Davian termenung sendirian sambil melihat usaha-usaha para medis mempertahankan adiknya agar tetap berada di dunia yang kejam ini. Semua doa sudah remaja 18 tahun itu panjatkan hanya untuk sang adik. Bukan tega Davian melihat Saka berjuang sendiri di dalam sana. Ia sudah berserah diri, membiarkan sang adik yang memilih jalan selanjutnya. Menyerah atau bertahan.
Setelah pemeriksaan dokter kala Saka pingsan tadi, ia tiba-tiba mengejang hingga Davian kembali panik. Para tenaga medis terpaksa membawa sang adik kembali ke ruang darurat itu.
Satu kata yang Davian ingat sebelum Saka pingsan adalah bunda. Davian tak paham, apakah bundanya mengerti mengenai kondisi Saka atau tidak? Sebegininya kah sang bunda tak menyukai Saka? Entah apa salah anak itu hingga harus merasakan sakit ini.
Davian masih terus memandang pergerakan dokter dan perawat yang kesana kemari mengelilingi Saka. Adiknya kesakitan tapi sang kakak tak bisa melakukan apapun. Saat ini, Davian sangat ingin memeluk tubuh Saka. Menyalurkan kekuatan atau ucapan selamat tinggal jika Saka memutuskan menyerah.
"Bagaimana dok, sudah dosis keempat tapi kondisinya tak kunjung membaik."
Davian ikutan kalang kabut saat mendengar kepanikan di dalam. Ia makin memfokuskan perhatian pada Saka yang belum membaik juga sejak tadi. Davian sangat ingin marah, merutuki semua hal buruk yang menimpa Saka.
"Kita lakukan intubasi!! Tetap terus hangatkan kakinya!" Perintah dokter satu-satunya di dalam.
"Baik dok." Jawab suster serentak.
Nebulizer yang sejak tadi terpasang di wajah Saka mulai dilepas. Dokter memasukkan selang endotrakeal ke dalam mulut Saka hingga ke tenggorokan.
Saka yang berada di ambang kesadaran, merasakan sakitnya alat itu menusuk langsung ke tenggorokannya. Tangan lemasnya menggenggam besi pembatas brangkar untuk menyalurkan rasa sakit.
Setelah posisinya pas, tabung endotrakeal dihubungkan ke sebuah kantong pompa napas sementara atau alat bantu pernapasan berupa ventilator agar oksigen dapat masuk ke paru-paru pasien.
Saka yang merasakan oksigen masuk ke tubuhnya mulai melemah. Ia mulai kehilangan kesadaran. Tangan yang tadi ia genggamkan ke besi juga ikut melemas dan jatuh ke kasur.
'Bunda, maaf.'
Davian yang melihat itu jadi menegang. Ia meremas pinggiran bajunya merasa tertekan melihat kondisi Saka. Rasa ingin memeluk tubuh itu semakin meningkat. Sialan, kenapa selalu saja begini. Di saat kondisi pasien kritis, kenapa keluarga pasien tidak boleh masuk? Persetan dengan peraturan itu yang katanya agar tidak mengganggu para medis. Padahal ia hanya ingin menyentuh sedikit saja tangan Saka, berharap dengan itu sang adik tau kalau ada yang menunggu dirinya.
.
🦋
.
"Dav."Davian tersentak dan tersadar kalau sedang berada di depan pintu icu. Lantas menatap ke sumber suara. Ia melihat sang ayah tak jauh darinya berjalan mendekat dengan tergesa.
"Ayah." Jelas terlihat oleh Davian ayahnya yang terengah-engah. Mungkin sang ayah langsung terbirit pergi ke rumah sakit saat ia menelepon tadi. Davian jadi makin tak enak.
"Gimana Saka?" Tanya Chandra setelah mengatur napasnya.
Gelengan Davian berikan, lantas kembali menunduk. "Dokter belum keluar."
Satu kata itu, membuat Chandra mendudukkan dirinya di samping si sulung. Ia mengelus pundak putranya agar Davian merasa lebih tenang. Ia ingin membuat Davian berpikir semuanya akan baik-baik saja setelah ada dirinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Langit
Teen FictionOrang berekspetasi kalau anak bungsu itu selalu bahagia dan hidup dengan penuh perhatian. Namun, itu tak berlaku untuk Saka. Walau ia anak terakhir dari kembar 3 tak membuatnya bisa melakukan hal sesukanya. Hidup dengan kekangan sang bunda. Saka be...