Hari Pertama

1.9K 93 1
                                    

PRANGGG.......

Tegang. Satu kata yang cocok menggambarkan rumah itu sekarang. Padahal cuma ada adegan si bunda yang lagi marahin anaknya karena abis pecahin piring. Tapi si bunda ngomelnya gak sudah-sudah. Bukan ngomel kayak ibu-ibu pada umumnya, yang kalau anaknya buat salah bilangnya 'Kan... Kan udah bunda bilang'.

Bukan yang kayak gitu.

Tapi kenanya langsung ke hati, jantung, paru-paru, ginjal. Semuaaa.

"SAKA!!! KAMU KALAU MAU BANTU ITU YANG IKHLAS KENAPA??? PIRINGNYA JADI PECAH GINI LOHH!!!"

"Maafin Saka, bunda. Saka gak sengaja."

Anaknya terus saja menunduk takut sambil memungut pecahan kaca menjadi satu tumpukan di atas serokan. Hal yang paling ia takuti dari bunda, yaitu tatapannya. Bukan bikin jatuh cinta, tapi bikin nyali Saka menciut dan terkena mentalnya.

"Nanti kalau abang-abang kamu lewat bisa luka karena kelakuan kamu ini. Jadi anak kok gak becus banget, mau nyari muka kamu? Gak usah munafik jadi anak itu!"

Nadia gak tau aja tangan Saka udah berdarah. Apalagi kalau bukan karena kena serpihan kaca. Tangannya terlalu gemetar buat mungut kaca doang. Bukan itu saja, bundanya tak tau kalau ada yang tergores lagi selain jarinya.

"Saka gak sengaja bunda, tangan Saka licin karena sabunnya." Cicit Saka. Bukan berniat melawan, tapi ia ingin sesekali menyampaikan kebenaran. Apalagi setelah dikatai bundanya begitu.

"Cepat kamu bersihin ya!! Lain kali ga usah sok mau bantuin segala kalau malah makin buat repot gini. Anak gak tau diri!" Kata bunda, lantas berlalu meninggalkan si bungsu sendiri.

Cusss.....

Tergores lagi. Bukan tangannya. Tapi hatinya. Menambah luka yang memang sudah banyak. Luka kemarin saja belum sembuh, malah bertambah lagi sekarang.

"Hahh padahal niat Saka udah baik, kenapa malah jadi gini." Lirih Saka menatap jarinya yang kotor akibat cairan amis bewarna merah itu.

Saka bangkit, membuang serpihan kaca yang sudah dikumpulkan ke dalam kantong plastik. Kemudian ia berjalan mencari kotak p3k lalu mengobati luka di tangannya.

Selesai mengobati luka, Saka langsung menuju kamarnya yang berada di lantai atas. Ia pun langsung membaringkan tubuh lelahnya di kasur empuk yang tersedia.

Menatap langit-langit kamar yang sama sekali tidak ada menariknya. Mungkin itu hobi Saka sekarang. Merenungkan kejadian-kejadian yang terjadi di rumah.

Saka kadang berpikir, ia tak paham kenapa ia harus terus bertahan dengan perasaan tersiksa dalam keadaan diam? Kapan ia mau melawan bahwa ia tak nyama?

Lupakan. Menghadap sang bunda saja sudah buat ia gemetaran apalagi menyerukan ketidaksukaannya. Mengadu bahwa hatinya penuh luka pun tak mampu. Namun, entah mengapa tak pernah sekalipun ia menyalakan keluarganya. Jauh di lubuk hatinya, ia merasa dirinyalah yang salah sudah lahir di keluarga sempurna ini.

•Cerita Langit•

.
🦋
.

Alarm berdenging memenuhi ruang kamar itu. Nyanyian yang sangat pemilik kamar itu sukai sehingga ia bisa segera bangun setelah mendengar suara itu.

"Hoamm"

Membuka mata dan merenggangkan badannya yang kaku sehabis tak digunakan selama sekitar 8 jam. Ia bangkit menuju kamar mandi yang masih satu ruangan dengan kamarnya.

Tak lama pintu kamar mandi itu kembali terbuka, menyebabkan bau shampo menyeruak ke seisi kamar. Bau itu khas bau seorang Saka Naresh Adyasta. Karena jika kamu mencium baunya, kamu akan langsung tau kalau itu adalah Saka.

Cerita Langit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang