JENSEN berlalu pergi dan tak lama kemudian kembali dengan ponsel di tangan. Ia mengetikkan sesuatu dengan cepat. Jemy terdiam sejenak lalu berbicara, "ikutin saran gue. Mending kita selesein sekarang, jadi lo bisa balik kerja lagi dan gue bisa cari tamu lain."
"Done. Thank you. I sent the money," kata Jensen. "Gue bayar elo buat semalem dan untuk itu lo harus nurut. Sekarang kita santai aja."
Cepat-cepat Jemy mengecek ponselnya dan terkejut ketika saldonya bertambah sepuluh juta dalam sekejap.
Susah payah Jemy mengatur ekspresi seraya berdiri dari undakan, menuju ke meja bar dan duduk di salah satu kursi.
"Lo yakin nyuruh gue tinggal semaleman di sini? Maksud gue, makasih uangnya udah masuk, tapi gue bisa bikin elo enak selama sejam terus pergi dan elo nggak perlu berurusan lagi sama orang kayak gue lagi. Bukannya gue nggak mau lama-lama sama elo, I swear to God gue lebih dari sekedar mau buat stay sama cowok se-hot elo, tapi kalau gini gue malah bingung. Lo udah bayar gue tapi gue nggak ngapa-ngapain."
Jensen mengisi ulang gelas Jemy seraya mengesah pelan. Jemy hanya terdiam memperhatikan. Ia penasaran dengan alasan Jensen membayarnya mahal untuk semalam namun tak mau melakukan apa-apa selain ngobrol santai.
"Sejujurnya gue lagi nggak pengen sendirian malam ini," aku Jensen jujur. Dia benar-benar tak ingin sendirian malam ini. Biasanya ketika sedang melakukan perjalanan bisnis ada kekasihnya yang menemani. Namun, ini adalah kali pertama dia harus pergi dan tinggal di hotel sendirian. Bukan masalah besar sebenarnya tapi dia lebih suka bila ada kehadiran lain di sisinya.
"Kenapa?" tanya Jemy penasaran. "Ini hari ulang tahun lo ya? Makanya elo nggak mau sendirian?"
Jensen menggeleng.
"Terus?"
"Too quite. I'm not used to be alone," jawab Jensen singkat, menggoyang pelan gelas sampanye di tangannya. Jemy tak bertanya lebih lanjut. Jawaban itu baginya cukup.
"Oke, kalau gitu sekarang lo pengen gue ngelakuin apa? Cuma duduk di sini ngobrol sama elo sampe pagi?"
Jensen menghela napas panjang. Ia benar-benar tidak tahu ingin melakukan apa. Ia hanya merasakan lelah yang tak biasa dan ini semua benar-benar di luar rencana yang sudah ia susun. Keberadaan Jemy di hotel ini adalah sebuah hasil dari pikiran impulsif. Sebuah hasil spontanitas yang tidak ia pikirkan matang-matang, jadi saat Jemy bertanya mau apa? Jensen sungguh-sungguh tidak bisa menjawab.
"Gue nggak tahu, Jeremy..." jawab Jensen dengan nada lelah.
"Oke deh. Kalau gitu gue kasih waktu buat elo bikin rencana. Gue pamit ke toilet dulu."
Jensen mengangguk lalu menunjukkan letak kamar mandi pada Jemy. Sementara Jemy pergi, Jensen beralih menuju meja kerja. Jasnya sudah berpindah tempat. Tergantung rapi di lemari, menyisakan kemeja putih yang lengannya tergulung hingga ke siku. Dengan gerakan kasar, Jensen melepas dasinya. Penampilannya terlihat lebih santai tanpa jas dan dasi. Namun, aura dan kharismanya tak berkurang sedikit pun. Penampilan kasual itu justru semakin menonjolkkan sisi maskulinnya ketika lengan liat berotot miliknya terekspos bebas.
Sambil menunggu Jemy kembali dari toilet, Jensen kembali menyibukkan diri dengan pekerjaan. Sebutannya sebagai penggila kerja memang bukanlah tanpa alasan. Ia tak bisa sedetik pun berhenti memikirkan pekerjaannya.
"Bentar lagi gue keluar," teriak Jemy dari toilet. Ia menutup pintu dan kembali menuju wastafel. Jensen mendorong pintu yang belum sepenuhnya tertutup dan masuk ke dalam.
"Sori nggak denger, barusan lo bilang apa?"
Jemy terkesiap. Ia balik badan dan menyembunyikan sesuatu di balik punggungnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
SCARLET | NOMIN [END]
Fanfiction"Lima puluh juta, enam hari. Dan setelah ini selesai, aku akan melepasmu pergi." - Jensen Lynx, CEO dan pebisnis sukses yang gila kerja mengajak Natanio Jeremy untuk tinggal bersamanya selama seminggu di sebuah penthouse hotel termewah. Pada awalnya...