22. Capital City

3.9K 352 6
                                    

SIANG hari berikutnya di kantor Jensen...

Seorang wanita berambut pirang keluar dengan setumpuk berkas di tangan. Eric mendekati wanita itu dengan wajah penuh antisipasi.

"Gimana? Jensen udah tanda tangan?" tanya Eric seraya mengambil satu dokumen paling atas. Kedua alisnya bertaut kala mendapati kolom tanda tangan CEO masih kosong. Bukankah Jensen ada di dalam? Eric memastikan lagi dengan mengambil beberapa berkas lain. Sama saja. Seluruh bagian yang harus disahkan oleh pemegang jabatan tertinggi terlihat kosong.

"Ini kenapa belum ditandatangani?" tanya Eric.

Si wanita menggelengkan kepala dengan mimik wajah pasrah. Tak bisa berbuat apa-apa karena yang punya kuasa bukanlah dia. "Pak Jensen mau pergi. Katanya bisa ditunda sampai besok." Jawaban wanita itu semakin memperdalam kerutan di dahi Eric. "Pergi? Tapi dokumen ini harus—" Ucapan Eric terpotong dengan kedatangan Jensen yang baru saja keluar dari ruangannya.

"Lo mau kemana? Jangan ngilang lagi. SHI udah hampir di tangan," kata Eric buru-buru menghampiri Jensen yang sudah berjalan cepat menuju meja sekretaris di ruang sebelah.

"Santai. SHI nggak bakal kemana-mana. Gue pergi bentar. Besok pagi balik," tukas Jensen. "Tiket yang gue minta udah lo kirim ke hotel, Ra?" Ia bertanya pada sekretarisnya, tak menggubris Eric yang memasang tampang cemas. Tingkah Jensen seminggu ini benar-benar membuat Eric diambang stres. Rambutnya bahkan sudah banyak yang rontok saat ia menyisir tadi pagi. Kalau saja ia punya kuasa lebih tinggi, tentu Jensen sudah ia ikat di kursi kerjanya sekarang.

"Udah, Pak Jensen."

"Oke. Makasih ya, Ra. Tolong temenin Eric hari ini. Ajak dia nge-date atau pijet gitu. Dari kemarin mukanya cemberut mulu. Stres kayaknya dia." Sekretaris Jensen hanya mengangguk sambil memberikan gestur 'oke' dengan sebelah tangan.

Eric mendengus kasar saat mendengar kelakar tak lucu yang terlontar dari mulut Jensen. Tangannya bergerak lebih dulu. Ia pukul bahu lebar lelaki di sampingnya. "Elo yang bikin gue stres. Udah tahu kita ada proyek penting tapi sekarang elo malah pergi. Emangnya mau kemana sih?" ucap Eric, berjalan cepat mengimbangi langkah lebar Jensen.

"Kencan." Sebuah kerlingan yang membuat Eric bergidik. Perubahan saudaranya sudah di luar batas yang bisa ia toleransi. Tak pernah sekali pun ia melihat Jensen seganjen itu padanya.

"Yang bener aja! Jensen si penggila kerja di saat jam kantor gini malah mau kencan?" Eric meradang tak bisa menahan hal-hal tak biasa dari diri Jensen. "Sama siapa? Pelacur itu?" sambungnya cepat.

Jensen berhenti. Ekspresinya berubah tak senang dengan perkataan Eric. "Be careful, Eric." Jensen memberi peringatan singkat lantas berlalu pergi. Eric terpaku di tempat. Tatapan tajam yang baru saja Jensen beri, membuatnya tak bergeming. Dan tak mampu melanjutkan protesnya lagi.

Jensen berdiri di depan kamar. Bersandar pada meja bar menunggu Jemy selesai bersiap-siap. Sepulang kantor, ia langsung mandi dan berdandan rapi, mengenakan tuksedo hitam dengan dasi kupu-kupu. Pakaian formal untuk acara kencan pertama mereka di luar urusan bisnis.

Pintu kamar terbuka, Jemy keluar mengenakan setelan tuksedo putih dua lapis tanpa kemeja maupun dasi kupu-kupu. Hanya vest putih dan jas. Rambutnya kali ini tidak diwarnai. Dibiarkan hitam natural. Serasi sekali dengan pria yang menyambutnya di depan kamar dengan senyum merekah.

"Oke nggak?" tanya Jemy seraya memakai sebuah arloji klasik chronograph warna silver hadiah dari Jensen.

"Mmm... You look great. But..." kata Jensen menggantung ucapannya.

SCARLET | NOMIN [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang