Ada yang aneh. Mata Indi menatap Serra dan Vino bergantian. Ia tahu ada sesuatu di antara mereka berdua sejak hari di mana Vino membawa keponakannya ke kantor waktu itu. Serra dengan sikapnya yang sering cerewet saat berurusan dengan Vino, mendadak lebih banyak diam. Vino yang biasanya bertugas untuk menguji kesabaran gadis itu dengan segudang keusilannya pun, sekarang berubah menjadi anak baik. Namun, ketika ditanya, kedua orang itu kompak tidak mau bicara.
Ketika Indi bertanya pada Serra, gadis itu menjawab, "Lo tanya aja sendiri sama orangnya." Lantas, ketika ia bertanya pada Vino, laki-laki itu hanya mengangkat bahu tanpa berkata apapun.
Indi merasakan suasana dingin itu sejak kemarin. Senin pagi yang membuat kebanyakan orang masih bermalas-malasan untuk mulai bekerja, diperparah dengan situasi dua rekannya yang tampak perang dingin.
Pagi itu, Serra sudah datang terlebih dahulu. Selang beberapa menit, Vino muncul, mengucapkan selamat pagi dengan ramah kepada Indi dan Serra, tetapi sama sekali tak ada sahutan dari gadis itu. Tadinya, Indi menganggap hal itu biasa saja, berhubung Vino seringkali menjadi penyebab suasana hati Serra buruk dengan kelakuan usilnya, entah apa.
Kemudian, berlanjut ketika Vino hendak pergi untuk mengunjungi klien, ia memanggil gadis itu dengan hati-hati. "Ser."
Serra masih sibuk sendiri mengetik sesuatu melalui komputer dengan wajah datarnya, membuat laki-laki itu memanggilnya dengan suara yang lebih keras. "Serra."
Tanpa menoleh, ia menyahut, "Kalo bukan soal kerjaan, nggak usah ngomong sama gua."
"Soal kerjaan kok," sambar Vino cepat.
"Apa?" Gadis itu menghentikan segala kegiatannya, menoleh pada Vino.
Alih-alih langsung menjawab pertanyaan, laki-laki itu mengerjap beberapa kali memperhatikan wajah Serra. "Lo nggak apa-apa? Muka lo pucat, lo sakit?"
Yang ditanya justru mendengus dan memutar bola mata. "Nggak ada hubungannya sama kerjaan," tukasnya, lalu buru-buru bangkit berdiri.
Dengan cepat, Vino melakukan hal yang sama untuk menghalangi gadis itu pergi. Wajahnya tampak memelas. "Gua benar-benar minta maaf. Gua sama sekali nggak ada maksud jahat sama lo. Jadi, tolong kasih gua kesempatan untuk jelasin semuanya, ya?" katanya sungguh-sungguh ketika mereka berdua bersitatap.
Saat itulah Indi menyadari memang ada hal yang serius di antara keduanya. Kalau tidak, tidak mungkin Vino sampai minta maaf seperti itu.
"Ser, habis ini ke ruangan gua, ya. Mau ngomongin soal perpanjangan kontrak lo." Siska yang baru saja melewati meja mereka, tidak sadar akan ketegangan yang terjadi di sana.
Namun, sepertinya Serra jadi mendapat kesempatan untuk melarikan diri. "Iya, Mbak." Dengan demikian, gadis itu pergi mengikuti Siska, meninggalkan Vino yang masih serba salah.
Itu kemarin. Hari ini ada hal baru lagi.
Serra dan Indi baru saja kembali ke kantor setelah menyelesaikan jadwal kunjungan klien masing-masing. Masih melepas lelah sambil berbincang ringan, Vino datang membawa sebungkus kantong plastik dan meletakkannya di meja Serra.
"Gorengan Bang Kipli, buat lo."
Gadis itu memandang kantong di mejanya dan Vino bergantian. Pasalnya, gorengan kesukaannya itu jaraknya lumayan jauh dari hotel. Sesekali Serra membelinya sendiri, atau menitip pada Indi, juga Vino jika mereka memang harus pergi ke tujuan yang searah. Namun, kali ini tidak. Serra tidak minta dibelikan oleh Vino, tetapi laki-laki itu sendiri yang inisiatif membelikannya.
Serra tahu, gorengan ini adalah bentuk sogokan untuk ia yang masih setia mendiamkannya. Lantas, kantong itu dipindahkannya ke meja Indi. "Nih, Di, buat lo."
"Dih, orang si Vino beliin buat lo."
"Gua lagi diet," jawab Serra sekenanya.
