10. Balasan

759 83 4
                                    

Bertemu dengan teman lama selalu memancing percikan rasa bahagia yang berbeda dibandingkan dengan mereka yang memang sering menghabiskan waktu dengan kita. Itu juga yang dirasakan Evan ketika sosok Serra masuk ke restoran dan bertemu tatap dengan dirinya. Ini pertemuan kedua mereka setelah tidak sengaja bertemu di Capella waktu itu.

Rasa bahagia juga menghinggapi gadis itu. Hatinya masih berdebar setiap kali melihat Evan dengan sepasang mata tajam yang dinaungi alis tebal, serta senyuman yang bisa membuatnya meleleh dalam hitungan detik.

"Sorry ya, Ser, weekend gini gua malah ajak ketemu bahas kerjaan," ujar Evan setelah mereka berdua memesan makan dan minum.

Sambil mengibaskan tangan, Serra menjawab, "Santai aja kali. Demi pemasukan gua juga."

Evan terkekeh. Sekitar satu jam mereka habiskan untuk membahas kelangsungan acara ulang tahun pernikahan orangtua Evan yang sudah disepakati oleh keluarga, akan diadakan di hotel Capella. Laki-laki itu mencatat beberapa hal yang disampaikan Serra mengenai kelebihan dan kekurangan dari beberapa jasa wedding organizer, dekorasi, fotografi yang bekerja sama dengan hotel Capella, juga membantu memberi saran mana yang lebih baik.

"Masih suka komunikasi sama teman-teman lo, Ser?" tanya Evan, setelah mereka mendapat keputusan akhir dari diskusi hari ini. Ia ingat dulu gadis itu punya beberapa teman akrab saat di kelas.

"Beberapa tahun belakangan udah jarang sih. Mungkin karena udah punya kesibukan masing-masing." Kesibukan yang Serra maksud adalah teman-teman masa remajanya itu sudah bahagia dengan keluarga kecil masing-masing. Rasanya, hanya Serra yang masih mengurus dirinya sendiri. Setiap kali bertemu, pembicaraan mereka tidak jauh dari hubungan mertua-menantu, urusan ranjang, cara mendidik anak, dan sejenisnya, di mana Serra sama sekali tidak berpengalaman mengenai hal itu, berujung pada ia sulit untuk masuk ke dalam topik.

"Gua sama teman-teman juga gitu. Ada beberapa yang udah lama lost contact malah. Eh, ngomong-ngomong lo hari Minggu gini nggak ada janji sama orang lain?"

Kening gadis itu berkerut, lalu kepalanya menggeleng. "Nggak. Lagian janjian sama  siapa?" Ia sendiri sudah tidak punya teman yang bisa diajak untuk mengunjungi kafe-kafe baru, atau mengobrol panjang menghabiskan akhir pekan.

"Pacar?" tanya Evan tanpa ragu.

"Nggak punya," tanggapnya santai. "Lo sendiri, kenapa ngajak gua ketemuan di sini, hari Minggu, padahal lo bisa temuin gua di hotel?"

"Pengen aja. Hari-hari biasa udah sumpek sama kerjaan. Makanya pengen cari hiburan, ketemu temen, dan kebetulan juga ada lo."

"Dikirain gua cewek penghibur apa?"

Selalu ada saja jawaban aneh, tetapi menggelitik yang keluar dari mulut gadis itu. Sama seperti ketika salah satu teman sekelas mereka, berniat mengganggu Serra yang tengah serius menghafal materi pelajaran Kimia.

"Ser, semangatin gua dong, biar ulangan kali ini gua nggak remedi lagi."

Gadis itu mengangkat wajahnya sejenak dan berkata datar, "Semangat," lalu kembali membaca bukunya.

Merasa belum puas, temannya itu mendecak. "Yang bener kek. Kasih kata-kata yang manis gitu."

Lagi, Serra mengangkat pandangannya sambil berpikir, "Kata-kata yang manis… permen?"

Evan yang sedang duduk diam di sebelah gadis itu menyembunyikan senyumnya sementara si lawan bicara Serra melengos pergi begitu saja. Gadis itu sungguh tidak bisa ditebak, selalu membawa kejutan.

Ia masih memandangi Serra yang sedang menyuapkan sesendok nasi ke dalam mulutnya. Mungkin karena itu, gua bisa suka sama lo, batinnya.

Bunyi sendok jatuh yang beradu dengan lantai, mengaburkan lamunan Evan. Satu detik kemudian, ia sadar bahwa sendok itu milik seorang gadis yang sedang menatapnya dengan mata terbelalak. Detik berikutnya, ia sadar bahwa kalimat terakhir tadi, bukan hanya diucapkan dalam hati, tetapi juga lolos dari mulutnya.

