Vino membuka matanya perlahan, lalu melirik ke arah jendela. Langit sudah gelap. Kemudian ia melihat jam digital di atas nakas menunjukkan pukul 19.10. Ternyata ia tidur cukup lama juga. Namun, untunglah kini tubuhnya terasa lebih baik dari sebelumnya.
Perjalanan dinas selama seminggu kemarin memang menguras tenaga. Beberapa hari ia harus lembur untuk mempelajari dan mendalami tugas di posisinya yang baru. Belum lagi cuaca yang tidak menentu, membuat tubuhnya tidak dapat beradaptasi dengan baik, sehingga ia jatuh sakit.
Ia bangun dari tidurnya dan meraih gelas yang telah kosong. Kerongkongannya terasa kering. Maka, dengan tubuh yang masih lemas, ia berjalan ke luar kamar untuk mengambil air minum.
Gadis itu masih di sana, sedang terlelap nyaman di atas sofa. Vino mengisi gelas hingga penuh dan meneguknya habis, tanpa melepaskan pandangan dari Serra. Kemudian, ia berjalan pelan-pelan menuju sofa, duduk di atas karpet dengan menekuk kedua lututnya. Sudut bibirnya tertarik ke atas, memandangi wajah Serra yang terlihat begitu damai ketika tidur. Sudah seminggu tidak bertemu dengan wajah ini, membuat Vino sadar bahwa ia sangat merindukannya. Mungkin rasa rindu itu yang tadi mendorongnya untuk memeluk gadis itu saat ia datang tadi. Vino terlalu senang akan kehadiran Serra yang tiba-tiba.
Serra bergerak dalam tidurnya, sambil melipat kedua tangan dengan erat di depan dada. Apa gadis itu kedinginan? Vino pun segera mengambil selimut dari dalam kamar. Namun, saat membentangkan selimut itu di atas tubuh Serra, gadis itu justru mengerang pelan.
"Sorry, gua bangunin lo, ya?"
Gadis itu mengucek matanya, lalu duduk. "Lo udah bangun?" Ia balik bertanya, sambil menarik tangan Vino pelan untuk duduk di sebelahnya, lalu menyentuh kening laki-laki itu. "Udah turun demamnya."
Melihat Serra yang menguap dan masih kesulitan membuka mata, membuat Vino tidak bisa menahan diri untuk mengusap kepala gadis itu dengan lembut. "Masih ngantuk? Tidur lagi gih."
Serra menggeleng. "Kalo dilanjutin, nanti malam gua malah nggak bisa tidur."
"Tapi, Ser, lo kok bisa tiba-tiba datang ke sini?"
Serra menyipit dan melempar tatapan tajam kepadanya. "HP lo ke mana sih? Udah dijual? Chat nggak dibalas, telepon nggak diangkat. Siapa yang nggak khawatir coba?"
Ah, benar. Vino bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ia memegang ponselnya. "Pas kemarin sampai sini, gua langsung silent HP karena udah merasa nggak enak badan, pengen langsung tidur. Malah bablas sampai hari ini," jelasnya, kemudian ia tersenyum. Sudah lama rasanya tidak mendapat omelan dengan nada cemas seperti ini, selain dari mama dan kakaknya. "Maaf, ya, kalo gua nggak ngabarin dan udah buat lo khawatir."
Serra tersentak pelan karena sadar, mungkin sikapnya berlebihan. Memangnya ia siapa, sehingga Vino harus terus mengabarinya? "Nggak perlu minta maaf juga sih," gumamnya kikuk. "Karena lo udah baikan, gua balik aja kali, ya?"
"Gua antar."
"Nggak usah. Lo nggak boleh capek-capek. Kalo bisa, besok cuti aja, sampai badan lo benar-benar pulih."
Vino terkekeh sambil menggelengkan kepala. "Ini yang atasan siapa sih? Kenapa lo yang nyuruh gua cuti?"
"Gua 'kan mantan calon atasan lo," sahut Serra sebelum ponselnya berdering. "Halo?" Gadis itu melirik sebentar jam di ponselnya, lalu menempelkan kembali benda itu ke telinga. "Mungkin sebentar lagi… Iya, Mama kabarin aja kalo udah pulang… Aku lagi di tempat… teman… Oke, dah."
"Kenapa nggak bilang kalo lagi sama gua?" tanya laki-laki itu setelah Serra menutup telepon dari mamanya.
"Yang ada gua bakal diledekin. Habisnya lo juga sih bikin heboh di nikahan orang, pakai acara dilihat nyokap lagi."
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Romansa [END]
Ficción General[WattpadRomanceID's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF DESEMBER 2023] Menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Tidak hanya memusingkan urusan jenjang karir dan kestabilan finansial, tetapi juga harus menuntaskan persoalan cinta sepert...