4. Bertemu Kembali

1.1K 116 2
                                    

"Kapan sih hotel kita libur hari Sabtu?" keluh Serra bertopang dagu sambil menggulir layar ponselnya, iri melihat posting-an temannya yang bisa menghabiskan akhir pekan dengan olahraga pagi di komplek perumahan. Tidak, ia bukannya berniat mengisi Sabtu pagi dengan berolahraga. Ia hanya ingin tidur sampai puas.

"Kayak anak baru aja lo. Selama tanggal di kalender masih warna hitam, nggak ada ceritanya kita libur. Untung aja di kalender tuh hari Minggu warnanya merah, kalo nggak, gua yakin kita disuruh masuk juga," sahut Indi tepat sasaran. Selama mereka bekerja di Capella, jangankan hari Sabtu libur, cuti bersama pun tidak ada gunanya karena mereka tetap harus bekerja.

Serra mendengus. "Gua ke toilet dulu, ya. Tiba-tiba mules, tertampar fakta dari mulut lo." Ia pun beranjak meninggalkan Indi yang masih cekikikan di meja kerjanya.

Gadis itu berjalan sambil merapikan roknya yang terlipat di bagian bawah. Kemudian, ketika ia mengangkat kepala, wajahnya langsung terbentur cukup keras oleh sesuatu di depannya, membuat matanya otomatis terpejam.

"Aduh!" Serra mengaduh sejenak sambil memegang kening sebelum membuka kedua matanya. Ia terperangah ketika mendapati seseorang yang kemarin mengaku izin cuti, berada di hadapannya sedang berdiri dan menyeringai puas, dengan pakaian kemeja lengan panjang berwarna hitam dan kedua tangan di dalam saku celana.

"Nyebelin banget sih lo. Masih pagi kali," omel Serra dengan wajah ditekuk seribu.

Di depannya, Vino justru terkekeh melihat respon Serra yang ia anggap berlebihan. Gadis itu seakan sedang memperbaiki letak hidung mungilnya ke posisi semula. Dirasa belum cukup menjahili Serra, Vino berkata santai, "Lipstick lo geser tuh, belepotan."

Meski mendecak, tetapi gadis itu tetap menyeka sisi bibir dengan jarinya, lalu melihat separah apa belepotan yang dimaksud Vino. Namun, ia tidak menemukan bercak sedikit pun. Sudah jelas, laki-laki itu berniat mempermainkannya.

Laki-laki itu mengulurkan tangan, seakan masih belum mau berhenti mengganggu Serra. "Sini deh, gua bantu bersihin."

Secepat kilat Serra menangkis tangan lawan bicaranya, mendongak dengan matanya yang menyorot tajam. "Nggak usah pegang-pegang!" perintahnya, kemudian mendengus dan berlalu begitu saja meninggalkan laki-laki itu.

"Ya ampun, Ser. Emang gua mau apain lo sih?" seru Vino, meski yang diajak bicara tidak menyahut dan terus berjalan menuju toilet.

Laki-laki itu lantas melangkah menuju meja kerjanya disambut sapaan dari Indi, "Pagi."

"Pagi juga, Bu Indi," jawabnya sok formal sambil mulai menghidupkan komputer. Meja kerja Vino berada tepat di sebelah kiri meja Serra. Meja Indi sendiri berada di sebelah kanan Serra.

"Hobi banget sih, Vin, bangunin singa lagi tidur.""

Laki-laki itu tahu persis siapa yang disebut sebagai singa tidur. Namun, dengan santainya, ia menanggapi, "Kapan lagi bangunin singa tapi nggak dimangsa?" kemudian dibalas tawa oleh Indi.

Sebenarnya, tidak banyak pekerjaan yang harus mereka lakukan di hari Sabtu. Kebanyakan perusahaan maupun kantor pemerintah biasanya libur, sehingga Vino dan Indi pun tidak memiliki jadwal kunjungan ke mana-mana, hanya di kantor.

Hari Sabtu juga berarti mereka tidak perlu memikirkan menu makan siang karena sudah disediakan oleh pihak hotel, makanan khusus karyawan. Sebenarnya setiap hari pun disediakan makan siang di sini, hanya saja di hari biasa, para sales lebih banyak menghabiskan waktu di luar mencari tamu daripada di kantor. Setelah makan siang, Vino menyelesaikan laporan kunjungan selama seminggu ke depan, sementara Indi sedang merekap nota dan laporan sales meals untuk diberikan kepada tim Accounting agar bisa di-reimburse. Ya, untuk hari-hari biasa, sales diberikan tunjangan uang makan.

Setelah beberapa jam bekerja dan menyelesaikan makan siang, Serra bangkit dari kursinya begitu mendapat pesan dari seseorang yang ingin melihat ballroom hotel, telah sampai dan menunggu di lobby. "Guys, gua ketemu tamu dulu ya," pamit ditujukan pada dua rekannya, sebagai informasi kalau saja ada yang mencarinya, kemudian keduanya membalas dengan anggukan.

