KOTA J, sebuah kota metropolitan dengan penduduk terbanyak. Kota yang tidak pernah tidur. Selalu terjaga dua puluh empat jam selama tujuh hari. Cakrawalanya berpendar dengan gemerlap bintang yang melebur dengan lampu kehidupan. Mengaburkan garis batas antara gelap dan terang. Berhiaskan simfoni keglamoran dan ingar bingar.
Palong Street adalah salah satu jalan yang paling populer di Kota J. Selalu ramai dengan kehidupan sepanjang hari. Denyutnya tak pernah berhenti. Mengalirkan darah muda yang pada nadi setiap pengujung yang menjejakkan kaki di sana.
Dipenuhi dengan berbagai tempat hiburan dan segala aktivitas budaya, menjadikan Palong sebagai surga bagi para pencari kebahagian. Berbagai kafe dan restoran terkenal menawarkan hidangan untuk memanjakan lidah. Bau sedapnya menguar berkelindan erat dengan dentum musik dari bar dan kelab malam serta pertunjukan jalanan, menawarkan daya tarik yang tak dapat ditolak.
Namun, di balik gemerlap cantiknya tersimpan sebuah keburukan. Dunia hiburan erat dikaitkan dengan kebebasan. Sudah bukan hal mengejutkan bila jalan yang tak pernah sepi itu memiliki kehidupan yang lebih bebas dibanding kota lainnya. Prostitusi, obat terlarang dan kekerasan sudah menjadi hal yang lumrah.
Lalu, di antara gedung-gedung dengan lampu-lampu neon meriah itu ada sebuah gang kecil yang kontras dengan hiruk pikuk dan kebisingan di jalan utama. Suasananya remang-remang, cenderung sepi. Di ujung gang, terdapat bangunan tua tiga lantai dengan lampu utama yang berkedip-kedip nyaris mati.
Gang yang gelap, fasad yang redup dan tempat parkir yang kosong memberikan sebuah kesan terbengkalai. Hanya ada satu jendela yang memancarkan kehidupan. Berasal dari lampu temaram yang menyala dari kamar di lantai teratas.
Terlihat dari jendela kamar itu, siluet orang berambut pendek sedang berjalan mondar-mandir. Bila dilihat lebih dekat, dia adalah seorang pemuda yang sedang sibuk bersiap diri. Dia adalah Natanio Jeremy atau akrab disapa Jemy. Seorang pemuda 23 tahun dengan badan tinggi menjulang dengan garis wajah halus dan mata yang indah.
Jemy tengah sibuk mencari blazer beraksen payet warna-warni yang ingin dikenakan malam ini. Kos kecil yang ia sewa bersama seorang teman itu terlihat berantakan. Beberapa pakaian kotor berserak di atas lantai. Handuk basah tersampir sembarangan di ujung kasur, sementara meja makan penuh dengan piring, gelas, bungkus sisa makanan siap saji dan kaleng-kaleng bir murah.
"Ketemu!" serunya, berhasil menemukan barang yang ia cari. Blazernya teronggok di kaki sofa usang. Warna biru pastel sofa itu telah pudar bercampur dengan bekas-bekas noda yang tak mau hilang.
Tangan berhias gelang rantai silver dan beberapa cincin itu mengambil blazer, lalu mengenakannya di atas kaos putih tanpa lengan berbahan katun tipis dengan potongan kerah V rendah. Memamerkan leher dan collar bone-nya yang indah. Sebuah kalung tipis dan satu kalung aksen segitiga melingkari leher jenjang yang seputih salju.
"Aish, lepas lagi," gerutunya saat menyadari beberapa payet di ujung blazernya hilang. Blazer yang ia kenakan memang sebuah barang bermerek, namun ia membeli jaket tersebut di salah satu kios pasar malam yang menjual baju-baju bekas.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...