***

"Mungkin karena itu, gua bisa suka sama lo."

Satu kalimat yang mampu membuat Serra tidak berkutik. Tangannya tak lagi mampu memegang sendok dengan benar, sehingga benda itu jatuh begitu saja. Makanan di dalam mulutnya terasa sulit ditelan karena kerongkongannya mendadak kering.

Ia tidak mengerti bagaimana bisa candaan tentang wanita penghibur, mengundang tawa Evan, justru berujung pada sederet kalimat tadi.

Sekarang, laki-laki itu mengerjapkan matanya gugup sambil meminta sendok baru kepada seorang pegawai, sementara Serra menyedot minuman untuk membantunya menelan.

Evan tampak salah tingkah dengan menggaruk pelipisnya. Sebenarnya bisa saja Serra menganggapnya hanya bercanda. Namun, ada rasa ingin tahu yang tidak mampu dibendungnya.

"Y-yang tadi, maksudnya gimana, ya?"

Kepala Evan menunduk sejenak dan tertawa sumbang. Ia kembali melihat gadis di hadapannya sedang menunggu jawaban. "Dulu, gua pernah suka sama lo," akunya.

Napas Serra otomatis tertahan. Tidak mau terlalu berharap, ia membalas, "Nggak usah bercanda deh, Van," sambil mengibaskan sebelah tangan.

“Gua nggak bercanda.”

Gadis itu bisa mendengar detak jantungnya sendiri saking kencangnya. Pernyataan yang terlalu tiba-tiba sehingga ia tidak bisa mencerna informasi itu dengan cepat. Bagaimana bisa? Sejauh mengenal Evan, ia tidak pernah menduga kenyataan ini sama sekali.

Evan menghela napas, lalu kembali membuka suara, “Dulu, gua nggak pernah bisa bilang ini ke lo. Nggak tepat waktunya.”

“Nggak tepat kenapa?”

“Pertama, kita beda, Ser. Lo tuh murid teladan, pintar, rajin, sedangkan gua cuma anak malas yang sering bergaul sama anak-anak nakal. Kedua, gua takut kita bakal canggung kalo lo nolak gua dan kita nggak bisa berteman lagi. Ketiga, kalo memang seandainya lo terima gua, mungkin persahabatan lo sama Yuka yang bakal rusak karena ternyata dia suka sama gua. Semua opsi itu nggak ada yang enak, jadi gua nggak pernah bilang apa-apa.”

Lalu, Serra teringat alasan Evan menolak Yuka ketika sahabatnya itu menyatakan cinta. “Lo bukannya suka sama adik kelas?”

“Gua nggak mungkin ‘kan bilang suka sama lo. Jadi, gua bohong. Gua bahkan nggak punya kenalan adik kelas yang cewek.”

Gadis itu terdiam, tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya. Bertahun-tahun ia menganggap bahwa perasaan itu hanya miliknya sendiri. Cinta pertama yang ia pikir hanya terjadi secara sepihak, ternyata menyimpan fakta lain yang tidak pernah ia ketahui. Selama ini ia percaya bahwa cinta pertama kebanyakan tidak bersambut, seperti yang dikatakan orang-orang. Maka, ia juga dengan tulus mencintai Evan secara diam-diam tanpa menuntut apapun. Tetapi, ternyata perasaannya berbalas.

“Nggak usah dipikirin, Ser. Cuma cinta-cintaan anak kecil doang."

Seulas senyum tipis terbentuk di bibir Serra, menanggapi celetukan laki-laki itu. Benar, hanya perkara cinta-cintaan anak kecil. Kalau memang perasaannya yang dulu ternyata mendapat balasan, terus kenapa? Apa yang ia harapkan? Evan juga masih menyimpan perasaan itu sampai sekarang, seperti dirinya? Tiga belas tahun bukan waktu yang singkat. Semua telah banyak yang berubah, termasuk perasaan seseorang. Saat perasaannya masih terjebak di masa lalu, kehidupan orang lain justru terus bergerak maju. Evan juga pasti begitu, pikirnya.

Namun, gadis itu tetap ingin tahu, bagaimana reaksi Evan jika ia mengatakan hal yang sebenarnya. Tidak secara gamblang mengatakan bahwa ia masih memiliki rasa pada laki-laki itu, hanya menyampaikan sedikit saja rahasianya. Serra menopangkan dagu pada salah satu tangannya, mengatur napas agar nada bicaranya tetap tenang, sambil menatap laki-laki di hadapannya lurus-lurus. "Gua juga dulu suka sama lo."

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang