KLIK.
Kunci kartu terpasang pada slot khusus di dinding. Mengaktifkan listrik dan menyalakan lampu. Griya tawang seluas 150 meter persegi itu pun akhirnya terang benderang.
Jensen menekan dua tombol lain, mengatur suhu pendingin ruangan dan mematikan satu lapisan lampu untuk mengurangi intensitas cahaya yang dirasa terlalu kuat.
Pria itu berjalan lebih dulu diikuti oleh Jemy di belakangnya. Ini adalah kali pertama ia menginjakkan kaki di kamar hotel semewah penthouse The Royal Paradise. Semua yang ada di dalamnya berada di kelas yang tertinggi.
Lukisan di dinding, karpet hijau emerald yang empuk, seluruh furnitur, dan semua yang ada di dalam griya tawang itu begitu indah menunjukkan bahwa tempat itu didesain oleh sang ahli dan ditujukan untuk orang-orang tertentu saja.
Mata Jemy beredar ke segala arah. Decak kagum terlontar lirih berulang kali, sebab ia sudah tak dapat menemukan kata yang tepat untuk menggambarkan semewah apa tempat itu.
Jensen berjalan menuju meja kerja yang menghadap ke balkon, ke arah pemandangan malam yang hanya bisa dinikmati di tempat tertinggi.
"Suka?" tanya Jensen seraya mengeluarkan laptop, tablet dan beberapa dokumen dari dalam tasnya.
"Cuma orang aneh yang nggak suka ini," kata Jemy kelewat antusias seraya jalan berkeliling mengamati seluruh ruangan.
"Baru pertama ke sini kan?"
"Yo, gue sering ke sini kok. Dan sebagai catatan, mereka juga nyewain kamar perjam."
"Ah, I see..." kata Jensen sama sekali tak termakan bualan Jemy. Ia duduk di kursi dan menyalakan laptop. Dan detik berikutnya tenggelam dengan surel-surel pekerjaan yang menuntut untuk segera dibalas. Sesekali ia melirik Jemy yang masih terkagum, berjalan keluar menuju balkon.
"Wuih, gila! Pemandangannya cakep banget. Itu laut Marina 'kan? Woahhhhhh, gila sih ini cakep banget. Whoops, tapi anginnya kenceng juga," seru Jemy seraya memegangi topinya yang hampir terbang terbawa angin.
"Makasih infonya tapi gue nggak akan pernah ke situ," tukas Jensen tak mengalihkan pandangan dari layar laptop.
Jemy melongok ke dalam. Dahinya mengernyit bingung mendengar balasan Jensen. Tak percaya bahwa pria itu menolak pemandangan seindah Kota J dan Laut Marina kala malam. Apalagi dengan bulan purnama yang menggantung rendah di atas lautan.
Jemy masuk melalui pintu-jendela bergaya Prancis yang berada tepat di depan meja kerja Jensen. "Kok gitu? Pemandangannya cakep banget tahu."
"Akrofobia," jawab Jensen singkat.
"Hah?"
"Gue takut ketinggian." Jensen menatap Jemy yang berada tepat di balik laptop. Kedua tangan Jemy bertumpu di meja dan badannya condong ke depan, ke arah Jensen yang menengadahkan sedikit kepalanya untuk bertemu pandang dengan mata Jemy.
"Nggak mungkin. Cowok sekharismatik elo masa takut ketinggian?" Jemy tertawa, menganggap ucapan Jensen sebagai sebuah lelucon.
Jensen tak bergeming, namun kedua sudut bibirnya terangkat ke atas. Manik jelaga di balik kacamata baca menatap lurus tepat ke iris madu kepunyaan Jemy. Lensa mata Jensen begitu hitam dan dalam. Sekelam malam tanpa cahaya dan sedalam laut Marina yang mampu membuat Jemy merasa seakan tenggelam. Napas Jemy tiba-tiba tercekat. Dadanya menjadi sesak saat mata itu menatap lurus, menembus sanubari.
"Ehem," Jemy berdeham, mengalihkan pandangan lalu bertanya, "terus kenapa lo nyewa penthouse kalau takut ketinggian?"
"Ini yang paling bagus. Gue udah nyari penthouse yang ada di lantai satu, tapi nggak nemu."
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...