Indi sengaja menahan tawa, mengejek temannya itu. "Diet? Sejak kapan lo diet? Gaya banget." Seorang Serra yang suka makan apa saja dengan porsi berapa pun, tetapi tidak mempengaruhi bentuk tubuhnya, tidak mungkin mengikuti program diet.
Gadis itu diam saja, membuat Indi tambah menggodanya. Ia ambil sepotong tempe, lalu menyodorkannya di depan hidung gadis itu. "Nih, cium deh wanginya. Masa nggak kepengen? Kesukaan lo banget nih, masih hangat, masih garing."
"Udah ah, nggak usah ganggu. Gua mau pulang on time hari ini," ucap Serra pura-pura sibuk dengan beberapa lembar kertas di hadapannya.
Indi melihat Vino yang menghela napas lesu sambil memandangi gadis yang tampak tidak peduli. Lagi-lagi, usahanya sia-sia. Jelas Indi harus melakukan sesuatu. Timnya hanya berisi tiga orang, sementara komunikasi dua orang di antaranya tidak terjalin dengan baik. Mana mungkin mereka bisa bekerja sama dengan baik kalau seperti itu. Maka, sepulangnya Serra, Indi buru-buru mengambil tempat di sebelah Vino.
"Mau gua bantu nggak?" tanyanya setelah menepuk bahu laki-laki itu.
"Udah mau selesai kok. Thanks, Di."
Indi kembali menepuk bahu Vino. Kali ini lebih keras. "Bukan kerjaan lo."
"Terus?"
"Bujukin Serra biar nggak ngambek lagi."
Mata Vino menyipit tidak yakin. "Emang bisa?"
"Bisalah. Tapi, gua harus tahu dulu permasalahannya apa. Lo berdua dari kemarin gua tanyain nggak ada yang mau jawab," omel Indi.
"Serra nggak cerita sama lo?
Indi menggeleng. "Dia suruh gua tanya langsung sama lo. Ya, kelihatannya dia sama sekali nggak berminat bahas tentang lo sih."
"Kalo tentang Evan, dia cerita?"
"Ya… sedikit. Tapi, apa hubungannya sama lo?"
Tanpa menjawab pertanyaan Indi, Vino balik bertanya, "Serra cerita sampe mana?"
Indi menggosok dagunya sambil berpikir. "Sabtu kemarin, ada tamu yang mau ketemu sama dia buat nanya-nanya tentang acara wedding di sini. Terus, pas ngobrol, tahunya dia tunangan Evan. Kasihan banget teman gue harus ketemu cowok modelan begitu." Indi menarik napas panjang, lalu mengembuskannya. Ia kembali bertanya, "Terus, hubungan cerita itu sama semua sikap dia ke lo beberapa hari terakhir ini apaan?"
Yang ditanya menunduk. "Sebenarnya, dari awal gua tahu kalo Evan punya tunangan. Gua memang salah karena nggak ngomong ke Serra."
Mata Indi melebar tidak menyangka. Ia mengulang kalimat Vino, memastikan tidak salah dengar. "Lo tahu kalo Evan punya tunangan?"
Vino mengangguk.
"Tahu dari mana?"
"Gua kenal sama tunangannya."
"Jadi, Serra marah sama lo karena lo udah tahu si Evan punya tunangan, tapi lo nggak bilang apa-apa ke dia?" Indi menyimpulkan.
Laki-laki itu mengangguk lagi.
"Kenapa lo nggak bilang?" tanyanya frustrasi.
Vino berdeham sejenak, lalu menjawab, "Itu gua nggak bisa jawab sekarang, tapi gua bakal langsung ngomong ke Serra semuanya. Sekarang, gua minta tolong sama lo kasih tahu gimana caranya biar dia mau gua ajak ngobrol."
Indi mendecak sebal. "Lo juga sih cari gara-gara, pantes aja dia marah banget sama lo. Bentar gua mikir dulu."
Laki-laki itu tersenyum tipis. Meskipun sambil mengoceh, untunglah Indi masih mau membantunya untuk memperbaiki kesalahan yang ia buat. Beberapa saat kemudian, Indi berseru sambil menjentikkan jari, tanda ia mendapat sebuah ide cemerlang. Namun, wajah sumringah Indi justru membuat Vino waswas, curiga kalau pemahaman mereka akan ide cemerlang itu berbeda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Romansa [END]
General Fiction[WattpadRomanceID's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF DESEMBER 2023] Menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Tidak hanya memusingkan urusan jenjang karir dan kestabilan finansial, tetapi juga harus menuntaskan persoalan cinta sepert...