17. Keputusan Serra

652 72 0
                                    

"Hai, sorry telat. Udah lama, ya?"

Mata Serra beralih dari ponsel di tangan kepada seseorang yang baru saja duduk di hadapannya. Ia tersenyum manis. "Nggak kok. Lo pesan dulu aja. Gua udah," jawabnya sambil menunjuk segelas kopi di depannya.

"Itu doang? Nggak pesan makan?"

Gadis itu menggeleng. "Sebentar aja. Gua masih ada urusan habis ini."

Semalam, ia mengirimkan pesan pada Evan, mengajaknya bertemu karena ada hal penting yang harus dibicarakan. Serra berusaha sekeras mungkin untuk tidak melayangkan tamparan keras di pipi laki-laki yang sedang menyebutkan pesanannya pada pelayan, dan memulai pembicaraan dengan manis dan tenang, seperti biasanya. Padahal, kobaran api dalam hatinya cukup besar hanya dengan melihat Evan menyapa dirinya dengan ramah.

"Ke mana? Bareng gua aja," tanya Evan setelah selesai memesan.

Serra hampir memutar bola matanya. Tanpa bisa menahan rasa sabar lebih lama, ia langsung menyambar, "Nggak deh, lo pasti sibuk."

"Ah, sibuk apa sih?"

"Sibuk urus pernikahan lo, mungkin?"

Sesaat, raut wajah Evan berubah, memandang Serra dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. Namun, ia berusaha menutupinya dengan senyuman lebar, "Ngarang aja lo."

Baiklah, sekarang gadis itu sungguh kehabisan rasa sabarnya. Ia duduk tegak, mencondongkan tubuh, dan melipat kedua tangannya di atas meja. "Ngarang? Celine sendiri yang kemarin datang ke Capella, mau booking untuk acara kalian."

Kali ini, Evan benar-benar kehilangan kata-kata. Ia sama sekali tidak tahu bahwa Celine pergi ke sana. Gadis itu hanya berkata akan pergi ke beberapa hotel untuk membandingkan harga dan kualitas dari paket pernikahan yang dimiliki, karena Evan sedang ada acara di kantornya. Salahnya juga tidak bertanya lebih jauh. Ia mengambil waktu untuk berpikir akan apa yang akan disampaikan, tepat saat pesanannya datang.

Belum sempat Evan bicara, Serra bicara dengan santai, "Selamat, ya. Kok selama ini lo nggak pernah bilang kalo lo udah tunangan?"

"Gini—"

"Kalo gua tahu dari awal, gua nggak mungkin mau jalan berdua aja sama lo, Van. Kalo ada kenalan kalian sampai lihat kita jalan bareng, gimana penilaian mereka ke gua? Gua bisa aja dicap pelakor," cecar Serra.

"Gua salah," ucap Evan tegas, "Dan gua minta maaf."

Serra masih menatapnya lurus tanpa berkedip, seolah menuntut penjelasan yang lebih daripada sekedar kata maaf. Evan menelan ludah untuk mengurangi kegelisahannya, menunduk, tidak berani menatap gadis itu secara langsung.

"Kita, gua sama Celine memang udah berpacaran cukup lama, dan sedang merencanakan pernikahan. Tapi, semakin dekat ke hari pernikahan, kita berdua semakin ragu untuk melangkah lebih jauh. Makanya, kemarin sempat break sementara waktu. Kita sama sekali nggak berkomunikasi, nggak ketemu juga karena Celine pergi ke luar negeri, fokus sama diri masing-masing, mencari tahu apa yang kita mau dari hubungan ini."

Evan mengangkat wajah, memandang gadis di hadapannya. "Dan di saat kayak gitu, lo datang. Jujur, gua sempat lupa tujuan kami break, karena terlalu senang menghabiskan waktu bareng lo."

Hati Serra bergetar mendengar kalimat terakhir dari laki-laki itu. Jadi, ia tertawa sumbang untuk mencegah perasaan itu makin membuncah. Kali ini, ia tidak boleh terbuai. "Kalo kemarin cewek lo datang ke hotel untuk mengurus pernikahan kalian, artinya kalian berdua udah tahu dong hubungan ini mau dibawa ke mana. Ya, 'kan?"

Laki-laki di hadapannya hanya diam. Tidak mengiyakan, tidak juga menjawab 'tidak'. Entah apa yang dipikirkannya. Apa ia sendiri masih ragu?

"Gua pikir, selama ini memang ada yang beda di antara kita. Ternyata, gua cuma pelampiasan saat lo kesepian aja," ucap Serra lagi.

"Lo benar. Gua juga merasa ada yang beda sama kita. Tapi, lo salah, kalo menganggap diri lo cuma pelampiasan. Setiap kali sama lo, gua merasa lebih… hidup? Gua sendiri nggak bisa jelasin. Yang pasti, gua ngerasain hal-hal yang pernah gua rasain dulu. Deg-degan tiap kita mau ketemu, gugup kalo kita lagi berdua, nggak sabar nungguin balasan chat dari lo, nggak rela tidur cepat karena masih pengen ngobrol sama lo, that cheesy things yang membuat hidup gua nggak terasa monoton."

Kenapa kata-kata itu harus keluar dari mulut Evan di situasi seperti ini? Ia yang semalaman sudah memupuk amarah untuk laki-laki itu, merasa hatinya mulai luluh. Hanya ada satu pertanyaan untuk menentukan langkah selanjutnya yang akan ia ambil. "Kalo gitu, apa ada kesempatan gua untuk menggantikan posisi Celine di hidup lo?"

Satu detik. Tiga detik. Lima detik. Tidak ada jawaban dari Evan. Serra menghela napas. "See? Lo itu cuma lagi bingung aja sama perasaan lo sendiri karena mau melangkah ke tahap yang serius. Lo sama sekali nggak menganggap gua spesial, Van. Gua cuma bagian dari masa lalu lo, dan semua yang kita lakuin, itu semua cuma nostalgia buat lo. Kalo lo merasa hidup lo nggak monoton, ya, karena memang begitu 'kan cinta-cintaan masa remaja? Yang kita tahu cuma senang-senang saat ini, nggak harus mikirin ke depannya gimana. Cinta masa remaja itu, sederhana, Van, nggak serumit yang kita hadapi sekarang."

Evan tampak termenung, mencoba mengerti semua kata-kata Serra yang terdengar masuk akal. Dalam hati, ia malu, karena orang lain lebih memahaminya daripada dirinya sendiri. Semua orang boleh menyebutnya serakah. Ia memang mencintai Celine, tetapi juga tidak rela melepaskan gadis di hadapannya begitu saja. Namun, pernyataan Serra selanjutnya, membuatnya tak mampu berkutik.

"Gua harap, ini jadi pertemuan terakhir kita, ya, Van."

Apakah ia harus berakhir seperti ini dengan Serra? Dengan cepat, otak Evan bekerja untuk berpikir. "Kenapa? Iya, gua memang salah, tapi apa kita nggak bisa tetap berteman?"

"Nggak," sahut Serra cepat. "Gua beda sama lo. Perasaan yang gua punya, bukan sekadar nostalgia masa lalu. Dan kalo kita tetap berteman, itu cuma nambah-nambahin sakit hati gua ke lo."

Gadis itu menuturkan semuanya dengan tegas, sehingga Evan tidak punya pilihan lain untuk setuju. Selang beberapa detik, Serra kembali membuka suara sambil merogoh dompetnya, "Kayaknya nggak ada lagi yang harus diomongin. Kalo gitu, gua permisi." Lantas, ia meletakkan beberapa lembar uang seharga pesanannya yang bahkan tidak sempat disentuh di atas meja, mengabaikan Evan yang masih berusaha memanggilnya.

Hatinya sesak jika harus berlama-lama dengan laki-laki itu. Kakinya melangkah cepat, entah ke mana, yang pasti ia harus segera menjauh restoran itu. Baru setelah menemukan tempat yang sepi, ia berjongkok sambil menyembunyikan wajahnya. Kakinya lelah berjalan, hatinya juga lelah menampung segala emosi beberapa waktu lalu.

Ia memang bertekad untuk tidak menangisi laki-laki seperti Evan, tetapi ia gagal. Air mata yang sejak tadi ditahannya agar terlihat tegar di depan laki-laki itu, akhirnya tumpah juga. Kepalanya yang tertunduk, mulai bergetar, tanda ia mulai terisak. Biarlah ia menangis sejadi-jadinya hari ini. Ia janji, ini yang pertama dan terakhir. Ia janji.

Garis Romansa [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang