|| Day 22 || 675 words ||
| Buat cerita apabila daun bisa menggantikan uang untuk bertransaksi di dunia ini |
| Saya Enggak Tau Ini Genre Apa |
|| Daun Bukan Segalanya, Tapi Segalanya Butuh Daun ||Sudah beberapa dekade Mbak Kun tidak main ke dunia manusia. Malam ini, Mbak Kun kalah taruhan dengan teman satu komplek kuburannya, mengharuskannya keliaran malam-malam seperti masa kejayaannya dulu.
Begitu menemukan penjual sate yang masih beroperasi tengah malam, segera saja Mbak Kun merapikan rambutnya ke depan menutupi wajah dan menata gaun serba putihnya agar terseret di tanah.
"Bang," kikik Mbak Kun, "beli sate seribu tusuk."
Lelucon ini harusnya sudah ketinggalan zaman, tetapi teman-temannya ingin melihat Mbak Kun malu malam ini.
"Bentar, ya, Neng—"
"Mbak Kun."
"Bentar, ya, Mbak Kun," sahut si Abang Sate. "Saya siapkan dulu. Mbak siapkan uangnya juga, mahal lho seribu tusuk."
Mbak Kun mengikik lagi. "Oke, Bang."
Mbak Kun tertatih ke pohon terdekat, hendak mencari daun untuk menipu si Abang Sate. Namun, dia dapati pohon-pohon telah gundul di sekitarnya. Selembar daun kuning pun tak ada.
Mbak Kun terbang ke sana kemari, mencari-cari tumbuhan yang masih berdaun. Tidak ada. Sesemakan sekali pun tak terlihat di mana-mana. Mbak Kun mulai berkeringat dingin, Gimana aku bayarnya, nih ... masa pakai duit sungguhan? Akun bank-ku pasti sudah lama ditutup karena lama tidak dipakai sejak aku mati.
Satu kali, dirinya hanya menemukan dua helai daun kecil bolong-bolong yang tampaknya potek dari pohon jeruk, yang sama botaknya dengan pohon-pohon lain di sini. Bunga-bunga dalam pot sekali pun telah kutung tangkainya seolah seseorang mencabuti semua daunnya.
Beruntung, Mbak Kun menemukan sekeranjang daun salam di dapur rumah seseorang. Namun, dia harus terbang secepat kilat membawa keranjang itu ketika pemilik rumahnya berteriak, "MALIIIING!"
"Nih, Bang." Sambil ngos-ngosan, Mbak Kun menyodori si Abang Sate tiga lembar daun salam. Namun, pria itu hanya memandangi daun di tangan korengan Mbak Kun dan tidak menyambutnya. Nah, pikir Mbak Kun, ini bagian serunya saat dia sadar—
"Kurang, Mbak."
"Hah?" Mbak Kun terpelongo.
"Kurang. Seribu tusuk sate, lho, Mbak. Masa cuma lembar daun salam? Butuh 5 kg daun salam, Mbak."
Anjir, ada apa ini? Mbak Kun ketar-ketir. Keranjang daun salamnya bahkan tidak sampai setengah kilo. Dikeluarkannya dua helai daun jeruk yang tadi dipungutnya di jalan. "K, kalau ini, Bang?"
"Lah, ini receh, Mbak. Tambah parah kurangnya."
Bibir Mbak Kun gemetaran. Diserahkannya sekeranjang daun tadi. "Ya, sudah, seadanya saja, Bang. Nih, segini dapat berapa?"
"30 tusuk. Lontongnya saya kasih gratis, nih."
Mbak Kun mendesah, antara lega dan kecewa. Rupanya zaman sudah berubah. "Makasih, Bang. Tapi kalau dibayar pakai uang kertas, Abang masih terima?"
"Wah, sudah tidak berlaku lagi itu, Mbak." Abang Sate menyerahkan sebungkus sate dan lontong itu ke Mbak Kun. "Mbak orang asing, ya? Atau lama tidak keluar rumah? Zaman sekarang, kita tidak pakai uang kertas atau logam lagi. Sekarang pakai daun, Mbak."
Mbak Kun tercenung pada sekeranjang daun salam yang kini sudah menjadi milik si Abang Sate. Dia merasa berdosa pada pemilik rumah yang disambanginya tadi.
"Omong-omong, kenapa 'Mbak Kun'?" tanya si Abang Sate. "Mbak, 'kan, perempuan. Kenapa bukan 'Mbak-Chan'?"
"Mbak Chanti itu kakak saya, Bang."
Mbak Kun berterima kasih lagi, lalu terbang kembali ke rumah tempatnya merampas daun salam. Diletakkannya bungkusan sate di depan teras, lalu diketuknya pintu keras-keras. Tanpa menunggu si pemilik rumah keluar, Mbak Kun kabur pohon terdekat, lalu menyadari bahwa dirinya tak lagi tersembunyi karena dedaunan telah tiada di dahan-dahan—kini mereka berada di dalam dompet.
Mbak Kun berpindah ke balik tiang lampu jalan, memperhatikan sementara seorang perempuan keluar dari rumah yang disambanginya. Perempuan itu mengambil bungkusan sate dengan bingung sampai suaminya menyusul keluar.
"Dari siapa itu, Bu?"
"Enggak tahu, Pak, tapi ini harganya sama kaya daun kita yang dicolong barusan."
"Syukurlah. Kita makan ini saja. Berarti, malam ini Bapak tidak usah berburu daun lagi, ya, Bu."
Si Ibu mendesah seraya menyusul suaminya ke dalam rumah. "Pak, popok si kecil habis. Sabun dan sampo kita juga tinggal air. Padahal sisa daun kita tinggal empat lembar daun kelor sama sekotak daun kamboja."
"Besok Bapak coba cari pinjaman. Siapa tahu Pak RT masih mau meminjamkan selembar atau dua lembar daun pisang."
Pintu tertutup dan Mbak Kun tak bisa mendengar lagi percakapan mereka. Dia pun terbang pulang ke kompleks kuburannya sambil memandangi semua tanaman yang perlahan layu dan tanah retak-retak, diam-diam bersyukur dia sudah mati dan tak perlu lagi hidup di zaman ini.
Tak lama lagi, mungkin lahan kuburan akan menerima lebih banyak penghuni.
Imagine, harus berkebun dulu se-hektare dan panen daunnya doang buat beli beras dan lauk seminggu ._. Terus se-hektare lagi karena nanak nasinya butuh listrik dan masak ikannya butuh gas dan minyak. Terus se-hektare lagi, karena daun-daun sebelumnya dicolong atau rusak dimamam kambing orang.
Next>>> 23 Juni 2023
'-')/ Pencet bintang di bawah ini takkan bikin jari Anda hilang
KAMU SEDANG MEMBACA
Oracular
RandomKisah-kisah yang entah puitis, humoris, sarkastis, atau optimistis; bercokol di antara enigma dan ambiguitas :.:.: ( ~'-')~ Oracular: 30 Daily Writing Challenge NPC 2019 ( ~'-')~ Oracular: 30 Daily Writing Challenge NPC 2022 ( ~'-')~ Oracular: 30...