"Lo ngapain ke sini?" tanya Serra setelah mereka berdua duduk pada salah satu kursi yang terletak di lapangan basket kompleks perumahan.
"Karena lo nggak mau ngomong sama gua di kantor."
Saat ini, Serra tidak punya pilihan lain, selain mendengarkan penjelasan laki-laki itu. "Ya udah. Ngomong sekarang. Jangan lama-lama, udah malam."
Vino lega, setidaknya kali ini usahanya tidak sia-sia. Paling tidak, gadis itu mau mendengarkannya. Ia berpikir sejenak, kira-kira harus mulai dari mana?
"Celine itu mantan, sekaligus pacar pertama gua," katanya langsung, tanpa basa-basi.
Dari ekor matanya, laki-laki itu bisa melihat kepala Serra berputar cepat ke arahnya ketika ia mengucapkan kata-kata barusan.
"Kita udah berteman cukup akrab dari SMA. Kuliah pun bareng di satu kampus, meskipun dengan jurusan yang beda. Terus, di pertengahan masa kuliah, gua baru berani nembak dia, dan akhirnya kita pacaran. Semuanya berjalan baik-baik aja, sampai kita mulai masuk ke fase kehidupan yang baru. Gua, yang seorang fresh graduate tanpa pengalaman kerja, berusaha beradaptasi dengan dunia orang dewasa. Cari duit, cari ilmu, cari pengalaman, belum lagi didamprat atasan karena kerjanya salah mulu. Dia juga punya kesibukan sendiri. Keluarganya menuntut dia untuk bisa merintis usaha di bidang fashion kayak mamanya, sekaligus memperbanyak kursus sana-sini untuk mengembangkan kemampuan dia. Sejak saat itu, kita jadi jarang komunikasi. Kita memang cukup lama berada di situasi kayak gitu, sampai akhirnya gua tahu, kalo gua udah kecolongan. Gua nggak tahu kapan mulainya, tahu-tahu udah ada Evan di antara gua dan Celine."
"Pertemuan mereka sederhana. Hubungan antar nasabah dan pegawai bank. Mungkin dari sana mereka merasa cocok dengan satu sama lain. Singkat cerita, di suatu malam gua datang ke rumah Celine, tanpa kabarin dia lebih dulu. Dan yang gua lihat di malam itu, Evan antar dia pulang, mereka pelukan di depan pagar, dan Evan cium kening Celine sebelum dia masuk rumah."
Vino menghela napas berat. Ia butuh jeda sejenak untuk mengatur perasaannya. Belum pernah ia bercerita kejadian memilukan ini secara rinci kepada siapa pun. Selama ini, ia hanya menyimpannya seorang diri. "Gua nggak bisa lupa sama apa yang gua lihat di malam itu. Gua marah, kecewa, benci sama Celine, Evan, bahkan diri gua sendiri. Itu sebabnya, gua nggak bilang apa-apa ketika tahu lo dekat sama Evan di saat hubungan dia sama Celine udah serius. Jujur aja waktu itu gua sempat berharap hubungan kalian bisa lancar, supaya Celine tahu gimana rasanya dikhianati sama orang yang paling dia percaya. Biar dia tahu gimana rasanya jadi gua. Toh, gua lihat mood lo juga lebih bagus pas kalian lagi dekat."
"Memang kadang ada waktunya, gua suka merasa bersalah juga sama lo yang dibohongin Evan. Tapi, gua selalu mengabaikan perasaan itu. Makanya, gua benar-benar minta maaf sama lo. Karena keegoisan gua, lo jadi korban juga. Gua udah ngelakuin kesalahan besar sama lo, gua minta maaf. Sekarang, gua juga memutuskan untuk nggak peduli lagi sama hubungan mereka."
Vino menoleh pada Serra. Gadis itu hanya diam sambil melihat ke ujung kakinya sendiri. Mungkin di dalam kepala gadis itu, ia sedang merangkai pidato panjang untuk menceramahinya, pikir Vino. Namun, detik berikutnya, Serra menarik napas panjang, mengangkat bahu, lalu berkata, "Ya udahlah. Udah lewat juga."
Laki-laki itu masih menunggu jika ada kalimat lain yang akan Serra sampaikan, tetapi memang hanya itu. "Udah? Gitu doang?"
Serra mengangguk. "Toh, beberapa hari lalu juga gua udah sempat ketemu sama Evan, dan bilang kalo gua nggak mau berhubungan sama dia lagi."
"Lo bisa langsung ketemu Evan, tapi kenapa lo diemin gua berhari-hari?"
"Karena... apa, ya? Kayaknya gua lebih kecewa sama lo dibanding Evan."
Vino mengerutkan kening tidak terima. "Kenapa? Dia 'kan penjahat utamanya."
Kepala Serra menengadah, pandangannya tampak menerawang ke langit gelap. "Evan yang benar-benar gua kenal itu adalah Evan yang badannya kurus, pendek, dan masih pakai seragam putih biru. Gua yakin Evan yang sekarang gua temui udah banyak berubah. Siapa sih yang nggak berubah dalam waktu belasan tahun?"
Lantas, gadis itu kembali menatap Vino. "Sedangkan, selama beberapa tahun terakhir ini gua kerja bareng lo. Jadi, untuk masa sekarang, sebenarnya gua lebih kenal lo daripada Evan. Makanya, gua lebih marah sama lo."
"Sorry," ucap Vino sambil menunduk.
Serra masih tidak membalas ucapan maaf Vino, justru lebih tertarik pada benda yang sedari tadi dibawa olehnya. "Lo ngapain sih bawa pot bunga gitu?"
"Indi yang nyuruh."
"Buat?"
"Buat dikasih ke lo. Dia bilang, bunga matahari melambangkan permintaan maaf yang tulus."
Seulas senyum tipis terbentuk di bibir Serra. "Terus, mesti di pot banget gitu? Nggak dibuat buket biar bagusan dikit?"
Vino menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Indi juga yang bilang harus di pot. Biar kalo lo masih marah, potnya bisa lo lempar ke gua. Intinya, sampai lo maafin gua deh."
Tawa Serra meledak mendengar penjelasan konyol itu. "Lo mau aja dikerjain sama tuh orang," katanya di sela-sela tawa sambil menyikut lengan Vino.
Laki-laki itu ikut tertawa kecil. "Ya nggak apa-apa kalo bisa buat lo ketawa gini. Muka lo asem banget dari kemarin."
"Eh, bukan berarti gua udah maafin lo, ya," sambar Serra sambil mengarahkan telunjuknya pada Vino.
"Lho? Belum? Lo beneran mau nimpuk gua pakai pot apa gimana?"
Gadis itu mengetuk dagunya beberapa kali sambil berpikir, kemudian, "Gua mau maafin lo, asal lo turutin satu permintaan gua."
"Apa?" tanya Vino hati-hati. Ia yakin apapun yang hendak disampaikan gadis di sebelahnya ini akan jauh dari kata normal.
"Temenin gua minum."
Benar, bukan? "Minum? Maksudnya ke bar gitu?"
"Lo tahu 'kan gua abis patah hati. Gua butuh pelampiasan dan pengalihan dari patah hati gua."
Vino menggeleng tegas. "Nggak, nggak, nggak. Kalo kakak lo tahu gimana?"
"Ya, jangan sampai kakak gua tahu."
"Gua datang dengan niat baik aja, hampir jadi makan malam anjing lo," sambung laki-laki itu tanpa menggubris omongan Serra.
Gadis itu meringis. "Sorry, itu salah paham. Mereka pikir lo Evan."
Oh, pantas saja dua orang itu berbuat demikian. Evan memang layak diperlakukan seperti itu, meskipun kenyataannya justru ia yang apes menggantikan posisi laki-laki itu. "Ya... intinya gua tetap nggak mau."
"Kenapa?"
"Tempat kayak gitu bahaya, Serra. Kalo lo dibungkus om-om gimana?"
"'Kan ada lo?" sahut Serra santai.
"Lo pikir gua tipe cowok yang 'Silakan kamu mau ngapain, Sayang, aku bisa berantem' gitu?" repet Vino sambil mencibir. "Gua kasih tahu, ya, gua cowok baik-baik, nggak pernah berantem."
Serra mendecak sebal, pura-pura merajuk. "Ya udah, gua nggak mau maafin lo."
"Gini aja. Gua mau temenin lo minum, tapi di apartemen gua."
Gadis itu memandang kedua mata Vino dalam-dalam, lalu berbisik, "Modus lo, ya?"
Vino memutar matanya, mendengus. "Gua nggak bakal berani ngapa-ngapain lo. Yang ada, gua bisa habis sama dua bodyguard lo itu." Yang dimaksud Vino tentu adalah Aksa dan Niko. "Lagian..." Ia sengaja menggantung kalimatnya, matanya menelusuri seluruh tubuh Serra dari ujung rambut hingga kaki. "I don't see you as a woman either."
Sebuah pukulan dihadiahkan Serra tepat di perut Vino, lalu ia berdiri. "Okay. Minggu ini, ya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Romansa [END]
Genel Kurgu[WattpadRomanceID's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF DESEMBER 2023] Menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Tidak hanya memusingkan urusan jenjang karir dan kestabilan finansial, tetapi juga harus menuntaskan persoalan cinta sepert...