Sarapannya telah habis. Ia meneguk air putih hingga separuh gelas, kemudian beranjak menuju wastafel cuci piring dan mulutnya menganga selama kurang lebih lima detik. Piring makan masih terangkat di tangannya. Napasnya memburu. Dengan satu tarikan napas, ia berteriak lantang, "Siapa yang pake piring sebanyak ini?"
Serra tidak habis pikir bagaimana bisa rumah yang hanya dihuni oleh empat orang bisa menyebabkan piring-piring kotor menggunung di sana. Ia meletakkan piring miliknya di sisi wastafel, berbalik badan, dan berkacak pinggang. Seisi rumahnya tampak tidak peduli. Adrian, seorang laki-laki pensiunan guru, sedang serius membaca koran harian. Lia, istri Adrian, dengan teliti membersihkan pajangan di lemari sekat ruangan agar terbebas dari debu. Sementara kakak kedua Serra, Niko, sibuk dengan game di ponselnya.
Tidak ada yang menggubris, sekali lagi Serra menggemakan suaranya. "Halo? Di rumah ini nggak ada orang, ya?"
Lia yang lebih dulu berhenti dari aktivitasnya, menyahut, "Kenapa sih, anak gadis? Pagi-pagi udah teriak-teriak begitu?"
"Ini kenapa piring kotor bisa sebanyak ini? Nggak ada yang mau bantuin aku cuci apa? Kak?" keluhnya, sembari memelas kepada Niko.
"Lah? Cuci piring di hari Minggu 'kan memang tugas lo dari dulu. Gua jatahnya di hari lain," jawabnya cuek.
Gadis itu mendecak sebal.
"Makanya, kamu itu buruan cari pacar, terus menikah," celetuk Lia.
"Apa hubungannya?" tanya Serra sambil mengerutkan kening.
Kali ini Adrian yang menjawab, "Maksud Mama, kalo udah menikah, tinggal sama suami, toh kamu cuma mengurus hidup kalian berdua aja. Nggak perlu rame-rame orang kayak di sini. Piring kotor juga nggak bakalan numpuk."
Serra menghela napas, bosan mendengar pembicaraan mengenai jodoh dan hal-hal semacamnya, sementara Niko cengar-cengir melihat adik bungsunya mendapat siraman rohani di Minggu yang cerah ini. Papa dan Mama Serra tidak pernah berhenti mendesaknya untuk segera menemukan pasangan, sejak Niko berkata akan menikahi kekasihnya. Pernikahan mereka akan berlangsung beberapa bulan lagi. Jadi, satu-satunya yang masih melajang di rumah ini adalah dirinya.
Di saat seperti ini, ia merindukan sosok kakak pertamanya, Aksa, yang kini tinggal di rumah terpisah bersama keluarga kecilnya. Kalau ada Aksa di tengah perbincangan seperti ini, ia adalah satu-satunya orang yang membela Serra.
Siapa bilang anak perempuan bungsu pasti disayang dan dimanja oleh keluarganya? Buktinya hal itu sama sekali tidak berlaku dalam keluarga ini. Jangankan dimanja, orang tua Serra cenderung mendidiknya untuk menjadi wanita kuat agar bisa sebanding dengan kakak-kakaknya.
Ia berusaha meredam emosinya, lalu berkata dengan nada manis yang dibuat-buat, "Maaf ya, Pa, Ma, Kak, aku udah marah-marah. Tenang aja, semua piring di sini bakalan aku cuci sampe bersih-sih-sih."
Lantas, ia berbalik dan langsung mengerjakan tugasnya. Lebih baik mengalah daripada terus diminta untuk keluar dari rumah bersama suami yang bahkan belum bisa dibayangkan siapa orangnya. Benar, lebih baik ia bersikap baik seperti orang yang sedang menumpang di rumah orang lain. Astaga, kapan ini semua berakhir?
***
Di hari Minggu, biasanya Serra akan menghabiskan waktu dengan memantau media sosialnya sampai bosan, kadang membaca novel sampai mengantuk, bisa juga menonton film seri yang sedang diperbincangkan banyak orang, sesekali pergi ke mall untuk mencuci mata dan membeli barang kebutuhannya. Namun, Minggu ini tidak seperti biasanya.
Gadis itu sedang senyum-senyum sendiri di kamarnya, membaca tulisan yang terdapat pada sebuah buku kecil yang sudah usang. Buku yang dulu digunakannya untuk mencatat tugas dan ulangan saat sekolah. Buku yang kadang menjadi tempat untuk menampung coretan asal, juga goresan gambar jika Serra sedang bosan saat jam pelajaran. Buku yang menyimpan percakapan antara dirinya dengan seseorang bernama Evan. Semua orang tahu bahwa seluruh siswa tidak diperbolehkan untuk bicara ketika guru sedang mengajar. Maka, buku inilah yang menjadi perantara obrolan antara keduanya.
Berbagai macam topik pembicaraan singkat ada di sana. Mulai dari membicarakan teman sekelasnya yang berusaha keras membuka mata, memperhatikan guru, padahal sekali saja diberi bantal, pasti orang itu akan tertidur pulas. Lalu, tentang seorang guru yang Evan anggap mirip si hijau Shrek, tetapi Serra menganggapnya tidak masuk akal. Dari mana miripnya? Bahkan telinga guru itu tidak seperti terompet. Kemudian bercerita tentang kisah cinta yang terjadi di antara teman-teman sekelas mereka, dan masih banyak lagi.
Dari kecil, yang gadis itu tahu, kehidupan sekolah hanya seputar fokus belajar, tidak mencari musuh, dan mengejar ranking tinggi. Tiga hal itu yang terus ia ulangi, sampai di satu kesempatan ia satu kelas dan duduk sebangku dengan Evan, tiga hal itu mulai pudar. Ternyata, saling berkirim pesan di atas kertas secara diam-diam saat jam pelajaran, bisa mengurangi rasa stres belajar. Menyenangkan juga punya seorang teman yang selalu menunggunya selesai mengerjakan ulangan, lalu mengumpulkan bersama. Sesekali mendapat nilai kecil pun bukan masalah besar, karena dengan begitu ia bisa belajar bersama dengan Evan sebelum remedial.
Satu hal yang jelas, dunianya tampak lebih berwarna ketika ia mengenal sosok Evan. Bukan hanya soal hal-hal berbau sekolah, tetapi juga perasaan tabu yang perlahan mulai timbul di dalam dadanya. Organ yang berperan untuk memompa darah ke seluruh tubuh itu, seakan bekerja lebih keras ketika Evan menyentuh puncak kepalanya singkat. Entah bagaimana Serra tiba-tiba memiliki kemampuan mendengar detak jantungnya sendiri kala laki-laki itu menatapnya dalam saat ia sibuk bercerita tentang sesuatu.
Sampai suatu saat, sebuah kesimpulan terbentuk. Gadis itu telah jatuh cinta pada teman sebangkunya. Evan adalah cinta pertamanya.
Segala hal yang terjadi untuk pertama kali, selalu punya tempat khusus di dalam hati dan ingatan. Liburan ke luar kota untuk pertama kali. Mencicipi masakan dari restoran mahal untuk pertama kali. Wawancara kerja untuk pertama kali. Perasaan senang saat mendapat gaji untuk pertama kali. Hal-hal pertama tidak mudah diabaikan begitu saja, termasuk cinta pertama.
Memang, orang-orang sering menganggap perasaan cinta yang melanda anak remaja, sebagai cinta monyet. Rasa di mana seseorang merasa begitu membara dan bahagia pada awal percikan cinta itu muncul, tetapi hanya bertahan sementara saja. Namun, Serra tidak begitu. Perasaannya pada Evan kurang tepat untuk disebut sebagai cinta monyet. Perlu bukti? Salah satu alasan mengapa Serra betah menyendiri hingga usia dua puluh delapan tahun adalah Evan. Bayangan laki-laki itu selalu menghantui Serra setiap kali ia berada dalam fase pendekatan dengan seseorang. Entah bagaimana otaknya secara otomatis membandingkan sifat Evan dengan semua lelaki, kemudian mendapati bahwa tidak ada yang lebih baik daripada sang cinta pertamanya. Belum ada yang bisa membuat jantungnya berdegup kencang seperti ketika laki-laki itu berada di sampingnya.
Lantas, setelah pertemuan mereka kemarin, gadis itu tahu benar debaran di dalam dadanya masih tertuju pada orang yang sama.
Tangannya membuka halaman terakhir dari buku itu. Senyum yang bertengger di wajah gadis itu perlahan pudar. Ia masih ingat dengan jelas kejadian yang membuat Evan bertanya-tanya tanpa mendapat jawaban yang memuaskan.
GUA ADA SALAH YA SAMA LO?
Nggak.
SEHARIAN INI LO DIEMIN GUA. KENAPA?
Nggak ada apa-apa.
ADA YANG BIKIN LO KESEL YA?
Iya, lo bikin gua kesel. Udah deh jangan ganggu. Gua butuh konsentrasi.
Itu isi percakapan terakhir mereka berdua yang tertera di sana karena keesokan harinya gadis itu minta izin kepada wali kelas untuk menukar tempat duduknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Romansa [END]
General Fiction[WattpadRomanceID's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF DESEMBER 2023] Menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Tidak hanya memusingkan urusan jenjang karir dan kestabilan finansial, tetapi juga harus menuntaskan persoalan cinta sepert...