Begitu keluar dari lift yang membawanya ke lobby, mata gadis itu langsung tertuju pada satu-satunya orang berkemeja flanel berwarna biru gelap, sedang duduk di sofa membelakanginya. Seperti biasa, Serra memasang senyum cerah, bersiap menyapa dengan nada yang sama cerahnya.

"Selamat siang, Pak Ev—" Kata-kata Serra terhenti begitu orang tersebut membalikkan tubuh. Wajah sumringahnya berubah tercengang. Sepasang mata monolid dengan tatapan yang dalam, hidung mancung, serta bibir tipis yang sedikit gelap. Siapa lagi kalau bukan, "Evan?" sebutnya lagi. Tidak pernah satu kali pun terbersit dalam bayangan Serra bahwa pekerjaannya akan membawa laki-laki itu kembali di hadapannya, seperti sekarang.

"Lho? Serra? Gila! Apa kabar lo?" Evan yang terlihat ceria, segera bangkit berdiri dan mengulurkan tangan dengan semangat.

"B-Baik." Masih sedikit linglung, Serra balas menjabat tangan laki-laki itu pelan, sambil memastikan dalam hati bahwa ia tidak sedang memimpikan sosok Evan seperti biasanya. Orang itu benar-benar nyata saat ini.

"Udah lama banget, ya, kita nggak ketemu." Evan tampak berpikir sejenak. "Hmm udah..."

"Tiga belas tahun."

Rasa heran tersirat di wajah Evan karena Serra bisa menjawab dengan cepat soal pertemuan terakhir mereka. "Ah, betul. Terakhir ketemu pas perpisahan SMP 'kan, ya?"

Gadis itu tersenyum kaku, lalu tiba-tiba langsung teringat tujuan utamanya berada di sini. "Oh, ya, lo mau lihat ballroom?" Jeda sejenak, sebelum Serra mengutarakan rasa ingin tahunya. "Buat lo married ya?" Meski terdengar biasa saja, tetapi jantungnya berdetak begitu cepat menunggu kata yang keluar dari mulut Evan.

Namun, laki-laki itu menggoyangkan tangannya. "Bukan. Bukan buat gua, tapi bokap-nyokap. Rencananya mau ngerayain wedding anniversary mereka, tapi konsepnya kayak wedding pada umumnya."

Begitu rupanya. Diam-diam Serra mengembuskan napas lega. Entah apa yang diharapkannya dengan pernyataan bahwa ini bukan acara pernikahan antara Evan dengan entah siapa. "Ya udah, yuk, kita lihat sekarang."

Setelah melihat-lihat luas ballroom yang menurut perkiraan Evan cukup untuk mengundang keluarga dan rekan orangtuanya, Serra membawanya menuju restoran hotel untuk menjelaskan harga paket pernikahan, juga beberapa menu makanan yang biasanya dipesan untuk acara seperti ini.

Fokusnya terpecah menjadi dua, antara mendengarkan penjelasan gadis itu, sembari memperhatikan teman lamanya yang jauh berbeda dari terakhir kali mereka bertemu. Saat duduk di bangku SMP dulu, Serra bukan termasuk orang yang suka bicara. Tipikal siswi yang selalu menempati urutan ranking tiga besar di kelas. Selalu memperhatikan guru ketika mengajar. Waktu istirahat digunakannya untuk belajar ketika ada ulangan harian, kalau tidak, ia hanya akan mengobrol santai dengan teman-teman akrabnya, sambil menikmati makanan ringan. Dulu, gadis itu terlihat kaku dan sedikit tertutup, berbeda dengan yang ada di hadapannya saat ini. Serra yang lebih terbuka dan tampak percaya diri ketika berbicara.

"Jadi, lo diskusiin aja dulu sama keluarga lo maunya gimana," ucap Serra mengakhiri penjelasannya.

Evan mengangguk. "Brosurnya gua bawa dulu, ya. Oh, ya, Ser, kalo misalnya gua minta saran soal dekorasi, MC, dan yang lainnya, sama lo boleh nggak? Soalnya lo 'kan sering urus acara beginian, pasti lebih tau mana yang bagus."

"Ya, berhubung lo teman gua, ya udah, deh, gua bantuin."

Candaan gadis itu berhasil membuat Evan tertawa kecil. "Anyway, nomor lo yang gua chat itu nomor pribadi atau nomor kantor?"

"Nomor kantor. Kenapa?"

"Boleh minta nomor pribadi lo nggak?"

Serra tertegun ketika kata-kata itu sama persis dengan yang diucapkan Evan ketika menjadi teman sebangkunya dulu. Awal mula mereka menjadi lebih dekat setelah lima bulan berada dalam satu kelas.

Evan kembali membuka mulutnya. Sebelum laki-laki itu melontarkan kata-kata, Serra seakan sudah bisa menebak. "Pengen ngobrol aja." Itu jawaban yang sama ketika dulu Evan pernah meminta nomornya dan Serra bertanya untuk apa. "'Kan udah lama kita nggak ketemu dan ngobrol bareng," sambung Evan lagi.

Tebakannya memang tepat. Akan tetapi, satu hal yang belum bisa ia terka. Jika dulu, pemberian nomor ponselnya berujung pada sesuatu yang kurang baik, apakah kali ini hasilnya akan berbeda?

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang