Haechan membuka kedua matanya dengan susah payah dan disusul rasa pusing yang benar-benar membuatnya mual. Kepalanya sakit begitupun dengan bagian bawahnya. Lubang, perut bagian bawah, pinggul, hingga punggungnya, semua benar-benar sakit.
Tangannya meraba kesebelahnya, seharusnya sang suami ada di sampingnya bukan tapi, nyatanya tidak ada. Ah, di tinggal?? Sama saja seperti kakaknya setelah melakukannya pasti selalu meninggalkannya begitu saja.
Menarik selimut untuk menutupi kepalanya berharap rasa dingin yang membuatnya mengigil juga rasa pusing dan sakit di kepalanya menghilang. Tidak memperdulikan jam berapa, Haechan milih untuk kembali tertidur.
.
.
.Haechan berlari dengan semangat di padang rumput itu. Terasa sangat halus dan menenangkan. Tapi perlahan, ia merasakan tangan kirinya seperti di paksa menggenggam sebuah bola bulu yang sangat besar sekali. Bahkan tangan kirinya sama sekali tidak bisa menggenggam bola bulu halus itu.
Sementara tangan kanannya di paksa untuk menggenggam bola bulu yang sangat kecil hingga ia hanya bisa merasakan seperti butiran debu.
Perasaan aneh muncul karena ia harus menggenggam bola bulu halus itu dengan ukuran yang sangat berbeda. Lalu langit di atasnya tampak berjalan dengan cepat. Dari terbenam hingga terbit.
Tunggu, ini kenapa??
"Haechan, sayang, bangun yuk."
Itu suara...
Siapa??
Oh, itu suara Jeno!
Haechan berusaha mencari keberadaan Jeno di padang rumput itu namun, setengah dari penglihatannya terhalang oleh bola bulu halus itu.
Tiba-tiba saja rasa dingin sejuk terasa di dahinya, lalu ke pipinya dan rahangnya, begitu menyenangkan dan menenangkan. Rasa dingin itu bagai surga.
Sementara itu Jeno menatap Haechan yang masih terus tertidur itu dengan rasa panik. Suhu tubuh Haechan sangat panas bukan main dan istri mungilnya itu tidak kunjung membuka kedua matanya.
"Sayang, Haechan. Ayo bangun dulu yuk." Pipi gembul Haechan ia tepuk pelan, mengajak istrinya untuk bangun ke dunia nyata. Setidaknya harus makan dahulu dan meminum obat penurun panas agar ia tidak ketakutan seperti sekarang.
Jangan sampai ia akan di bunuh oleh kakaknya dari si istrinya ini.
"Haechan, please." Jeno mendekatkan wajahnya untuk mengecup pipi juga kedua mata Haechan, kedua tangannya sudah memeluk dan sedikit mengguncangkan tubuh panas terbalut selimut itu.
Haechan yang tergoncang membuatnya mau tidak mau akhirnya membuka kedua matanya. Disusul rasa terkejutnya karena Jeno, suaminya yang menatapnya dengan mata berair.
Dia kenapa??
"Sayang, aku minta maaf ya. Aku minta maaf."
Mengerutkan dahinya, Haechan justru salah fokus karena tangan Jeno yang sangat dingin menyentuh pipi juga dahinya. Apakah, suaminya ini adalah drakula?? Kenapa dingin sekali??
"Kamu bisa nolak kalo gak mau sayang, maaf aku gak dengerin kamu sampe kamu demam gini." Ucap Jeno sembari mengecup pipinya berkali-kali penuh penyesalan.
"Kamu mau mandi?? Makan dulu ya?? Aku udah masak, nanti kamu minum obat terus tidur lagi biar turun panasnya, ya??"
Haechan terdiam, masih begitu linglung juga otaknya mencerna semua pertanyaan Jeno.
"Mau aku gendong?? Atau mau sendiri?? Kamu bisa jalan??"
Lagi, kebingungan. Fokusnya masih pada dinginnya tangan sang suami. Tapi jika di lihat bibirnya, bibir Jeno ini tidak pucat, hanya saja sedikit kering.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rendición
FanfictionHaechan yang terbiasa harus menuruti segala perintah kakaknya, bertemu dengan jodohnya yang mau menuruti segala keinginannya... "Ini semua aneh." Haechan harem, 21++ (BXB, Incest, Seks, Naked, Kekerasan, Kata Kasar.)