16. Midnight Lounge

4.7K 447 14
                                    

JENSEN menatap gemerlap lampu kota yang tampak seperti taburan bintang dari ketinggian. Matanya menerawang jauh. Masih mengenakan pakaian lengkap, ia duduk di balkon. Tidak benar-benar di balkon karena kursinya setengah berada di dalam.

Keluar dari toilet, Jemy langsung bergabung ke luar. Ia telah melepas jas terluar, dasi, aksesoris dan sepatunya. Menyisakan kemeja putih dan celana kain pas badan. Berjalan tanpa alas kaki terasa lebih nyaman.

"Katanya takut ketinggian."

Jensen melihat kaki belakang kursinya. "Cuma separuh. Nggak bener-bener di luar." Jemy mendengkus lirih lalu berjalan menuju pagar balkon dan duduk di atasnya. Berhadapan dengan Jensen yang sedang memandangi langit.

"Lo diem aja dari tadi," kata Jemy. "Masih kepikiran soal dinner tadi ya? Sori, gue malu-maluin. Kayak maniak bar-bar yang nggak punya etika."

Kekehan pelan meluncur dari bibir Jensen. Diam-diam Jemy lega. Sejak pulang dari restoran, pria itu tak banyak bicara. Diam seribu bahasa. Bahkan di dalam mobil juga. Atmosfernya tak menyenangkan. Jemy yang selalu punya bahan pembicaraan jadi tak berani untuk buka mulut.

"Turun dari situ," ucap Jensen saat menyadari Jemy duduk di pagar balkon.

"Kenapa? Takut gue jatuh?" Jemy malah menggoda. Senyumnya jahil. Lirikan matanya usil.

Jensen melambaikan tangan menyuruh Jemy turun. "Iya. Lo bikin gue cemas. Cepet turun," ulangnya pelan. Tak bisa berbicara lebih keras lagi. Campuran antara gugup karena Jemy duduk di ketinggian dan lelah karena pekerjaan.

Jemy terkekeh, semakin terdorong untuk menggoda. "Gimana kalau gue miring gini? Lo bakal nolongin gue nggak kalo gue mau jatuh..."

Jensen tak tahan. Ia palingkan wajahnya. Tak kuat melihat Jemy yang memundurkan sebagian badannya.

"Jemy. Gue serius..."

Tak kapok, si tengil malah melepas pegangannya lalu melambaikan tangan di udara. "Kalau gini? Woaaa... Tinggi banget. Lihat gue nggak pegangan."

"Natanio Jeremy."

"Hehe... Maaf. Iya gue turun," kata Jemy saat menyadari sebuah tatapan terarah kepadanya. Mata itu tajam namun tak menusuk sebab diliputi oleh kecemasan.

Jemy lalu turun dan bersandar di pagar. Pandangannya terkunci ke wajah Jensen yang terlihat murung. Ia amati lelaki itu lekat-lekat lalu tersenyum.

"Kok masih murung aja?" tanya Jemy.

"Murung? Nggak. Gue nggak pernah murung soal bisnis." Jensen mendengus lirih sambil tersenyum sinis. Bagaimana mungkin ia murung dan galau. Hal seperti tadi sudah sering ia hadapai. Kebuntuan negosiasi tak dapat terelakkan ketika salah satu pihak tak ingin melepas harta kesayangannya.

"Tapi kalau gue lihat-lihat, lo suka mereka. I mean, perusahaan mereka dan etos kerja mereka."

"Nggak ada relevansinya, gue suka mereka atau nggak. Ini bisnis dan gue nggak mau ngelibatin perasaan kayak gitu pas lagi kerja."

"Yea, Hazel juga sering bilang ke gue buat nggak ngelibatin perasaan pas lagi kerja. Karena itu, gue nggak mau ciuman. Terlalu personal buat gue karena harus pake perasaan."

"How about having sex?"

"Nahhh, itu mah buat cari duit. Nggak perlu pake perasaan."

Jensen tersenyum simpul menatap ekspresi polos yang tiba-tiba muncul pada wajah pemuda di hadapannya.

"Seperti yang elo bilang barusan. Jangan sampai ngelibatin perasaan. So, gue jadi kayak robot pas lagi having sex. Ngelakuin apapun yang diminta tanpa pake perasaan sedikit pun dan nggak cari kepuasan."

SCARLET | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang