"Te-temen... deket, banget?"
Jaemin kembali mengangguk dengan sedikit kekehan. "Dulu, saya itu adik kelas mas kamu pas SMA. Dulu mas kamu bendahara utama osis, saya sekertarisnya. Kamu masih kecil dulu, masih pendek segini." Jaemin mengulurkan tangannya untuk menggambarkan tinggi badan anak berusia 7 tahun yang masih pendek.
Haechan terkekeh melihatnya, cerita ini seru!
"Dulu, Mas kamu suka nginep di rumah saya, sampe orang tua saya nganggep mas kamu anaknya, saking seringnya."
Haechan terdiam, ia bahkan dulu tidak tahu jika kakaknya sering ke rumah temannya. Dulu ia sedang apa ya?
"Mas kamu hebat loh, keterima kuliah jalur undangan karena nilainya bagus. Saya tau perjuangan mas kamu buat kuliah, dia sampe mohon-mohon ke ayah saya buat kerja part time OB di perusahaan ayah saya loh."
Termenung, Haechan tidak tahu itu....
"Kamu masih SD, kelas 2. Saya inget dulu saya di minta mas kamu buat ambilin rapot kamu soalnya kamu sakit. Kalo ga salah kamu sakit demam sebulanan. Mas kamu baru mulai kuliah."
Haechan tahu itu, dulu ia sempat sakit demam lama sekali sampai di bawa Mark ke rumah sakit. Itu tepat saat kedua orang tuanya bertengkar hebat.
"Mas kamu kuliah, saya udah ga tau lagi kabarnya, dia juga part time cuma 1 tahun habis itu mundur. Eh, sekarang muncul-muncul dah jadi ketua bagian keuangan, itu aja ketemu lagi karena ternyata satu perusahaan sama Jeno."
"Saya sama Jeno itu temen satu kostan dulu, kebetulan kita sama-sama suka main billiard."
Melihat gurunya yang bercerita seru itu membuat Haechan ikut menyunggingkan senyum, sepertinya seru dulu saat gurunya dan suaminya berteman.
"Kita hampir tiap malem main billiard, sampe akhirnya Jeno lulus duluan. Saya ketinggalan dulu buat lulus, karena saya sempet sakit 1 tahun tapi tetep gas main billiard, hehehe."
Haechan ikut terkekeh, pasti seru saat itu! Iya kan? Punya teman, bebas bermain....
"Kamu bisa main billiard?" Tanya Jaemin disusul Haechan yang menggeleng pelan, masih dengan senyuman manisnya itu.
"Nanti saya ajak, saya ajarin, kamu harus bisa ngalahin suami kamu, dia dulu cetek mainnya, kalau lawan saya kalah terus."
"Iya pak?"
Jaemin mengangguk membenarkan, "Dia tuh ga sabaran, agak grusak grusuk orangnya. Apalagi kalo udah kebawa emosi, tekadnya jadi makin bagus tapi kurang bisa bawa diri buat tenang."
Atas ujaran Jaemin, Haechan kembali terdiam. Oh, apa suaminya itu benar-benar marah sampai terbawa emosi? Bukankah ini pertanda bahaya? Apakah suaminya ada kemungkinan berperilaku kasar seperti kakaknya?
Puk!
Sedikit terkejut karena Jaemin menepuk pahanya dengan lembut.
"Dia emang grusak grusuk tapi gak lama kok, dia kalo mutusin sesuatu tuh di pikirin lama-lama jadi, sabar ya?" Ucap Jaemin seolah tahu apa yang ada di pikiran Haechan. Entahlah, sudah berapa kali gurunya ini tahu isi pikirannya.
Apa perlu ia bertanya tentang ini?
Seperti nya iya.
"Bapak bisa baca pikiran orang ya?"
Ujaran polos tiba-tiba itu membuat Jaemin tertawa keras, disambut tatapan heran oleh Haechan dengan mata bulatnya.
"Saya gak bisa baca pikiran orang, tapi wajah kamu gampang dibaca kalo kamu lagi mikir."
Haechan merengut, apa raut wajahnya terlalu mudah terbaca?
"Udah udah, pokoknya kita agendakan main billiard ya? Saya ajarin sampe kamu bisa, oke?" Jaemin tersenyum melihat anak didiknya yang hanya menatapnya dengan tatapan bulat, lalu kepala itu mengangguk membuat rambut yang halus itu bergerak lamban.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rendición
FanfictionHaechan yang terbiasa harus menuruti segala perintah kakaknya, bertemu dengan jodohnya yang mau menuruti segala keinginannya... "Ini semua aneh." Haechan harem, 21++ (BXB, Incest, Seks, Naked, Kekerasan, Kata Kasar.)