6. Masa Remaja

944 101 5
                                    

Kejadian beberapa tahun lalu, di sebuah sekolah.

Nasi uduk di hadapan Serra sudah setengah piring, semntara sahabatnya, Yuka, belum menyentuh makanan itu sama sekali. Manik Serra beralih pada Yuka. Pandangan temannya sedang tertuju pada meja seberang yang terisi oleh beberapa anak laki-laki, yang juga sedang mengisi perut dengan makanan kantin.

Saat matanya kembali ke Yuka, Serra baru memperhatikan bahwa gadis itu sedang menggigit bibir dan beberapa kali menghela napas, seperti orang gugup.

"Woi," panggil Serra dengan menyikut lengan Yuka. "Kenapa lo? Keburu dingin tuh nasi."

Yuka menggaruk kepala. Matanya mengerjap cepat. "Gua udah nggak lapar. Gua deg-deg-an, Ser."

"Deg-deg-an kenapa?"

"Ehm... Gini, Ser. Duh, gimana ngomongnya, ya?"

"Apaan? Lo abis ngelakuin yang aneh-aneh, ya?" tebak Serra membuat Yuka langsung menggeleng.

"Belum, gua belum ngapa-ngapain."

Lantas, mata Serra membesar. "Belum? Berarti mau dong? Lo mau ngapain sih? Jangan gila deh."

Meski dengan terbata, Yuka menyampaikan apa yang menjadi kegelisahannya hari ini. "Itu... Sebenarnya, ada orang gua suka. Gua berencana untuk... nembak dia hari ini."

"Ha?" Gadis itu sungguh terkejut bukan main. "Siapa? Gua kenal? Udah berapa lama? Kok nggak cerita sama gua?" Pengakuan Yuka tampaknya membuat Serra antusias sehingga menghujani temannya dengan banyak pertanyaan. Matanya berbinar menunggu kata-kata Yuka selanjutnya.

Yuka menunduk dalam-dalam, lalu menggumamkan sebuah nama yang tidak terdengar jelas oleh Serra.

"Siapa? Kevin?" tanya Serra sambil mendekatkan telinganya pada Yuka.

"Evan. Gua suka sama Evan," bisik Yuka dengan jelas.

Apa? Perlahan tubuh Serra menjauh, kembali duduk dengan posisi normal. Ia menatap Yuka lekat-lekat kalau saja sahabatnya sedang bercanda. Tiga detik berlalu, tetapi wajah Yuka masih serius. Ia tidak main-main dengan ucapannya barusan.

"Evan?" tanya Serra yang lebih menyerupai bisikan. Ia kembali melihat kumpulan anak laki-laki yang tadi diperhatikan Yuka. Jari telunjuknya terangkat, mengarah ke sana. "Evan yang..." Netranya bergantian memandang Yuka dan seorang anak laki-laki bernama Evan yang sedang tertawa-tawa dengan teman-temannya.

Tepat ketika Yuka mengangguk, Serra merasakan sesuatu di dalam dadanya.

"Gua udah lama suka sama dia," ujar Yuka.

"Kenapa nggak pernah cerita sama gua?" Nada bicara Serra menyiratkan bahwa ia kecewa. Yuka menganggap bahwa gadis itu kecewa karena ia tidak menceritakan hal sepenting ini kepada teman dekatnya sendiri. Namun, itu bukan alasan utama Serra merasa marah. Kalau saja dari awal Yuka bilang padanya, mungkin ia akan menjaga perasaannya. Kalau dari awal ia tahu bahwa Yuka menyukai Evan, ia tidak akan menjatuhkan hatinya pada orang yang sama.

"Maaf, karena nggak pernah cerita. Gua malu, baru pertama kali ngerasain gini."

Serra diam. Otaknya masih bekerja untuk mengolah semua informasi yang baru saja didengarnya.

Yuka menggenggam kedua tangan Serra. "Ser, jangan sekarang dong kalo mau marah sama gua. Mendingan lo doain gua deh, biar momen tembak-menembak gua hari ini lancar. Ya? Ya?"

Gadis itu mengangguk, memaksakan sebuah senyum tipis. "Good luck, Ka."

Senyum Yuka mengembang. "Rasanya gugup gua berkurang abis cerita sama lo. Thank you, Serra," ucapnya sebelum melahap nasi uduk di hadapannya.

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang