14. Bimbang

558 72 3
                                    

Dengan langkah gontai, Vino masuk ke apartemennya, disusul oleh suara Macan yang mengeong manja ketika pemiliknya pulang. Laki-laki itu segera menggendong Macan untuk duduk di pangkuannya, sambil mengelus bulu halusnya. Ia mengeluarkan ponsel dari saku celana untuk membuka media sosial, bersantai sejenak sebelum mandi.

Saat sedang asyik menggeser layar, matanya terpaku pada satu posting-an. Beberapa jam lalu, akun milik Celine mengunggah sebuah foto yang menampilkan wajah gadis itu dan tunangannya sedang berada di salah satu restoran. Di bawah foto tertulis, Distance makes our love grow. Happy to see you again, love ♡.

Entah apa maksudnya, tetapi hal itu menunjukkan bahwa hubungan keduanya tampak baik-baik saja. Lantas, pikirannya terlempar ke waktu pagi tadi, saat ia baru akan mulai bekerja.

Tepat setelah kegiatan briefing pagi selesai, Vino tergesa-gesa menghampiri mejanya, menekan beberapa angka di telepon, dan menunggu hingga tersambung ke bagian FO (Front Office). Ia mendecak begitu teleponnya tidak diangkat, dan menekan tombol redial. Namun lagi, usahanya tidak membuahkan hasil.

"Cari siapa, Vin?" tanya Serra melihat gerak-gerik gusar dari laki-laki di sebelahnya.

Masih dengan gagang telepon di telinganya, Vino menjawab, "Anak FO. Kenapa nggak ada yang angkat sih?"

"Lagi ramai orang check out kali masih pagi gini. Tahu sendiri kemaren 'kan weekend."

Laki-laki itu menutup telepon dan memijat kening. "Ini tamu gua siapa yang jemput jadinya?" tanyanya lebih kepada diri sendiri.

"Yang ditugasin jemput siapa?"

"Pak Agus, tapi hari ini nggak masuk karena mau antar anaknya yang sakit ke dokter." Sekali lagi, Vino masih mencoba menelepon.

"Lo nggak nanya Bu Nova?" tanya Serra lagi. Pasalnya, Bu Nova adalah Front Office Manager. Beliau pasti tahu tugas-tugas karyawannya.

"Lagi cuti orangnya."

Indi dan Serra saling berpandangan dengan senyum penuh arti. "Bisaan banget cutinya bareng Pak Hendra," timpal Indi yang tak sempat Vino hiraukan karena ia kembali menekan tombol redial.

"Kenapa nggak lo aja yang jemput?" Indi bertanya lagi.

Vino menggeleng. "Nggak bisa. Gua ada janji ketemu klien hari ini."

"Ya udah gua aja yang jemput. Pagi ini jadwal gua kosong kok. Mobilnya ada 'kan?"

Tawaran Serra langsung dibantah cepat oleh laki-laki itu. "Nggak, nggak, nggak. Nanti trauma tamu gua gara-gara disupirin sama mantan supir angkot." Bukannya tanpa alasan Vino bisa berkata seperti itu. Ia pernah suatu kali pergi kunjungan bersama, dan saat itu Serra yang menyetir. Itu adalah pertama dan terakhir kalinya ia membiarkan gadis itu duduk di balik setir jika bepergian dengannya. Bagaimana tidak? Vino tidak sempat menghitung berapa kali ia terkesiap pelan setiap kali Serra menunjukkan aksinya. Mulai dari menginjak gas dan rem mendadak, berusaha menyalip mobil lain padahal lalu lintas sedang padat, sampai membunyikan klakson panjang penuh amarah jika ada kendaraan lain tidak menaati aturan lalu lintas.

Mulut gadis itu baru saja terbuka untuk mengeluarkan sumpah serapahnya, bertepatan dengan telepon yang akhirnya diangkat. "Good morning, Capella Hotel. This is Diah speaking. May I help you?" jawab sebuah suara formal di seberang sana, membuat Vino lega karena akhirnya telepon terjawab, sekaligus menahan amarah Serra.

"Halo, Diah. Pak Agus cuti 'kan? Jadi, yang jemput tamu dari Nagatama siapa ya?" tanya Vino dengan menyebut nama perusahaan kliennya.

"Oh, barusan Robby udah jalan, Kak. Makanya gua tugas sendirian di resepsionis. Maaf ya, Kak, baru diangkat teleponnya karena lagi hectic."

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang