Waktu berjalan dengan cepat. Terhitung dua minggu sudah berlalu semenjak orang tua Sandra berpamitan akan pergi ke London untuk menjenguk Darren. Kemarin sore, David dan Sarah sudah kembali lagi ke Indonesia, dan pagi tadi mereka sudah mulai beraktivitas seperti biasanya.
Hari berganti malam, dan malam ini Sandra tengah berada di dalam ruang kerja David, papanya. Gadis itu duduk terdiam kaku di hadapan David yang menatapnya datar. Manik mata David menghunus tajam serta penuh selidik ke arah wajah Sandra.
"Bisa kamu jelasin apa yang terjadi disini selama Papa dan Mama di London, San?" Suara berat David memecah kesunyian di ruangan itu.
Sesaat Sandra terdiam bingung sambil memiringkan kepalanya, sebelum akhirnya ia membuka suaranya. "Jelasin apa, Pa? Perasaan gak terjadi apa-apa deh disini," jawabnya.
David menaikan satu alisnya ke atas dengan sorot ketidakpercayaan di matanya yang memicing. "Jangan berbohong! Lalu ini apa, Sandra?" Pria itu meletakkan lalu menunjuk setumpuk kertas yang dia ambil dalam laci ke atas meja, tepat di depan Sandra.
Pandangan Sandra segera mengikuti arah telunjuk sang ayah, lalu dia berkata, "Itu kertas."
Yak!
Tidak salah dan tidak benar juga, sih.
Yang ditunjuk David memang kertas dan juga pertanyaan yang diajukan memang terdengar cukup aneh, jadi wajar saja jika Sandra menjawabnya seperti itu.
Mendengar jawaban putrinya, David hanya mampu menarik nafas dalam-dalam sembari bibirnya mengumbar senyum lebar hingga membuat matanya ikut menyipit.
Untung saja kesabarannya seluas samudera. Coba jika kesabaran setipis tisu dibagi dua lalu dibasahkan dengan air, sudah pasti Sandra, putri satu-satunya itu akan ia kubur hidup-hidup.
Bercanda!
Mana mungkin David berani melakukannya, yang ada nanti dirinyalah yang dikebiri oleh istrinya, Sarah.
"Astaga, Sandra! Bukan itu yang Papa maksud," seru David dengan tangan meremat kertas di genggamannya, sehingga membuat kertas itu menjadi sedikit kusut. David gemas sekaligus geregetan dengan tingkah Sandra saat ini.
"Loh, terus apaan dong, Pa?"
"Yang Papa maksud itu tulisan yang ada di kertas ini." David kembali menunjuk kertas didepan Sandra sekilas, lalu beralih mengambil dan mengayunkannya tepat di depan wajah Sandra. "Ini laporan keuangan yang Papa dapat dari asisten Papa. Disini tertulis kalau kamu habis pakai uang 10 milyar dalam sehari," sambungnya.
"Ya, terus kenapa, Papaaaa?" Sandra ikut geregetan. "Itu kan cuma 10 milyar. Lagian uang segitu gak akan bikin Papa miskin kok. Ya, kali Papa mau marahin aku cuma karena habis pakai uang 10 milyar," serunya dengan bibir memberengut kesal dan pipi yang menggembung lucu.
Ini pertama kalinya Sandra aka Nessa mengeluarkan ekspresi seperti itu. Cukup menggelikan, karena dulu di wajah gadis itu hanya ada ekspresi datar serta dingin, dengan tatapan mata tajam yang membuat siapapun yang bertatapan dengannya bergetar ketakutan.
David menghela nafasnya pelan sebelum kembali bicara. "Papa bukan mau marahin kamu. Dan bener uang 10 milyar gak akan buat keluarga kita miskin, tapi yang Papa pertanyakan sekarang itu, uang segitu banyak kamu gunain buat apa dalam sehari, Sandra?"
Sandra ber-oh ria sesaat, kemudian terkekeh kecil. Ia sudah berburuk sangka, ia kira David memarahinya karena memakai uang keluarga Millano sampai 10 milyar tanpa meminta izin terlebih dahulu. Ternyata oh ternyata, David hanya penasaran uang itu digunakan untuk apa?
"Buat apa?" David mengulang pertanyaannya dengan memasang ekspresi yang begitu serius di wajahnya.
Sandra justru terdiam, belum ada tanda-tanda ingin menjawab pertanyaan ayahnya. Walau begitu David masih setia memasang wajah serius. Saking seriusnya, pria itu bahkan tidak mengkedipkan matanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Villain Girl
Teen Fiction"Hidup gue gak jauh-jauh dari peran antagonis." Arlene Vanessa Xientania ---- Jiwa antagonis masuk ke raga antagonis juga? Itulah yang dialami Nessa setelah terbangun dari kematian. Nessa, gadis yang ditakdirkan sebagai seorang penjahat, pembunuh, d...