Serra baru saja keluar dari kamar mandi. Ia menggosokkan handuk pada rambutnya yang basah, sambil menyandarkan tubuh pada kepala kasur, mengecek ponsel sebentar. Tiba-tiba saja perutnya berbunyi karena belum diisi sejak pulang kantor tadi. Sebenarnya, ia sedikit menyesal karena menolak gorengan pemberian Vino. Namun, mau bagaimana lagi? Gengsinya lebih besar daripada memuaskan nafsu perutnya.
Malam ini, kedua orangtuanya pergi makan malam bersama teman-teman mereka. Sambil berjalan menuju ruang makan, Serra bertanya dalam hati apakah sang mama menyiapkan makan malam untuknya. Semoga saja begitu, karena ia sedang malas memasak makanan sendiri. Lantas, ia membuka tudung saji dan menemukan harta karun di sana. Sayur asem kesukaannya beserta tempe bacem, tahu goreng, ayam goreng, sambal terasi, lengkap dengan lalapan. Gadis itu baru saja duduk hendak mencedok nasi ke dalam piring, sebelum perhatiannya teralihkan pada suara gonggongan anjingnya, lalu pekikan seseorang yang berasal dari luar rumah.
"Kak," panggilan itu Serra tujukan pada Niko, juga Aksa yang kebetulan sedang main ke rumah. Namun, tidak ada jawaban. Ke mana dua orang itu pergi?
Anjingnya menggonggong sekali lagi. Kali ini disertai geraman. "Kak Aksa. Kak Niko. Kayaknya ada orang tuh di depan. Gua mau makan dulu." Tetap tidak ada sahutan.
Akhirnya Serra menyerah dan segera pergi ke luar rumah karena anjingnya masih tidak mau diam. Samar-samar, mulai terdengar suara cekikikan dari Aksa dan Niko di teras rumah. Lalu, matanya terbelalak ketika melihat anjingnya menyalak pada seseorang sedang bertengger di pintu gerbang dengan wajah panik, sambil membawa sebuah pot berisi bunga matahari.
"Vino?"
***
Sesuai saran Indi, kini Vino berdiri di depan rumah Serra sekaligus membawa bunga matahari beserta potnya sebagai tanda permintaan maaf. Ia tidak sempat mencari tahu apakah ini memang bunga yang tepat, tetapi ia percaya saja pada rekannya itu.
"Permisi," ucap Vino sambil mengetuk gembok pintu gerbang rumah Serra.
Tak lama kemudian, seorang laki-laki yang ia duga sebagai kakaknya Serra, keluar. "Ya? Mau cari siapa?"
"Malam, Kak. Saya mau cari Serra," jawabnya sambil membungkuk sopan.
Mata laki-laki itu menelusuri penampilan Vino, termasuk pot yang sedang dibawanya. "Tukang bunga?"
"Oh? Bukan, saya temannya."
"Teman kok bawa-bawa bunga gitu?" Tatapan sang lawan bicara makin menyelidik. "Mau nembak?"
Vino buru-buru menggoyangkan tangan sebelum kakak Serra berpikir lebih jauh dan mencurigainya. "Nggak. Ini untuk ehm… minta maaf."
"Oh. Minta maaf. Bilang dong dari tadi."
Sekarang, Vino makin dibuat bingung oleh nada bicara laki-laki itu yang seolah sudah menduga maksud dan tujuannya ke mari.
"Niko, sini." Vino masih belum bisa menebak situasinya. Alih-alih memanggil Serra, ia justru memanggil kakak Serra yang lain, lalu membisikkan sesuatu. Orang bernama Niko tadi tersenyum singkat ke arahnya, lalu pergi ke samping rumah. Sesaat kemudian, ia kembali membawa seekor anjing hitam yang cukup besar dengan tali yang terikat pada lehernya.
Kakak pertama Serra menghampirinya dan membukakan pintu gerbang. Ia melipat tangan di depan dada sambil menunjuk dengan dagunya dan berkata, "Itu Minnie."
Vino melihat anjing gagah itu. Minnie katanya? Nama yang terlalu imut untuk seekor anjing dengan perawakan seram.
"Gua kasih lo tantangan. Kalo lo emang berbuat salah sama Serra dan mau minta maaf, lo harus bisa akrab dulu sama Minnie. Kalo kalian bisa akrab, lo baru gua izinin ketemu Serra."
"O-kay," sahutnya ragu. Ia tidak menyangka jika Serra mempunyai kakak-kakak yang protektif seperti ini. Padahal, menurutnya, tanpa dijaga siapa pun, gadis itu cukup tangguh untuk melindungi dirinya sendiri.
Belum sempat berpikir terlalu jauh, makhluk bernama Minnie itu sudah lepas dari pegangan sang majikan, berlari menghampirinya, serta menyalak garang. Vino terkejut bukan main sampai tak sadar telah berseru cukup keras.
Laki-laki itu perlahan mengulurkan tangan untuk menyentuh kepala Minnie, tetapi rupanya anjing itu sama sekali tidak mau bersahabat dengannya. Gonggongannya makin kencang, bahkan kelihatan tidak ragu untuk menggigit Vino jika ia lebih mendekat lagi. Maka, yang bisa ia lakukan adalah memanjat pagar untuk menyelamatkan diri dan menjadi tontonan yang menghibur bagi kedua kakak Serra. Sampai sebuah suara memanggil namanya.
"Vino?"
Ketiganya serentak menoleh pada Serra, tetapi dengan pikiran yang berbeda-beda.
Bagi Vino, kehadiran Serra bagaikan seorang malaikat yang dikirim Tuhan untuk menyelamatkan nyawanya yang berada di ujung tanduk. Meskipun gadis itu muncul dengan rambut basah yang belum sempat disisir, beda jauh dengan penampilan seorang malaikat.
Aksa, sempat terkesiap saat adiknya menyebut nama Vino. Jujur saja, dari awal melihat gelagat Vino yang tampak gugup seolah punya kesalahan besar pada Serra, membuatnya menduga bahwa laki-laki itu adalah Evan, orang yang menyakiti Serra. Makanya, tanpa segan ia memberi pelajaran padanya.
Niko sendiri tidak begitu paham situasinya. Saat sang kakak berbisik, "Ini orang udah cari gara-gara sama Serra. Kerjain dulu kali, ya. Bawa Minnie ke sini," tanpa banyak bertanya, ia langsung masuk ke dalam permainan.
"Ngapain lo di situ?" tanya gadis itu.
"Itu." Dengan bibirnya, ia menunjuk Minnie.
Melihat anjing peliharaan yang seharusnya berada di dalam kandang, membuat mata Serra mendelik pada kedua kakaknya. "Kerjaan lo berdua, ya?"
"Gua cuma nurutin Kak Aksa. Ide dia tuh," dalih Niko.
"Apaan sih, Kak?" tanya Serra dengan nada mendesis pada Aksa.
Aksa menggaruk tengkuknya. "Gua kira, dia Evan yang lo ceritain itu."
Serra memejamkan mata sambil menepuk keningnya sendiri. Ia benar-benar tidak habis pikir.
"Abis dia datang bawa-bawa bunga, bilang mau minta maaf. Lagian dia juga sih nggak bilang siapa namanya." Aksa masih berusaha membela diri.
"Udah, udah. Bawa Minnie masuk. Nanti Mama Papa pulang, gua aduin lo berdua," ancamnya seperti anak kecil.
Sementara Niko membawa Minnie kembali ke tempatnya, dengan langkah lebar, Serra berjalan ke arah gerbang. Kepalanya mendongak melihat Vino di atas sana sambil menggeleng. "Turun lo."
Laki-laki itu celingukan mencari cara untuk turun. Satu tangannya berpegang pada terali pagar, sementara tangan yang lain masih memegang pot.
"Lo bisa naik, tapi nggak bisa turun?"
"Namanya juga kaget, Ser. Nggak sadar kalo manjat setinggi ini."
Serra mendecak, lalu mengulurkan kedua tangannya. "Sini gua pegangin potnya."
Vino menyerahkan pot itu dan turun dari pagar dengan mudah. Baru saja kakinya memijak tanah, tangannya langsung ditarik oleh Serra.
"Eh, eh, mau ke mana?" Suara Aksa kembali terdengar, membuat langkah Serra berhenti.
"Mau tahu aja," jawab gadis itu dengan cuek.
"Nggak baik pergi berduaan malam-malam gini. Kenapa nggak di rumah aja?" Kakaknya masih berusaha mencegah Serra untuk pergi.
Namun, gadis itu justru sengaja memeluk lengan Vino. "Bodo." Kemudian, ia menjulurkan lidah pada Aksa dan membawa Vino pergi.
Yang tidak Serra sadari adalah kenyataan bahwa pemilik lengan yang sedang dipeluknya, bagaikan tersengat listrik. Tubuhnya mendadak kaku, dan saat ini sedang berusaha mengatur tempo napasnya yang semakin cepat.
![](https://img.wattpad.com/cover/342350778-288-k18250.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Romansa [END]
Fiksi Umum[WattpadRomanceID's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF DESEMBER 2023] Menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Tidak hanya memusingkan urusan jenjang karir dan kestabilan finansial, tetapi juga harus menuntaskan persoalan cinta sepert...