Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
"Apakah ada pertanyaan?"
Meski punya, aku tak mengangkat tangan. Begitu pula seisi aula. Di sebelahku, Ed bergerak gelisah, dilema antara hendak bertanya atau mengikuti mayoritas yang diam.
"Aga," bisik Ed seraya menyikut rusukku. Dia menggeser buku catatannya untuk memperlihatkan pertanyaan yang ingin diajukannya. "Tanya, gih."
Aku baru akan mengintip bukunya saat mahasiswa di ujung aula mengangkat tangannya. Dia menanyakan sesuatu yang entah apa karena aku tidak benar-benar menyimak, dan dibalas dengan dosen yang menyalak, "Apakah kamu tidak mendengarkan sepanjang kuliah yang saya berikan?!"
Ini pertama kali aku masuk kuliah umum beliau. Buru-buru kudorong buku catatan Ed dan berbisik, "Bukan tipikal dosen kesukaanku. Silakan tanya sendiri."
Ed kecil di nyali, sedangkan aku kurang di motivasi. Akhirnya, Ed menggunakan trik yang belakangan sering digunakannya ke para dosen: Brainware.
Iya. Kami berdua punya kekuatan super. Namun, kami bukan pahlawan super yang membanting mutan godzilla sampai menghancurkan sebuah gedung dan mendadak menembakkan laser pamungkas saat lampu di dada kostum kami menyala merah. Kami bahkan tidak punya kostum.
Kami hanya korban malapraktik yang memanfaatkan kekuatan ini untuk kebajikan perkuliahan, alias kebaikan nilai kami sendiri. Karena sempat hilang dari peredaran selama beberapa lama gara-gara seorang pria bernama Ra, Ed dan aku harus melakukan segala cara untuk bertahan di belantara kampus. Kekuatan terkutuk ini menjadi satu-satunya jalan keluar.
Sedetik setelah mendapat tatapan maut Ed, bapak dosen yang terhormat mendadak oleng di balik mejanya. Para mahasiswa sempat berdengap—antara tegang menantikan adegan pingsan, dan sedikit harapan kuliah akan dibubarkan lebih cepat.
Si bapak dosen mengerjap, tampak lingung, lalu tiba-tiba membuka kembali slide presentasinya dan menjelaskan kembali materi yang hendak ditanyakan Ed. Seluruh peserta kuliah umum ini kebingungan, tetapi tidak ada seorang pun yang berani berkata-kata. Rupanya bapak dosen ini sudah lumayan tersohor dengan sistem monarkinya.
Sementara Ed mencatat, aku berbisik, "Tidak praktis. Kau bisa saja langsung masuk ke kepalanya dan mencuri semua ilmu S3 yang dia punya."
Ed melirikku sambil mengernyit.
"Kau pasti belum pernah memakai Brainware, ya? Kau tidak bisa sembarangan masuk ke kepala seseorang tanpa membawa pengaruh kepada otakmu sendiri."
Dia mengatakan itu sambil masih fokus pada buku, pena, dan penjelasan dosen. Kemampuan fokus Ed memang semengerikan itu. Dia bisa saja membagi perhatiannya padaku, dosen, teman kuliah di sampingnya, sambil mencamil dengan tangan kiri dan pena di tangan kananya, sementara kakinya melakukan atraksi putar piring—dan semuanya dia lakukan tanpa kehilangan konsenterasi.