Enam bulan Saka lewati dengan berbagai kejadian. Tak terasa sekarang ia sudah kelas 12. Bukan tahun buat bersantai lagi, karena ia bakal dihadapi dengan lebih banyak ujian dan praktek.
Waktu banyak terlewat, hal yang Saka rasakan pada tubuhnya juga banyak. Mulai dari selalu kehilangan selera makan yang mengakibatkan berat badannya terus menurun. Beberapa kali muntah darah, sering mimisan disertai pusing. Saka juga mudah kelelahan walau baru melakukan sedikit aktivitas. Ditambah sering sesak napas tiba-tiba, baik setelah melakukan aktivitas maupun hanya diam saja.
Saka sadar gejala yang ia alami selama ini tak bisa disebut ringan. Oleh karena itu ia memutuskan untuk memeriksakan tubuhnya sebelum diketahui orang lain terutama sang ayah yang paling sensitif pada masalah kesehatannya.
"Ini nomor antriannya, adek bisa duduk dulu sambil nunggu ya." Arahan diberikan oleh petugas resepsionis.
"Makasih mbak." Balas Saka.
"Oiya, adek sendiri kesini? Orang tuanya mana? Gak ada yang dampingi." Petugas itu menghentikan langkah Saka dengan paksa.
"Umm, ayah sama bunda sibuk, abang juga pasti sibuk sekarang. Jadi aku meriksa sendiri aja." Jawab Saka dengan gugup. Ia masih belum terbiasa bicara dengan orang umum seperti ini.
"Oh gitu. Ya udah silahkan tunggu di sana ya dek." Suruh perempuan berparas cantik dan berpakaian rapi itu.
Saka hanya mengangguk lantas mendudukkan tubuhnya di kursi tunggu yang telah disediakan.
10 menit lamanya Saka menunggu. Selama itu juga Saka tenggelam dalam pikirannya. Memikirkan ada apa dengan tubuhnya ini. Saka tak berharap banyak dari hasil pemeriksaan, karena hal seperti ini sudah menjadi makanan sehari-hari Saka. Walau lebih parah pun, semoga ia masih bisa menanganinya sendiri.
Saka tersentak ketika namanya di panggil seorang suster cantik yang baru keluar dari ruangan di depannya. Tanpa ba-bi-bu Saka langsung masuk ke ruangan itu dan langsung di hadapkan dengan pria berjas putih kebanggaannya duduk di seberang meja. Jangan lupakan berbagai dokumen juga ada di tangannya.
"Silahkan duduk." Perintah dokter itu.
"Baik dok." Saka menurut dan duduk di kursi yang tersedia.
"Saka Naresh Adyasta? Loh masih kecil, papa sama mamanya mana?" Membaca dokumen milik Saka, sang dokter bertanya sebagai basa-basi.
"Saya sendiri dok, dan saya bukan anak kecil lagi, umur saya udah 17 tahun." Jawab Saka sekalian protes tak terima dipanggil anak kecil.
"Hahaha iya dehh, soalnya imut gini. Oke dokter periksa dulu ya. Kalau ada keluhan bisa langsung cerita gak usah di tutupi sama dokter mah." Pena sudah ada ditangannya siap mencatat keluhan pasien kecilnya ini.
"Oke."
Setelah mengungkap keluhannya, Saka mulai diperiksa dokter tampan itu. Berbagai serangkaian pemeriksaan ia jalani, terutama pada bagian paru-paru. Saka juga tak lupa memberi tau tentang kondisi paru-parunya sejak lahir.
Dokter curiga kalau paru-paru Saka mengalami masalah, dan menyarankan Saka agar ke rumah sakit yang lebih besar untuk pemeriksaan lebih lanjut mengingat fasilitas yang kurang memadai di klinik ini. Saka hanya mengiyakan setelah menerima beberapa obat, termasuk inhaler jika ia sesak nanti.
Saka tidak terlalu ambil pusing. Jika dokter itu tidak mengatakan ia sakit parah, sudah cukup baginya, toh ia sudah sering merasakannya. Lagian sudah diberi obat, tidak ada yang perlu ia khawatir kecuali ketahuan orang rumah.
.
🦋
.Sesampainya di rumah, Saka bergegas pergi ke kamarnya, menghindar dari interogasi jika ada yang melihat obatnya. Ia langsung menyimpan obat-obatan yang diberikan dokter agar tidak ketahuan. Setelah itu, ia turun dan menemukan Nadia di dapur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Cerita Langit
Novela JuvenilOrang berekspetasi kalau anak bungsu itu selalu bahagia dan hidup dengan penuh perhatian. Namun, itu tak berlaku untuk Saka. Walau ia anak terakhir dari kembar 3 tak membuatnya bisa melakukan hal sesukanya. Hidup dengan kekangan sang bunda. Saka be...