15. Terbongkar

618 76 0
                                    

“Vin, siang ini lo bisa tolong jemput Killa di sekolah nggak? Toko lagi ramai banget ini. Gua sama laki gua nggak bisa ninggalin toko.”

Suara Vika, kakaknya, terdengar di seberang telepon. Vika dan suaminya mempunyai sebuah toko roti yang cukup ramai, apalagi di akhir pekan. Vino melirik jam tangannya sejenak sambil berpikir. “Bisa sih, gua jemput pas makan siang. Tapi, nggak keburu kalo mesti antar ke tempat lo. Gua bawa Killa ke kantor aja, ya."

"Lo balik kantor jam berapa? Bukannya malam?"

"Ini 'kan hari Sabtu, jam 3 juga udah balik."

Itulah yang menjadi alasan di mejanya terdapat beberapa kertas yang telah dicoret-coret asal dengan pena hitam, biru, juga merah.

"Killa udah selesai gambar mataharinya?" tanya Serra yang duduk di samping Killa.

Gadis kecil itu mengangguk.

"Nah, kalo udah, sekarang kita gambar awan di sampingnya. Tante kasih contoh, ya."

Vino menatap kagum Serra yang sedang menggambar bentuk awan di kertas miliknya, sementara Killa memperhatikan dengan sungguh-sungguh. Ia sempat menduga keponakannya akan merasa bosan menunggunya selesai bekerja. Akan tetapi, berkat Serra kecemasannya sama sekali tidak terbukti. Dalam hati, ia bersyukur gadis itu mudah akrab dengan Killa. Kini, mereka berdua seolah punya dunianya sendiri.

Perhatian Vino teralih ketika telepon di meja Serra berdering dan segera diangkat oleh gadis itu. Killa dengan manja bersandar pada lengan laki-laki itu dan memanggil dengan panggilan akrabnya, "Ompin, bagus nggak gambar Killa?"

"Bagus. Killa 'kan memang pintar gambar," jawabnya sambil merangkul gadis kecil itu.

Killa mengulum senyum karena malu dipuji. "Ini diajarin sama Tante Serra."

“Killa, mau ikut Tante ke bawah nggak?” Vino dan Killa otomatis menoleh pada Serra yang rupanya sudah menutup telepon.

“Ngapain?” tanya Vino.

“Ada yang nyari gua, kayaknya mau nanya-nanya soal paket wedding. Kalo mau, nanti Killa main di Kids Corner aja.” Kebetulan, di sudut lobby Capella memang disediakan tempat bermain anak-anak. Serra pikir, sembari bertemu klien, ia bisa sekaligus memantau Killa di sana.

"Mau. Ompin, Killa mau main," pintanya pada Vino.

“Berdua sama Tante Serra nggak apa-apa?”

“Nggak apa-apa,” sahut Killa cepat.

“Kamu nggak takut ‘kan sama Tante Serra?” tanya Vino lagi, sengaja ingin menjahili rekan kerjanya itu.

Serra otomatis menyeletuk sambil menyipitkan mata, “Maksud lo?” membuat lawan bicaranya terkekeh, lalu mengizinkan keponakannya digandeng oleh gadis itu.

Killa terlihat senang sekali ketika melihat tempat bermain yang Serra sebutkan tadi. Tanpa aba-aba, ia langsung berbaur dengan anak-anak lainnya untuk bermain.

"Killa, tunggu Tante di sini, ya. Jangan ke mana-mana sampai Tante jemput," pesan Serra dibalas anggukan senang dari gadis kecil itu.

Serra berjalan menuju konter resepsionis, bertanya kepada salah satu karyawan yang meneleponnya tadi mengenai orang yang ingin bertemu dengannya. Karyawan itu menunjuk satu perempuan berambut sebahu yang mengenakan blus berwarna putih, sedang duduk menatap ponsel di salah satu sofa lobby.

Gadis itu segera menghampiri, mengulurkan tangan, dan menyapa, “Selamat siang. Saya, Serra, Wedding Sales di sini.”

Uluran tangan itu disambut hangat oleh seseorang yang bangkit berdiri di hadapan Serra dan memperkenalkan diri, “Celine."

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang