JIRAN Opera House terletak di pusat kota. Bangunannya besar dan megah dengan arsitektur Eropa klasik yang tak lekang termakan waktu. Alih-alih usang, bangunan itu justru semakin memiliki nilai lebih. Berdiri kokoh dan gagah sejak zaman kolonial. Mengundang decak kagum bagi siapa saja yang memandangnya. Tak terkecuali Jemy yang baru saja turun dari sebuah limosin silver.
"Sampai..." kata Jensen, memberikan lengannya untuk digandeng Jemy. Pemuda itu bersiul kagum melihat gedung besar megah di hadapannya.
"Gedung apa ini?"
"A place where my friends, Violetta, Alfredo and Baron live."
"Haah?"
"The opera... Jiran Opera House."
Jemy menggumamkan 'oh' panjang sambil tersenyum. Matanya tak pernah lepas mengamati detail pilar-pilar tinggi yang menyangga bangunan tersebut.
Mereka berjalan mendekat. Melewati sebuah air mancur besar yang ada di halaman depan. Mata Jemy terbuka lebar, takjub saat mereka melewati air mancur yang menyala indah. Penerangannya dipikirkan dengan seksama. Ditata sedemikian rupa hingga memberikan ilusi bahwa air itu hidup, berdansa menggoda patung-patung malaikat yang berdiri menjulang di tengahnya. Tak hanya gedung opera itu, semua yang ada di sekitarnya juga mengagumkan. Begitu juga dengan para pengunjungnya malam ini. Kemana pun Jemy memandang, ia melihat wanita yang mengenakan gaun malam cantik dan pria yang terlihat mempesona dengan setelan tuksedo yang seragam.
Jemy lagi-lagi merasa tak nyaman. Dan tanpa disadari, dia mengangkat tangan defensif ke kalung yang dipakainya, seolah merasa bahwa akan ada seseorang yang tiba-tiba mendekatinya dan mencuri kalung itu.
"Jemy?" panggil Jensen. "Kayaknya nggak akan ada orang yang bakal ngambil itu dari lehermu. Kamu nggak perlu sampai sedefensif itu," imbuhnya menatap Jemy dengan senyum tipis. Lucu, melihat tingkah protektif Jemy yang berlebihan.
Dengan berat hati, Jemy pun menurunkan kedua tangannya.
"Nggak apa-apa. Santai aja. Kalau ada yang mau nyuri, ada aku di dekatmu. Tenang, aku bakal jagain kamu sama kalung itu baik-baik. So, don't worry to much, okay? Just enjoy the night with me... Hm?"
Jemy mengangguk kecil. Agak ragu. Namun, ia akan percayakan semuanya pada Jensen. Lagi pula, dia juga tidak akan membiarkan orang untuk mencuri kalung itu. Ia terlatih hidup di jalanan, menghadapi kerasnya kehidupan. Mungkin saja bila dihadapkan dengan seorang kriminal ia bisa lebih galak dan menakutkan. Kemampuan bela dirinya memang belum diuji tapi dia sudah banyak melihat pengunjung bar yang adu pukul.
Jemy melirik ke sana kemari. Menyadari bahwa banyak pasang mata terarah pada mereka berdua saat memasuki lobi gedung. "Semua orang ngelihatin kita," ucapnya.
Jensen menggumam dan berbicara tepat di telinga Jemy, dengan suaranya yang rendah dan dalam. "Because you are so charming and beautiful tonight."
Jemy merona malu. Ia cubit pelan lengan yang ia pegang dengan senyum yang terkulum, membuat Jensen terkekeh pelan.
Keduanya pun melangkah masuk dan seorang pemuda dengan pakaian rapi menghampiri keduanya. Sapaan ramah dan sopan mereka terima dari pemuda tersebut. Setelahnya ia memperkenal diri lalu memandu mereka memasuki ruang pertunjukan.
"Sebelah sini, Tuan..." ucap pemuda tersebut, mengantar kedua tamu VIP-nya menuju lantai dua dan masuk ke dalam ruang pertunjukan. Jemy dan Jensen diantar ke tempat duduk yang berada di level kedua. Sebuah balkon kecil dengan dua kursi di sisi kanan ruangan langsung mengarah ke panggung.
"Ada hal lain yang Anda butuhkan, Tuan Lynx?" tanya pemuda itu ketika dua tamunya sudah duduk di kursi. Jensen menggeleng seraya berkata, "tidak. Terima kasih. Kamu boleh kembali."
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...