Haechan bergerak gelisah, pun dengan Jeno yang semakin gencar merangsang tubuhnya. Kecupan, lumatan di lehernya membuat Haechan semakin riuh akan perdebatan di dalam kepalanya.
Sangat ingin menolak, mengingat ia masih terhitung 2 minggu setelah aborsi. Tapi Haechan kembali teringat dengan ucapan kakaknya sebelum di bawa pulang ke apart milik Jeno ini.
'Harus nurut sama Suami, karena adek sekarang tanggung jawab Jeno. Jadi istri baik, harus yang nurut.' Begitu katanya.
Oh, sepertinya ia harus membicarakan hal ini jika ia tidak mau sekarang. Setidaknya beri ia waktu 1 minggu lagi karena ia jika kelelahan saja seperti hari ini perutnya masih suka terasa sakit.
Hey, aborsi itu menyakitkan.
"Ka-kak."
"Hm???" Jeno bertanya dengan suara serak dan beratnya. Hanya bergunam dan kembali melanjutkan acara menjilati leher hingga daun telinganya.
Dan itu membuatnya kewalahan.
"Ahhh, nghhhh." Kedua kaki Haechan melemas bagai jelly. Jika saja Jeno tidak memeluknya erat, mungkin ia sudah tidak berdaya di atas lantai.
"Kak, adek capekhh bolehh jangan sekarang gakkhh aahh~" Haechan bertanya susah payah, kedua matanya sudah mulai terpejam merasakan gejolak yang di berikan Jeno.
"Ini yang kakak tunggu-tunggu sayang, udah gak kuath."
Jawaban suaminya dengan nada syarat akan nafsu itu membuat Haechan bingung. Apa, jika ia menolak perintah suaminya, ia akan mendapatkan dosa??
"Aaahhhh," Haechan kembali mendesah lirih. Permainan mulut Jeno benar-benar membuatnya terjun. Ikatan pada baju handuknya sudah terbuka, dapat dirasa jemari hangat Jeno mulai meraba perutnya.
Kolose 3 ayat 18.
Ck.
Haechan berdecak kesal dalam hati. Perintah kakaknya sudah siap untuk ia langgar namun tiba-tiba teringat ayat itu. Tapi, bukan kah Tuhan adil?? Seharusnya ada ayat lain yang mengatakan hak di pihak istri?? Kenapa juga di saat seperti ini ia mendadak menjadi anak Tuhan?
Berusaha mengingat tetapi Haechan sama sekali tidak bisa fokus. Tangan besar suaminya sudah meremas nikmat dadanya. Sial.
"Ngghhh." Haechan menyandarkan seluruh berat tubuhnya pada Jeno. Kedua tangannya berpegang kuat pada tangan Jeno yang lain agar tidak terjatuh.
"Suara kamu bagus, aku suka."
Arrrgghhhh!!
Dalam hati, Haechan mengerang kesal juga frustasi. Satu sisi sangat ingin menolak tapi satu sisi ia takut jika melanggar petuah dari kakaknya juga Tuhan. Bagaimana jika Jeno melaporkan pada Kakaknya jika ia menolak? Apa ia akan di marahi?? Apa ia akan di lempar vas bunga lagi??
Hey, ternyata ia lebih takut pada kakaknya ketimbang pada Tuhan.
"Ah!" Haechan sedikit terkejut saat Jeno dengan sengaja menabrakkan pinggulnya ke belah pantatnya.
"Kerasa gak?? Udah gak tahan,"
Provokatif.
Segera, Haechan menganggukkan kepalanya beberapa kali. Napasnya masih terengah kesusahan.
"Kak, pelan ya??" Keputusan yang Haechan ambil. Haechan menatap suaminya dengan tatapan memohon juga ketakutannya begitu Jeno membalikkan tubuhnya agar mereka saling berhadapan. Membiarkan Haechan sedikit bertumpu pada meja rias di belakangnya.
"Pasti sayang, aku bakal pelan." Bisik Jeno dengan tatapan lembut disusul sang suami yang mendekatkan wajahnya. Paham, Haechan memejamkan kedua matanya dan merasakan belah bibir Jeno menyapa bibirnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rendición
FanfictionHaechan yang terbiasa harus menuruti segala perintah kakaknya, bertemu dengan jodohnya yang mau menuruti segala keinginannya... "Ini semua aneh." Haechan harem, 21++ (BXB, Incest, Seks, Naked, Kekerasan, Kata Kasar.)