"Kak.."
Haechan memanggil Jeno yang sedang memasak sarapan, sejak kemarin berdebat tentang kuliah itu suaminya hanya diam tidak berbicara dengannya sama sekali. Haechan jadi bingung.
"Kamu duduk di kursi, jangan deket-deket kompor." Ucap Jeno dengan dingin membuat Haechan menurut menjauhi kompor dan berdiri di dekat suaminya, enggan duduk di kursi.
"Kak, kakak marah?" Tanya Haechan dengan pelan, berharap Jeno menjawab seperti Mark yang jika marah akan sangat terlihat. Tidak seperti ini, ini membingungkan.
"Engga."
Haechan terdiam, Jeno bilang tidak marah, tapi kenapa tidak ada senyuman? Kemana suara lembut suaminya?
"Duduk di kursi, nurut."
Segera, Haechan langsung menjauh dari Jeno untuk duduk di kursi makannya. Menatap tubuh tegap Jeno yang menyiapkan sarapan mereka di meja makan.
Memperhatikan suaminya dengan serius. Haechan yakin suaminya marah, tapi kenapa tadi menjawab tidak? Jika tidak marah harusnya tersenyum bukan? Kenapa hanya ada wajah datar dan tidak mau menatapnya?
Apa ia di bohongi?
"Kakak?" Panggil Haechan lagi berharap ada jawaban 'hm' seperti biasa yang menbuatnya merasa senang. Tapi Jeno hanya acuh membuat Haechan kembali terdiam.
Mereka pun memakan sarapannya dengan sunyi. Haechan sebenarnya biasa saja tapi, wajah masam suaminya membuat Haechan tidak nyaman.
"Nanti adek yang cuci pir-"
"Ga usah, nanti tangan kamu kasar."
Haechan terdiam, benar-benar mengerikan Jeno jika marah seperti ini. Ya, walau marahnya sang kakak jauh mengerikan, tapi jika marahnya hanya diam seperti ini membuat Haechan bingung!
Jika Mark marah akan meledak-ledak, melempar barang, menampar hingga memukulnya tapi setidaknya Haechan tahu jika kakaknya sedang marah. Tapi jika seperti ini?
Bingung.
AAAA BINGUNG SEKALI!!
Hingga akhirnya Jeno berangkat kerja pun, suaminya itu masih terdiam. Jeno memang masih mencium keningnya tapi tatapan datar dengan aura suram itu mengerikan. Haechan jadi bingung sendiri sekarang.
Ting
Tong!
Haechan membuka pintunya, di susul gurunya yang tersenyum itu. "Selamat pagi, siap belajar akuntansi?" Tanya Jaemin membuat Haechan hanya mengangguk kaku.
Seperti biasanya, mereka berada di ruang tamu. Haechan sama sekali tidak fokus pada soalnya, apa ia sebaiknya tidak kuliah saja seperti keinginan suaminya?
Tapi jika kakaknya marah dan menceraikannya dengan Jeno bagaimana?
"Haechan,"
Panggilan Jaemin membuat Haechan mendongak menatap gurunya. "Ya pak?" Tanya nya.
"Kamu masih kepikiran tentang kemaren ya?" Tanya Jaemin sembari meraih bahu anak didiknya itu. Ayolah, snagat terlihat anak ini sedang banyak pikiran.
Haechan terdiam, tidak menjawab iya atau tidak.
"Saya, sebagai guru, lebih nganjurin kamu buat kuliah. Saya gak mihak kakak kamu atau suami kamu, tapi ini pandangan saya sebagai guru juga Na Jaemin."
"Denger, Haechan. Umur kamu masih 16 tahun, kamu emang seharusnya masih belajar. Saya gak tau kenapa kamu sampai menikah, saya juga gak berhak tau, tapi saya cuma mau nyaranin kamu buat kuliah. Umur kamu yang masih tergolong masih muda itu bagus sekali buat belajar lebih banyak lagi hal di luar sana." Ucap Jaemin membuat Haechan termenung.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rendición
FanficHaechan yang terbiasa harus menuruti segala perintah kakaknya, bertemu dengan jodohnya yang mau menuruti segala keinginannya... "Ini semua aneh." Haechan harem, 21++ (BXB, Incest, Seks, Naked, Kekerasan, Kata Kasar.)