Beberapa saat lalu, Evan menerima beberapa formulir pembukaan rekening dari tim Marketing. Ia sedang fokus menyamakan data yang diisi pada lembar tersebut dengan informasi yang dilampirkan di fotokopi KTP nasabah. Sesekali, ia menandai dengan pensil apabila ada tanda tangan yang berbeda antara formulir dengan kartu identitas, tanpa dilengkapi dengan surat pernyataan yang berisi bahwa nasabah memang telah berganti tanda tangan, alias tidak sesuai dengan yang ada di KTP.
Bunyi pintu ruangan yang diketuk pelan, membuat perhatiannya teralihkan.
"Permisi, Pak, tadi ada ojek online antar ini buat Bapak," ucap seorang office boy begitu membuka pintu, membawa sesuatu yang dilapisi kantong plastik putih.
Evan mengambilnya sambil menebak. Kelihatannya sebuah kotak berisi makanan karena terasa hangat di bagian bawah. "Oh, dari siapa, Mas?"
"Wah, saya kurang tau, Pak. Lupa nanya juga tadi sama driver-nya."
Apa dari Serra? Gadis itu memang pernah satu kali mengirimkan makanan ke kantornya seperti ini. Atau mungkin saja ia sedang mencoba resep baru dari buku yang pernah ia beli ketika mereka pergi ke toko buku bersama. Tanpa sadar, seulas senyum terbentuk di wajahnya. “Ya udah, makasih, ya, Mas."
Sang office boy meninggalkan ruangan, sementara Evan mulai membuka plastik itu dan menemukan sebuah kotak makan yang dikenalnya, disertai catatan kecil.
Hi, I just came back yesterday, dan pagi ini langsung kepikiran untuk masakin nasi plus cumi cabe ijo kesukaan kamu. Jangan sampe telat makan, ya!
Anyway, are you free tonight? Aku pengen ketemu kamu. Bisa atau nggak, please, let me know. Selamat makan, Sayang.
-Cel-
Evan tertegun. Celine telah kembali. Kekasihnya, bukan, tunangannya telah kembali. Reaksi normal pasangan pada umumnya adalah bahagia bukan kepalang, berharap waktu bergerak dengan cepat agar bisa menemui sang belahan jiwa. Namun, Evan hanya diam. Wajahnya yang tak menunjukkan ekspresi, selaras dengan hatinya yang tidak merasakan apa-apa. Jelas ada yang salah dengan dirinya. Ia sendiri yang merasa keberatan ketika Celine ingin memberi jarak pada hubungan mereka untuk sementara waktu. Ia berharap kekasihnya berubah pikiran dan tetap bersamanya di sini. Lantas, sejak kapan harapan itu sirna?
***
Pada akhirnya, di sinilah ia, duduk berhadapan dengan seseorang yang tidak ditemuinya selama sebulan terakhir, di sebuah restoran kesukaan mereka yang terdapat di dalam mall. Hidangan sudah tersedia, tetapi tak satupun dari mereka yang menyentuhnya. Evan mengamati Celine dengan teliti. Tidak banyak yang berubah selain potongan rambutnya yang lebih pendek dari terakhir kali mereka bertemu. Ia merindukan gadis itu, tentu saja. Namun, bukan rasa rindu yang menggebu-gebu. Ah, bagaimana cara menjelaskannya? Evan sendiri tidak mengerti dengan apa yang ia rasakan saat ini.
“Kamu… apa kabar?” tanya Celine, berusaha mengisi kecanggungan di antara mereka.
“Baik,” Evan memang merasa keadaannya baik, bahkan lebih dari sekedar baik-baik saja. “Kamu sendiri?”
Celine tersenyum hangat. “Jauh lebih baik setelah ketemu kamu.”
Alih-alih menanyakan tentang kelas desain yang gadis itu ambil selama di Paris, Evan langsung menuju ke topik utama pembicaraan malam ini. "Jadi, gimana? Udah berhasil mengatasi keraguan kamu soal kita?"
Masih dengan memasang senyumnya yang manis, Celine mengangguk. "Selama di sana, aku banyak bertanya sama diri aku sendiri, tentang perasaan aku, tentang kamu, tentang kita. Apa yang udah kita jalanin selama ini, waktu yang kita habiskan bersama, membuat aku semakin yakin, bahwa aku mau menjalani hidup yang seperti itu, sama kamu, sampai kita tua. Nggak, nggak cuma sampai tua, tapi seumur hidup. Now, I'm sure that you're the one."
Gadis itu menghela napas sejenak, rautnya berubah sedih, menatap kekasihnya dengan sungguh. "Maaf, ya, aku egois karena membuat kamu menunggu nggak jelas. Aku—"
"It's okay." Evan menggenggam kedua tangan Celine di atas meja, membelainya halus dengan ibu jari. "Nggak apa-apa. Aku ngerti sama keraguan kamu." Karena sekarang ia juga sedang merasakannya. "Kita lupain aja yang kemarin. Sekarang, kita fokus untuk melanjutkan persiapan nikah, ya," lanjut Evan lagi.
Disambut dengan anggukan senang dari gadis di hadapannya, dilanjutkan dengan menikmati makan malam, sembari diiringi cerita seputar kegiatan satu sama lain selama tidak bertemu. Tentu saja tidak semua hal yang terjadi selama sebulan terakhir Evan ceritakan pada Celine. Ia hanya mengangkat topik tentang pekerjaannya saja. Tentang karyawan magang yang salah menginput nominal setoran dengan jumlah yang cukup besar, tentang rencana sang atasan yang ingin memindahkannya ke kantor cabang lain yang lebih ramai karena ia dianggap mampu, tentang nasabah yang mengamuk karena telah ditipu oleh online shop bodong dengan mengirimkan sejumlah uang, tentang apa saja, kecuali pertemuannya dengan seseorang bernama Serra.
Ya, sebenarnya Celine tahu bahwa ia menemui Serra untuk kepentingan acara ulang tahun pernikahan orangtuanya, karena Celine yang memberikannya nomor gadis itu, sebagai Wedding Sales di hotel Capella. Namun, tunangannya itu sama sekali tidak tahu kenyataan bahwa mereka saling kenal, bahkan pernah punya hubungan yang cukup dekat ketika masih bersekolah.
Saat itu, Evan punya alasan tersendiri untuk tidak bercerita banyak tentang siapa Serra sebenarnya. Ia tahu akan banyak berhubungan dengan gadis itu, dan ia tidak mau Celine yang memang mudah cemburu berpikir macam-macam, apalagi menjelang hari pernikahan yang sudah semakin dekat.
Laki-laki itu tidak pernah menduga bahwa rahasia kecil yang ia sembunyikan dari tunangannya justru membuatnya leluasa untuk kembali dekat dengan Serra. Awalnya semua terasa wajar. Bertukar pesan dengan teman, pergi makan bersama teman, menonton film bersama teman, mengisi hari libur dengan jalan-jalan bersama teman. Menurut Evan, tidak ada yang aneh dengan kegiatan itu sampai ia mendapat kiriman makan siang tadi dari Celine. Ia punya kekasih, ia punya tunangan, ia adalah calon suami dari seseorang. Melakukan kegiatan-kegiatan tadi berdua saja bersama teman wanitanya, tentu saja bukan hal yang baik.
Lebih parahnya, reaksi laki-laki itu ketika tahu bahwa Celine telah kembali, seakan menyadarkannya bahwa perasaannya telah terbagi. Rasa sayangnya pada Celine tidak sebesar dulu lagi karena kini juga ada orang lain yang ia sayangi. Sungguh, bukan hal yang sulit baginya untuk jatuh hati kembali pada sosok Serra. Gadis itu adalah teman yang menyenangkan, pendengar yang baik, juga seseorang yang bisa membuatnya merasa nyaman.
Ia tahu, perasaannya pada Serra adalah sebuah kesalahan. Di lubuk hatinya yang terdalam, ia merasa menjadi orang yang paling jahat sedunia. Ketika tunangannya sudah bersusah payah meyakinkan hati untuk memilih hidup bersamanya, tetapi yang ia lakukan justru sebaliknya. Maka dari itu, tanpa banyak berpikir, Evan langsung meminta untuk melanjutkan persiapan yang telah mereka mulai, sambil berharap dengan keputusannya ini, hatinya tak semakin goyah lebih jauh. Namun, ia lupa memikirkan bagaimana caranya memberi jarak antara dirinya dan Serra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Garis Romansa [END]
Fiksi Umum[WattpadRomanceID's Reading List - SPOTLIGHT ROMANCE OF DESEMBER 2023] Menjadi dewasa ternyata tidak seenak yang dibayangkan. Tidak hanya memusingkan urusan jenjang karir dan kestabilan finansial, tetapi juga harus menuntaskan persoalan cinta sepert...