

"Gua nulis punya lo, lo nulis punya gua. Kita sama-sama nggak boleh melihat punya satu sama lain, sampai buku kenangan jadi dan dibagiin ke kita."

"Nggak, ah. Lo pasti mau nulis yang aneh-aneh."

Namun, laki-laki itu tidak menyerah begitu saja. "Sekali-sekali lah. Lagian mau lulus juga, kapan lagi bisa begini?"

Gadis itu memandangi Evan sambil menimbang-nimbang dalam hati. "Oke. Anggap aja ini kenang-kenangan dari gua buat lo." Selesai berkata begitu, justru Evan yang curiga padanya karena senyum lebar milik Serra, seperti menginformasikan bahwa ada sesuatu yang menyenangkan di kepalanya.

Maka, berawal dari kiriman dua buah foto lama tadi, membawa keduanya berlanjut pada topik-topik lain. Malam makin larut, tetapi pembicaraan justru semakin seru hingga membuat keduanya baru bisa tidur dini hari. Namun, hal tersebut sama sekali bukan masalah besar karena setidaknya mereka berdua, terutama Evan, bisa tidur nyenyak dengan perasaan yang lebih gembira dibandingkan sebelum ia bertukar pesan dengan Serra.

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang