Bab 8 : Soal dan Sejarahnya

32 7 3
                                    

Istirahat kali ini begitu tentram bagi Jenna. Karena tidak ada lagi Alfano yang mengganggunya. Entah cowok itu pergi ke mana. Setelah kejadian kejar-kejaran tadi, Alfan menghilang begitu saja. Di mata Jenna sekarang, Alfan itu cowok yang tidak bertanggung jawab. Buktinya ia meninggalkan Jenna sendiri mengerjakan hukuman. Padahal cowok itu sendiri yang mengusulkan hukumannya.

Setelah selesai memakan semangkuk bakso dan segelas es teh, cewek dengan gaya rambut kuncir kuda itu memutuskan untuk kembali ke kelas. Tentu saja masih bersama Karin sahabatnya.

Saat sampai di kelas, mata Jenna memicing melihat Alfan yang sudah berada di tempat duduknya. Jenna pun ikut duduk, tepat di depan Alfan yang masih diam. Tidak biasanya Alfan diam seperti itu.

Duk.

Jenna diam, mungkin Alfan tak sengaja menyenggol bangkunya.

Duk.

Untuk kedua kalinya, Jenna masih memaklumi.

Duk.

"Lo bisa diem gak sih?" Untuk yang ketiga kalinya itu Jenna mulai terusik.

Alfan tersadar akan suara Jenna. Cowok itu seperti, terkejut?

"Sorry, gue gak sengaja," ujarnya pelan.

"Gak sengaja tapi sampe tiga kali," cibir Jenna.

"Iya deh, maaf," ujar Alfan sekali lagi.

Jenna tak menggubris lagi, cewek itu lebih memilih untuk mengeluarkan buku dari dalam tas. Karena guru mata pelajaran sejarah sudah datang.

Harusnya selama pelajaran sejarah Alfan fokus seperti biasa. Disaat yang lain mengantuk, harusnya Alfan yang paling sering bertanya. Tapi ini tidak, pikirannya berkelana ke mana-mana. Mengingat kejadian tadi pagi yang berhasil membuat darahnya mendidih.

Setelah keluar dari pintu toilet, harusnya Alfan kembali ke taman belakang sekolah untuk meneruskan hukumannya. Tapi di perjalanan, Alfan tidak sengaja berpapasan dengan dua orang yang akhir-akhir ini mengganggu pikirannya.
"Alfan." panggil David.

"Papa mau ngomong sebentar sama kamu."

Alfan hanya diam dan mengikuti punggung dua orang itu dari belakang. Ternyata David mengajaknya ke rooftop. Di sana terlihat sangat sepi.

"Mau ngomong apa, Pa?"

"Papa gak tau harus mulai dari mana" ujar David.

"Biar Varo aja yang ngomong, Pa."

Alfan menoleh bergantian ke arah dua orang yang berada di depannya. Ia masih menunggu apa yang ingin Papanya sampaikan. Walau ia sudah tau arah pembahasannya akan ke mana.

"Alfano, ya? Nama yang hampir mirip sama nama gue. Sebelumnya kita belum kenalan secara resmi," ujar Varo seraya mengulurkan tangannya.

"To the point." tegas Alfan.

Varo menyunggingkan senyumnya. Lalu menarik tangannya kembali.

"Gue minta lo kasih izin Papa lo, ralat–"

"Maksudnya Papa gue juga, buat nikahin Mama gue."

Deg.

Apa-apaan ini. Bahkan Mama-nya masih terbaring di rumah sakit. Bagaimana perasaan Priska nanti saat bangun dan tahu kalau suaminya menikah lagi.

"Papa gak inget Mama?" tanya Alfan. Sorot matanya kini tepat pada manik David yang juga menatapnya.

"Mama masih terbaring loh di rumah sakit. Harusnya Papa bisa ngertiin perasaan Mama juga."

ALL ABOUT ALFANOTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang