"Lee Jeno, bersediakah saudara menikah dengan Lee Haechan yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?"
"Ya, saya bersedia."
"Lee Haechan, bersediakah saudara menikah dengan Lee Jeno yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?"
Haechan terdiam kaku, pertanyaan sakral dari pendeta itu membuatnya sesak napas hingga denyut jantung terdengar di kepalanya bagai lonceng di atasnya.
Susah payah Haechan berusaha menelan salivanya yang enggan turun karena terlalu kering entah mengapa. Kedua mata beruangnya perlahan bergulir menatap sosok di hadapannya yang menggenggam kedua tangannya dengan hangat, disusul usapan pelan seolah menenangkannya.
Kedua mata mereka bertabrakkan dan Haechan jatuh dalam gelapnya kedua mata Jeno. Seolah menatapnya dengan harapan juga kesungguhan.
"Sekali lagi. Lee Haechan, bersediakah saudara menikah dengan Lee Jeno yang hadir di sini dan mencintainya dengan setia seumur hidup baik dalam suka maupun dalam duka?"
Pendeta kembali mengulang pertanyaan sakralnya, membuat Haechan semakin risau takut kalau-kalau ia menghancurkan acara. Tatapan Jeno yang dalam itu masih membuatnya tidak mampu membuka belah bibirnya pun dengan lidahnya yang kelu.
"Ekhem!!"
"Ya, saya bersedia." Entah, Haechan langsung menjawabnya dengan segera begitu mendengar batukan kecil dari kakaknya. Rasa takut karena suara kakaknya mengalahkan semua rasa gugup juga gilanya.
Setelahnya pendeta itu membacakan doa. Haechan tidak begitu fokus mendengarkan, ia masih begitu takut akan apa yang terjadi di masa depannya. Bagaimana jika akan seperti kedua orang tuanya?? Bagaimana jika ia di sakiti namun sudah terikat dalam janji pada Tuhan?? Bagaimana jika-
"Lee Haechan, cincin ini ku berikan pada mu sebagai lambang cinta, kasih, dan kesetiaanku."
Jemarinya seketika bergetar hebat, begitu pula belah bibirnya saat tangan Jeno dengan lembut mulai memasangkan cincin berwarna silver mewah namun sederhana itu di jemari manisnya.
"Lee Haechan-" Panggilan dari pendetanya membuat Haechan beralih menatap pria paruhbaya itu. Entah apa yang di ucapkan, Haechan seperti berada di ruang kosong dengan kepala yang terasa semakin berat.
Menerima pemberian cincin dari sang pendeta, kini Haechan menatap gelisah pada Jeno.
Harus bilang apa?? Bagaimana ini??
"Cincin ini ku berikan pada mu sebagai lambang cinta, kasih, dan kesetiaanku." Bisik pendeta itu dengan tenang bagai sinar matahari di tengah kegelapan badai.
"Le-Lee Jeno,"
Haechan menatap lekat pada Jeno, takut juga gelisahnya membuat ibu jari Jeno semakin mengusapnya sedikit cepat di atas punggung tangannya.
"Ci-cincin ini ku berikan pada mu,"
Jeno sedikit menganggukkan kepalanya seolah bangga dengan apa yang di ucapkannya dengan susah payah. Entah, itu membuat Haechan ingin menangis.
"Sebagai lambang cinta, kasih, dan kesetiaanku."
.
.
.
.
.
.Terdiam terduduk, Haechan meremat kepalan tangannya sendiri. Perlahan sesuatu yang hangat mengalir di atas pipinya.
Kenapa?? Kenapa ia harus menikah di umurnya yang masih muda?? Bagaimana jika akan seperti kedua orang tuanya yang cerai. Bagaimana jika suaminya lebih kejam dan galak dari pada kakaknya?? Bagaimana jika ia dan suaminya tidak cocok??
KAMU SEDANG MEMBACA
Rendición
FanfictionHaechan yang terbiasa harus menuruti segala perintah kakaknya, bertemu dengan jodohnya yang mau menuruti segala keinginannya... "Ini semua aneh." Haechan harem, 21++ (BXB, Incest, Seks, Naked, Kekerasan, Kata Kasar.)