Masa Lalu

546 47 5
                                    

<Flashback on>

Malam ini, adalah malam yang paling menegangkan untuk suami istri yang baru merasakan punya anak tersebut. Pasalnya, tiba-tiba saja ibu itu mendapati sang putra mengejang disertai nafas tak teratur.

Sebut saja sang putra bernama Adyasta, ibunya bernama Nadia dan ayahnya bernama Chandra. Dengan motor kendaraan satu-satunya dan kecepatan yang tinggi, si kepala keluarga terbirit menuju puskesmas karena paham kondisi putranya yang dibilang tak baik.

Nadia makin mengencangkan pelukan melihat Adyasta kian melemah. Bahkan kesadarannya sudah direnggut oleh waktu. Matanya berair, kepanikan itu tak menutupi rasa takutnya.

Sesampainya di gedung bercat putih itu, Chandra segera berlari masuk meneriaki dokter yang ada. Tanpa menunggu lama, Adyasta segera dimasukkan ke ruang pemeriksaan.

Kini keduanya menunggu dengan takut. Tak ada yang bisa membuat perhatian mereka teralihkan sekarang. Keduanya fokus pada pemikiran masing-masing, entah itu positif atau negatif.

Cklekkk.....

Mendengar suara pintu terbuka, kedua suami istri itu segera mendekat untuk mendapat jawaban kalau sang putra baik-baik saja.

Namun, takdir berkata lain. Bayi yang baru berusia genap tiga bulan itu harus kembali kepangkuan tuhan. Ini adalah takdirnya, tak bisa merasakan pahitnya dunia lebih dari ini.

Nadia jatuh terduduk, mulai berteriak histeris tak terima dengan kepergian putra pertamanya. Ia makin merasa tak becus menjadi seorang ibu. Raungan itu membuat Chandra ikut sakit hati. Tak jauh beda dengan sang istri, Chandra lebih terpukul lagi karena merasa lalai dan naif.

"Paru-paru ananda Adyasta yang memang lemah sejak lahir, ditambah lambatnya penanganan membuatnya semakin parah dan terjadi komplikasi. Apa bapak dan ibu sering memeriksakan kondisi ananda Adyasta?" Tanya dokter itu.

"Kami bukannya orang berada dok. Mau bayar pakai apa jika rutin periksa?" Protes Nadia yang kewarasannya sudah hilang.

"Biaya?! Hahh, saya tidak paham masih ada orang tua yang berpikir demikian. Bukan bermaksud menghakimi, pak, buk. Jika sudah begini, siapa yang menyesal nanti? Maaf saya sudah tak bisa berbuat apa-apa lagi, ini semua kehendak Tuhan. Saya turut berduka dan permisi. Semoga bapak dan ibu diberi ketabahan." Dokter itu hampir mengamuk jika ia tak ingat profesinya. Bisa-bisanya ada orang tua yang mikir uang ketimbang nyawa sang anak.

Pemakaman Adyasta, putra dari Chandra dan Nadia sudah selesai dilaksanakan dengan tangisan yang tak pernah surut. Selepas pulang dari pemakaman, Chandra dan Nadia hanya bisa meratapi kesedihan. Seolah dunia menjadi abu-abu.

"Bun, relain Asta ya? Asta udah gak sakit lagi." Dengan lembut, Chandra mencoba menenangkan sang istri. Hati ibu mana yang tak terluka jika anaknya pergi untuk selamanya?

"Bunda aja gak tau kalau selama ini Asta ngerasain sakit, yah. Orang tua macam apa bunda ini?" Lagi, air mata itu keluar dengan deras. Chandra yang tak tega melihat pemandangan dari wanita yang dicintainya itu segera memeluk tubuhnya.

"Ayahh, sekarang gimana? Asta udah gak ada, kita udah gak punya anak." Racau Nadia dalam pelukan sang suami.

"Tenang bun, semua bakal baik baik aja. Kita masih bisa punya anak lagi." Ucap Chandra enteng. Ia tak tahu kalau itu malah membuat Nadia tak suka.

Betul saja, sang istri dengan segera melepas pelukan dengan paksa. Ia tak menyangka kalimat gampang itu bakal keluar dari mulut suaminya pada saat seperti ini. Setelah melancarkan ketidaksukaannya, Nadia segera bangkit dan pergi dari situ.

Cerita Langit Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang