11. Kebetulan

580 81 8
                                    

Hari ulang tahun pernikahan orangtua Evan pun tiba. Laki-laki itu menyapa beberapa tamu dan keluarga yang hadir dengan senyuman hangat. Dari luar kelihatannya memang begitu, padahal Evan sedang berupaya menjaga suasana hati karena sebagian besar kerabat menanyakan keberadaan Celine, tunangannya. Belum lagi kalau pikirannya sedang berkelana sendiri ketika menyaksikan dekorasi ruangan yang tampak elegan, keceriaan para tamu, juga senyuman lebar sang orangtua. Melihat perjalanan cinta keduanya mencapai usia tiga puluh tahun, membuatnya bertanya-tanya, apakah ia dan Celine juga bisa mencapai tahap ini?

Sang adik laki-laki menepuk bahunya, "Ada yang manggil tuh."

Lantas, matanya langsung mengikuti arah pandang si adik, menemukan seseorang di seberang ruangan.

Kembali terdengar suara seseorang yang sangat ia kenal, memanggil namanya. Serra, gadis itu sedang melambaikan tangan dengan raut wajah riang. Spontan, ia pun melakukan hal yang sama. Gadis itu berjanji padanya bahwa ia sendiri yang akan in charge, berada di sana sepanjang acara berlangsung, memastikan semuanya berjalan dengan baik dan lancar. Bagus juga, karena ia jadi punya teman.

Evan kira interaksi mereka akan canggung setelah ia tidak sengaja berterus terang tentang perasaannya dulu, dilanjutkan dengan pengakuan Serra yang membuatnya terkejut bukan main. Namun, ternyata tidak sama sekali. Mereka justru semakin akrab dan sering bertukar pesan. Entah boleh mengakui ini atau tidak, tetapi ia merasakan secuil rasa senang ketika tahu bahwa gadis itu pernah menyukainya. Kemudian, seiring berjalannya waktu, rasa itu kian bertumbuh menjadi sesuatu yang belum bisa diartikannya. Evan hanya tahu bahwa ia selalu senang ketika gadis itu ada. Ia selalu bisa tertawa lepas ketika gadis itu tertawa. Mendengar suara Serra pun sudah bisa mengusir kesepian dan kegundahan hatinya.

Suara kecil dalam hatinya, seakan mengingatkan bahwa ia tidak boleh berjalan terlalu jauh. Perasaan yang ia miliki sekarang tentu akan menjadi masalah besar untuk dirinya sendiri di masa depan. Namun, tentu saja otaknya tidak bisa berpikir jernih untuk saat ini.

Serra sendiri tampak menikmati pekerjaannya kali ini. Meskipun tadi siang ia sempat mendengar omelan dari Hendra mengenai pencapaiannya yang menurun dari bulan lalu, juga desakan dari tamu yang tidak masuk akal karena meminta diskon berlebihan kalau mereka ingin mengadakan acara pernikahan di Capella. Namun, semua rasa lelahnya setelah bekerja seharian seperti menguap begitu saja begitu bertemu Evan. Sejak dulu, keberadaan laki-laki itu seakan memberikan energi lebih pada dirinya. Bukan hanya energi, perasaan seperti ada ribuan kupu-kupu beterbangan di dalam perutnya pun masih sama. Cara Evan menatapnya, tertawa, serta hal-hal sederhana seperti membawakannya beberapa kue kering dan minum yang sengaja disediakan untuk para tamu selagi menunggu acara mulai, membuat Serra merasa makin tidak mampu jika harus mencari pengganti Evan di dalam hatinya. Memang banyak lelaki baik di luar sana, tetapi hanya laki-laki itu yang bisa membuatnya merasa seperti ini. Diam-diam, Serra yang tidak punya banyak pengalaman tentang cinta berdoa dalam hatinya agar mereka benar-benar berjodoh. Bagaimana pun, ia layak berharap seperti itu karena semesta sendiri yang membuat harapannya melambung tinggi dengan mempertemukan mereka kembali.

***

“Duh, yang mau ketemu gebetannya cakep amat,” goda Indi ketika mendapati Serra sedang mematut wajahnya di layar ponsel.

“Siapa sih? Nggak dikenalin ke kita?” timpal Vino tak mau ketinggalan meskipun ia sedang bersiap-siap untuk pulang.

"Yang lagi ngadain event di bawah tuh. Sampai bela-belain balik malam segala demi in charge, padahal udah ada MOD (*Manager on Duty) yang bisa handle," jawab Indi, sementara yang sedang dibicarakan hanya mesem-mesem, masih memperbaiki riasan wajahnya.

Meski sudah tahu, Vino tetap ingin mengganggu gadis itu. “Itu tamu kita lagi ngerayain ulang tahun pernikahan, masa masih lo embat juga?”

"Heh, mulut lo ya.” Lantas, ia membalikkan badan menghadap Vino, memilih untuk tidak memperpanjang pernyataan laki-laki itu, dan bertanya, “Gimana gua udah oke belum?"

Vino mengamatinya dari ujung rambut sampai ujung kaki. Sebenarnya, tanpa memperbaiki riasan pun, penampilan gadis itu baik-baik saja.

Perlahan, laki-laki itu mencondongkan tubuhnya ke arah Serra, membuat napas gadis itu tertahan untuk sesaat. Belum sempat ia menebak apa yang akan dilakukan orang di hadapannya, Vino justru menarik napas panjang satu kali. "Ah, kurang wangi lo," cetusnya.

Serra mengerjapkan mata. Percaya saja dengan kata-kata Vino, kali ini ia yang mengendus-endus tubuhnya sendiri. "Masa sih? Di, bagi parfum lo dong."

Setelah menyemprotkan cairan pewangi itu ke beberapa bagian tubuhnya, dengan wajah sumringah Serra segera beranjak untuk menemui klien spesialnya hari ini, meninggalkan kedua rekan kerja yang saling melempar pandangan penuh arti.

"Liat yuk, Vin." Indi setengah menarik lengan Vino untuk menuruti keinginannya.

"Males, ah. Gua mau balik aja. Nanti jalanan keburu ramai, macet."

"Ya elah, sebentar doang. Ayo, buruan."

Meskipun lidahnya mendecak, tetapi tubuhnya pasrah saja ditarik oleh Indi. Ia memang penasaran, ingin tahu siapa laki-laki yang sedang dekat dengan Serra belakangan ini. Namun, tidak tahu juga tidak apa-apa. Lagipula, tidak akan ada pengaruh besar jika pengetahuannya tentang kehidupan pribadi gadis itu bertambah satu poin.

Indi mengintip di tepi pintu ballroom, dibuntuti Vino. Kedua pasang mata itu menjelajahi seisi ruangan untuk menemukan target yang mereka cari di antara puluhan tamu yang sedang mondar-mandir.

“Itu, tuh,” tunjuk Indi antusias.

Apa yang dilihat Vino setelah mengikuti arahan telunjuk Indi, mendadak membuatnya tertegun. Ia berusaha menelaah kejadian di hadapannya. Serra terlihat sedang tertawa dengan satu telapak tangan di depan mulutnya. Ekspresi yang tidak jauh beda juga ditunjukkan oleh sang lawan bicara yang sedang terkekeh sambil memegangi perutnya. Rasanya, tidak mungkin bahwa laki-laki itu yang selama ini diceritakan oleh Serra, maupun Indi.

“Lo yakin itu orangnya?” tanyanya pada Indi yang sedang senyum-senyum menyaksikan kedua orang yang terlihat sangat bahagia di dalam sana, selain pasangan yang merayakan ulang tahun pernikahan tentunya.

Indi mengangguk mantap, kemudian, "Namanya Evan." Vino kembali memandangi sang pemeran utama dalam pembicaraan mereka dengan mata yang menyipit. Evan. Ia tahu orang itu bernama Evan. Bahkan, kurang lebih ia tahu latar belakang laki-laki itu, meski tidak mengenalnya secara langsung. Namun, apakah gadis itu mengenal baik seorang Evan? Kalau dari potongan-potongan cerita antara Serra dan Indi tentang seseorang yang ternyata adalah Evan, sepertinya gadis itu belum tahu siapa sebenarnya laki-laki yang ia idamkan itu. Yang Serra tahu, Evan adalah cinta pertamanya semasa sekolah, setelah itu mereka tidak berhubungan sama sekali sampai beberapa waktu belakangan ini. Selama sekian tahun tidak berhubungan, pasti banyak hal yang terjadi, bukan? Vino yakin bahwa Serra belum tahu apa yang terjadi selama ia putus kontak dengan Evan.

Lalu, apa yang sedang dilakukan laki-laki itu di sini? Ah, bukan begitu. Apa yang sedang dilakukannya pada Serra? Seharusnya, bukan seperti ini. Siapa sangka Vino yang awalnya acuh tak acuh dengan percintaan sang rekan sekaligus rivalnya di tempat kerja, justru dibuat terkejut dengan yang terjadi saat ini.

Vino bisa saja menghampiri mereka berdua, membeberkan semua hal yang ia tahu tentang Evan, menghancurkan suasana hangat yang sedang berlangsung, tetapi ia ada opsi yang lebih menarik daripada itu. Sebuah seringai tipis terbentuk di bibirnya. Sepertinya, ia hanya harus diam, membiarkan benih-benih cinta bertumbuh subur di antara mereka berdua. Lebih bagus lagi jika mereka sungguh punya hubungan, agar gadis itu tahu bagaimana rasanya dikhianati dan ditinggalkan oleh orang yang dicintainya.

Tidak, ia tidak sedang membicarakan Serra. Gadis yang ia maksud adalah Celine, mantan kekasihnya.

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang