Hari ini adalah hari Minggu. Hari dimana semua manusia bisa beristirahat dari pekerjaannya, entah dengan tidur seharian, pergi keluar, atau berdiam diri di taman menunggu sunset tiba seperti yang dilakukan Sandra sore ini.
Sandra tengah menikmati sisa-sisa hari liburnya dengan duduk seorang diri di kursi yang ada taman komplek rumahnya. Duduk di kursi besi panjang yang berada tepat di bawah pohon rindang.
Netra ambernya menatap pemandangan hambaran bunga matahari yang tidak jauh dari tempatnya duduk. Semilir angin yang berhembus menerpa wajah dan tubuh Sandra terasa sangat sejuk. Rambutnya yang tergerai bebas berkibar-kibar mengikuti arah angin.
Suasana disekitarnya sangat ramai dengan hiruk pikuk penjual makanan yang menjajakan jualannya, serta pembeli yang saling serobot demi mendapatkan antrian pertama.
Suara kicau burung yang bertengger di dahan pohon bagaikan simponie merdu dari alam. Dan, semburat jingga di ufuk barat begitu indah memanjakan matanya.
Dulu, suasana seperti ini yang ingin sekali Sandra rasakan saat masih menjadi Nessa. Namun, sampai matipun ia tidak bisa merasakan hal tersebut. Yang ia nikmati di setiap harinya hanyalah suara jeritan manusia yang memohon kematiannya dan juga genangan darah kental di lantai keramik.
"HAHAHA." Tiba-tiba Sandra tertawa keras.
Sandra menertawakan nasibnya yang berbeda dengan manusia biasa. Ia tidak ditakdirkan menjadi manusia, melainkan sebagai mesin pembunuh. Dididik keras oleh kakeknya yang merupakan pemimpin dari mafia kejam di negara asalnya. Masa kecilnya ia habiskan dengan berlatih segala jenis senjata dan bela diri.
Kakeknya berkata bahwa dirinya akan menjadi perempuan kuat yang tidak akan pernah tumbang. Omong kosong! Tidak tumbang apanya?! Buktinya dia bisa mati karena satu tembakan peluru. Konyol! Sia-sia dia berlatih bertahun-tahun.
"Gak terima gue mati di tangan bajingan Rio."
Sandra menghela nafas dalam-dalam. Badannya disandarkan pada sandaran kursi. Kepalanya mendongak menatap langit berwarna jingga yang terlihat memuaskan di mata Sandra.
"Pasti sekarang Rio lagi kesenangan karena mikir berhasil bunuh gue, ya walaupun gak beneran mati," gumam Sandra.
Senyum miring terbit di bibir Sandra, lalu detik berikutnya ia kembali tertawa, namun kali ini tawa lirih yang terdengar. Walau begitu, semakin lirih tawanya, maka semakin kejam juga pemikiran di otaknya.
"Gakpapa. Bahagia aja dulu, Rio. Karena setelah itu sisa hidup lo isinya cuma penyiksaan dari gue."
Apa saja yang akan ia lakukan terhadap Rio sudah tersusun rapi di otaknya. Dari rambut hingga ujung jempol kakinya tidak akan terlewatkan dari siksaan kejam yang akan Sandra berikan.
"Huh, gue gak sabar denger jeritannya Rio," lirik Sandra.
"Kakak gila ya?" Pertanyaan dari seorang anak kecil laki-laki yang tiba-tiba datang membuat Sandra membelak kaget dengan mata melotot.
Sandra menatap tajam anak kecil laki-laki yang usianya mungkin baru 10 tahun itu yang juga sedang menatapnya polos bagai orang yang tidak pernah punya salah.
"Siapa yang lo bilang gila?"
"Kakak lah. Emang disini ada orang lain selain Kakak?"
Sandra menoleh ke kiri-kanan, dan benar saja hanya dia dan anak itu yang terisa disana.
Tidak ada lagi keramaian manusia yang terlihat. Keadaan taman menjadi sunyi senyap. Bahkan suara kicau burung tidak lagi terdengar, beralih dengan suara jangkrik yang mengisi kesunyian taman.
Semburat jingga pun telah menghilang dari pandangan. Bulatan matahari benar-benar sembunyi dan wajahnya menghilang dari ufuk langit.
Sandra mengalihkan atensinya pada anak kecil itu. Ditatapnya anak kecil yang berdiri tegak di depannya tanpa rasa takut, bahkan lebih terlihat seperti menantangnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Girl
Teen Fiction"Hidup gue gak jauh-jauh dari peran antagonis." Arlene Vanessa Xientania ---- Jiwa antagonis masuk ke raga antagonis juga? Itulah yang dialami Nessa setelah terbangun dari kematian. Nessa, gadis yang ditakdirkan sebagai seorang penjahat, pembunuh, d...